Sebelum meninggalkan rumah sakit, Cherry menyempatkan untuk melihat kondisi Papi. Ada Bia yang menemani Papi. Cherry tidak masuk ke ruangan, dia hanya melihat Papi dan Bia yang sedang bercanda. Hati Cherry kembali panas, sakit hatinya melihat kedekatan mereka.
"Seumur hidup gue, gue belum pernah bercanda dan ketawa begitu bareng Papi. Papi jahat!"
Air matanya menetes. Dia memejamkan matanya. Hal mengerikan kembali terjadi, selang oksigen di samping Papi, melilit lehernya. Papi mengalami sulit nafas, Bia panik, dia berteriak sebisa mungkin untuk memanggil perawat ataupun dokter untuk mendapat pertolongan. Cherry belum menyadarinya, dia masih terhanyut dalam emosi dari dalam jiwanya. Emosi yang makin lama makin membara. Papi makin kehabisan nafas, mukanya mulai pucat.
"Permisi, Mba," ucap salah seorang perawat yang jalan menyusup masuk ke dalam ruangan Papi untuk menolongnya. Dibelakang perawat ada dua orang dokter yang mengikuti langkah si perawat.
Cherry terbelalak, sayangnya dia belum sadar apa hasil dari perbuatannya. Mungkin Cherry memang tidak sengaja melakukannya, dia masih belum bisa mengendalikan emosinya.
"Papi kenapa?" batinnya.
Dia kembali mengintip dari balik pintu. Tampak Bia yang bermuka pucat dan panik melihat kondisi Papi. Padahal satu menit yang lalu, mereka berdua masih baik-baik saja dan masih tertawa bersama. Pertolongan dokter sangat tepat waktu, Papi masih terselamatkan.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya dokter pada Bia.
"Aku ga tau dok, tiba-tiba selang oksigen melilit leher Papi," jawab Bia jujur.
"Itu ga mungkin terjadi, kamu pikir ada hantu di siang bolong seperti ini, anak muda?"
"Aku ga bohong dok, memang begitu kejadiannya."
"Sepertinya kamu habis mabuk, ya? Atau ada yang salah dengan kepalamu?" Dokter menggeleng-gelengkan kepalanya, tanda tidak percaya dengan jawaban Bia.
Dari luar pintu, Cherry tertawa bahagia, dia lupa bahwa baru saja nyawa Papinya ada di ujung tanduk. Cherry pergi dari sana dengan perasaan puas. Dia makin yakin dengan pilihannya untuk membalas dendam atas kehadiran Bia dalam keluarganya.
"Dasar, emang rada gila dia itu, dok!" ujarnya sambil berlalu.
Cherry hendak mengemudikan mobilnya keluar dari parkiran rumah sakit. Tiba-tiba, badannya menjadi kaku, keringatnya dingin, badannya terasa lemas bagaikan tak bertulang. Bahkan untuk menginjak rem dan gas mobil saja, kakinya tidak mampu. Dia menabrak tiang pembatas parkiran. Sirine meraung-raung. Pertolongan segera datang, untunglah Cherry masih berada di halaman rumah sakit, tidak lama baginya untuk mendapat perawatan.
"Jantung gue!" rintih Cherry.
Cherry merasakan jantungnya yang berdebar sangat kencang, seolah mau terlepas dari tempatnya. Rasa nyeri yang begitu menyiksa dirinya. Nafasnya tidak beraturan. Cherry sudah bisa menebak, jika ini akbiat kekuatan dalam dirinya yang baru saja ia keluarkan untuk mengerjai Bia. Dia perlahan mengatur ritme detak jantungnya. Berhasil.
"Ini aneh, bisa dalam sekejap, detak jantungmu dalam kondisi normal. Apa kamu pernah sakit jantung sebelumnya?"
"Ga, dok. Apa aku bisa meninggalkan ruangan ini?" pinta Cherry.
Tidak ada alasan bagi dokter untuk menahan Cherry. Dokter hanya berpesan untuk menjaga emosinya, agar jantungnya tidak bekerja terlalu berat.
"Bagimana si dokter tau, kalau aku memendam begitu banyak amarah dalam diriku," gumam Cherry sambil mengikat rambutnya.
Sepanjang perjalanan meninggalkan rumah sakit, Cherry mulai merangkum apa saja yang ia alami.
"Pertama, gue sekarang bisa melihat sesuatu yang belum terjadi, anehnya hanya kejadian baik yang bisa gue lihat, ke dua, setiap kali gue emosi dan mata gue terpejam, akan ada sesuatu yang terjadi di sekitar gue saat itu. Efeknya, jantung gue ga kuat dan kondisi fisik gue melemah. But, setelah gue atur emosi, gue bisa kembali sehat tanpa butuh waktu yang lama. Sekarang, gue hanya butuh cara buat mengendalikan semua ini. Kakek buyut emang the best lah. Ga nyesel gue ketemu sama dia."
Cherry merasa beruntung dan bahagia dengan kekuatan barunya. Dia tidak berfikir efek jangka panjangnya. Dia seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. Asalkan dia senang, dia akan terus memainkannya hingga bosan.
"Gila, keren banget sih ini. Gue puas, gue ga akan nyesel."
Cherry terus-terusan membanggakan apa yang mungkin akan menjadi kelemahannya suatu hari.
Srrrtttt…..
Lagi, Cherry mendapat sebuah bayangan, akan ada kejadian luar biasa di lampu merah dekat rumahnya. Ia penasaran, kenapa ia tidak bisa lebih detil melihat masa depan itu. Benar saja, sekumpulan orang berkerumun di bawah lampu merah. Seorang ibu muda dengan perut buncitnya tengah terkapar dengan air ketuban yang sudah pecah. Sepertinya ibu itu akan segera melahirkan. Cherry geram.
"Woiii… kenapa diliatin doang? Dia mau lahiran!"
"Dia gembel, ga punya apa-apa dan ga ada siapa-siapa. Nanti siapa yang nanggung biaya persalinannya?"
"Astaga, otak kalian pada dimana? Minggir, bantu gue angkat dia. Itu mobil gue!"
Lima orang laki-laki dengan perawakan kekar membantu si ibu untuk naik ke mobil Cherry. Lagi-lagi, Cherry mendapat bayangan, ia menggendong seorang bayi laki-laki ke rumahnya.
Tiiiit ….tiiiit…..
Cherry memencet klakson panjang di depan pintu UGD. Perawat berlari dengan ranjang mereka. Si ibu segera di larikan ke ruang persalinan, sepuluh menit kemudian, terdengar tangisan bayi.
"Syukurlah… bayinya lahir tepat waktu."
Cherry mengusap peluhnya. Perawat menggendong si bayi ke arah Cherry.
"Anda keluarganya?"
"Bukan, kebetulan aja lewat."
"Terus bayi ini jadi tanggung jawab siapa? Ibunya tidak bisa diselamatkan."
Lemas Cherry mendengar kabar itu.
"Ternyata bagian ini yang ga bisa gue lihat," gumamnya.
"Mba, gimana?" tanya perawat sekali lagi.
"Oke, urus aja, nanti aku yang bertanggung jawab."
Dibalik kesangarannya, ada jiwa lemah lembut dan penuh kasih dalam diri Cherry. Mungkin ini salah satu sifat Papi yang menurun dalam diri Cherry. Sebenarnya, Cherry sendiri tidak tau apa yang harus ia lakukan untuk menolong nasib si bayi malang itu. Perawat menyerahkan bayi mungil dalam gendongan Cherry, sementara jenazah ibu si bayi diserahkan ke pihak rumah sakit.
"Haduh, gimana caranya gue gendong bayi," ucap Cherry panik.
Tangannya terasa kaku untuk menggendong bayi tanpa nama itu. Beruntung, si bayi tidak rewel, mungkin dia menganggap Cherry adalah ibu kandungnya. Butuh waktu yang lama baginya membawa bayi itu untuk sampai rumahnya. Sesampainya di rumah, semua penghuni merasa heran dengan kepulangan majikannya dengan seorang bayi di tangannya. Begitu pula Mami.
"Cherry… apa yang kamu bawa?"tanya Mami histeris.
"Bayi, Mi."
"Bayi? Anak siapa yang kamu bawa? Anak kamu?"
"Ya bukan lah Mi. Nanti Cherry ceritakan sama Mami, tapi, Cherry minta tolong Mi. Gendong bayi ini dulu, mending Cherry angkat barbel daripada gendong bayi sekecil ini."
Wajah Mami tampak berseri dengan seorang bayi mungil dalam pelukannya. Mungkin memang sudah saatnya Mami menimang seorang cucu. Meski belum tau asal usul si bayi, tanpa ragu, Mami menidurkannya dengan lembut. Bayi kecil terlihat lebih nyaman dan tenang dalam gendongan Mami. Ternyata seorangbayi memiliki perasaan sepeka itu. Setelah bayi tidur, Cherry menceritakan kejadian yang begitu singkat itu. Tidak ada alasan bagi Mami untuk menolak kehadiran si bayi kecil tanpa dos aitu. Nyatanya, kedatangan si bayi justru membuat semangat Mami tumbuh lagi setelah kejadian yang belakangan membuat dirinya merasa stress dan begitu depresi.
"Mami akan merawatnya, Cher. Kamu urus segalanya!"
"Mami yakin?"
Dengan mantap Mami mengiyakan. Bukan perkara sulit bagi Cherry untuk mengurus masalah legalitas si bayi untuk menjadi salah satu bagian dari keluarga Wilson. Kini, Mami dan Cherry memiliki kesibukan lain yang lebih penting ketimbang mengurusi kehadiran Bia dalam keluarganya. Bagaimanapun juga, keputusan Papi untuk membawa Bia dalam keluarga Wilson sudah 100%, tidak akan ada yang bisa mengubah pendirian Papi, kecuali dirinya sendiri.
Tiga hari setelah kehadiran bayi bernama Revaldi Angga Wilsona, Papi pulang dari rumah sakit, Bersama Bia tentunya.
"Aroma yang udah lama ga tercium," ucap Papi begitu masuk ke dalam rumah.
"Aroma apa?" tanya Bia tidak paham.
"Kamu ga tau, Bi? Ini adalah wangi minyak telon dan bedak bayi, siapa yang memakai aroma khas seperti ini di rumahku?"
Bia terdiam, dia sulit memahami perkataan Papi. Papi pun ternyata sangat peka dengan aroma khas bayi. Mungkin dalam benaknya juga sama, menginginkan seorang cucu dari anak mereka. Dalam-dalam Papi menghirup udara yang memenuhi ruangan yang sangat besar itu. Karena rumah itu ber-AC otomatis semua aroma yang ada akan tersebar dan terus berputar di dalam ruangan itu. Papi segera melihat Cherry dan istrinya. Mereka berdua bahkan mengabaikan kepulangan Papi yang baru sembuh dari sakitnya. Bukan apa-apa, tapi karena Papi sudah bersama Bia, makanya mereka berdua memilih untuk bersikap biasa aja dengan kepulangan Papinya.
"Papi," sambut Mami datar.
Papi menghampiri istrinya dan mengecup keningnya. Ternyata ia masih ingat kebiasaannya untuk mencium istrinya setelah bepergian dalam waktu yang lama. Begitu pula Nyonya Wilson, dia mencium tangan suaminya. Mungkin kali ini, ciuman mereka tidak lagi sehangat dulu, hanya karena kebiasaan yang tidak mudah dilupakan oleh keduanya.
"Bayi siapa, Mi?" tanya Papi seraya mengelus pipi montok si bayi mungil.
"Namanya Revaldy, dia akan menjadi bagian dari keluarga kita, secara resmi."
Ada sedikit penekanan dalam akhir ucapan Nyonya Wilson, sengaja ia melakukannya untuk menyindir suaminya, juga anak yang dibawanya.
"Kok bisa?" tanya Papi heran.
"Pi… Papi kan baru pulang dari rumah sakit, mendingan Papi ke kamar dulu, istirahat, Papi harus banyak istirahat. Besok kan masih bisa ngobrol sama Mami dan Kak Cherry," bujuk Bia. Mungkin Bia sedikit tersinggung dengan ucapan Mami.
"Iya betul, Pi. Papi turutin aja apa kata anak kesayangan Papi," tambah Cherry. Kata-kata Cherry memang manis, tapi sebenarnya itu sangat menyakitkan.
Akhirnya Papi ke kamar, dibantu Bia.
"Gila emang! Liat aja kelakuannya!" gerutu Cherry melihat Papi dan Bia.
"Udah, biarin aja, diterusin bikin stress."
Sebenarnya itu hanya ucapan di mulut Mami saja. Tidak ada yang tahu bagaimana sakitnya hati Mami melihat kelakuan suaminya dengan (anak) orang lain.
"Untung ada dedek Revaldi, ya sayang, kamu lebih berharga buat Mami, saat ini!" ucap Mami sambil mencium gemas seorang bayi yang kini resmi menjadi anak angkatnya.