Chereads / JANGAN DENDAM, JIKA RINDU / Chapter 8 - BEDA NASIB

Chapter 8 - BEDA NASIB

Mami tengah sibuk dengan kegiatan barunya, merawat seorang bayi, dia merasa lebih tenang berada di rumahnya sendiri. Mungkin karena Bia juga sudah berapa minggu terakhir memang sedang berada di Jawa Timur untuk menyelesaikan semua pekerjaaan Papi yang sempat tertunda sewaktu Papi dirawat di rumah sakit.

"Mi, kita ngobrol sebentar, ya?" bujuk Papi pada istrinya.

Setelah Papi mendengar asal usul bayi itu, ia merasa memiliki kesempatan yang sama. Merawat dan membesarkan seseorang yang tidak ada hubungan darah dengan keluarga mereka.

"Bagaimana mungkin Mami dan Cherry bisa menerima kedatangan Revaldi di rumah kita?"

"Kenapa enggak?" Mami balik bertanya.

"Bukan begitu Mi,"

"Jika ini ada kaitannya dengan Bia. Mami rasa, kasusnya sangat berbeda, Pi. Mereka berdua ga bisa disamain."

"Apa yang beda? Sama aja, mereka bukan anak kita!" ucap Papi sedikit marah.

"Bukan anak Mami!" tegas Mami yang tidak mau kalah.

"Terserah Mami, intinya kan sama. Mami dan Cherry mau nerima kehadiran Revaldi dengan ikhlas tapi kenapa dengan Bia ga bisa?"

"Seharusnya Papi tanyakan itu pada diri Papi sendiri. Papi pasti tau alasannya!"

Mereka berdua bersitegang, tidak ada yang mau mengalah. Papi menggebrak meja kayu jati di depannya. Baru kali ini, Mami diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Laki-laki yang hampir ia nikahi selama 50 tahun.

"Aaaa…." Mami berteriak.

Papi naik darah, dilemparnya asbak keramik yang berada di atas meja hingga membentur salah satu dinding dan pecah berkeping-keping. Teriakan dan tangisan Mami makin menjadi, memenuhi seisi rumah. Tidak ada yang berani melerai pertengkaran keduanya. Disusul tangisan Revaldi yang membuat suasana makin mencekam. Mami segera menggendong Revaldi kecil sambil menghapus air matanya yang kian membasahi wajahnya.

"Maafkan Mami ya sayang, terpaksa kamu harus dengar pertengkaran kami. Rasanya Mami udah ga kuat dengan tingkah Papi yang selalu memaksakan untuk menerima kehadiran Bia di sini, dek."

Mami terisak, bayi mungil yang belum genap berusia satu bulan pun menjadi saksi bisu pertengkaran suami istri yang telah lama mengarungi bahtera rumah tangga Bersama-sama. Untunglah Cherry segera pulang. Kaget pastinya, melihat sudut rumah dengan puing-puing keramik pecahan asbak kesayangan Papi.

"Papi…. Mamiii…"teriak Cherry histeris.

Cherry berlarian kesana-kemari mencari kedua orangtuanya. Tidak ditemukannya di kamar mereka, juga kamar Cherry.

"Kamar Valdi," serunya.

Bergegas ia menuju kamar Revaldi yang bersebelahan dengan kamar Mami. Semua pakaian dan perlengkapan bayinya sudah tidak ada.

"Kemana Mami bawa Valdi? Pasti udah terjadi sesuatu di rumah ini."

Cherry menginterogasi semua asisten rumah tangga, termasuk security.

"Shiiiit… Papi!"

Emosinya mulai membuncah, menguasai dirinya. Cherry berlari ke kamarnya. Kali ini ia berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan amarahnya agar tidak ada akibat yang mengerikan setelahnya. Cherry berteriak, suaranya menggaung layaknya serigala yang mengaum di malam hari. Ia menjambak rambutnya dan mencakar dinding kamarnya. Ada goresan dan jejak kukunya yang sekarang menjadi motif di salah satu dinding kamarnya.

"Aaaarrrghhh!!"

Cherry menjerit, namun tidak ada yang berani menghampirinya. Semua memilih diam dan berpura-pura tidak mendengar apapun. Keadaan Cherry yang berusaha mengendalikan kekuatan supranaturalnya justru sangat menyiksa dirinya. Dia menjedotkan dahinya berulang kali ke dinding kamar. Ada noda darah yang terciprat tidak beraturan di lantai dan dinding.

"Mamiiiiiii…"teriak Cherry.

Suaranya begitu melengking, namun tidak ada satu pun yang menghampirinya. Tiga puluh menit lamanya Cherry mengendalikan dirinya. Tenaganya habis. Ia melihat dengan perasaan jijik ke seluruh sisi di kamar.

"Huek."

"Gue rasanya mau muntah dengan aroma darah ini, padahal itu darah gue sendiri. Ga bisa begini terus, gue harus segera punya cara buat mengendalikan ini semua."

Cherry berdiri di depan cermin lemarinya. Dia menyentuh dahi dan pipinya yang penuh luka benturan dan cakaran. Banyak bekas-bekas kuku di pipi dan hantaman yang membuat luka cukup lebar di dahinya, ini membuatnya bergidik membayangkan dirinya sendiri ketika sedang kehilangan kesadaran.

"Aww… harusnya gue bisa ngatasin ini semua, kalo engga, gue sendiri yang rugi setiap kali gue kehilangan kesadaran," rintih Cherry sambil membersihkan luka-lukanya dengan kapas beralkohol.

"Orang selalu sadar kalau sikap kita pada mereka tiba-tiba berubah. Tapi, mereka ga pernah sadar sebenarnya perbuatan merekalah yang membuat sikap kita berubah. Sama halnya Papi, gue heran banget sama Papi. Pasti kejadian ini ada kaitannya dengan Papi yang membawa anak kesayangannya, hasil hubungannya dengan wanita pelakor itu. Gue ga bisa diem terus-terusan. Liat, kalian tunggu aja tanggal mainnya!"

Cherry mengarahkan kepalan tangannya ke arah cermin di depannya. Sudah pasti tangannya yang berjari lentik, kini bercucuran darah dan beberapa pecahan kaca menancap ke tangannya. Luka di tangannya dibiarkan begitu saja, Cherry pergi dari rumah. Dikemudikan mobil sedan silver miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Gue ga akan pulang ke rumah."

Tiba-tiba ponselnya berdering.

"Mami?"

Cherry mengangkat panggilan dari Mami, suara yang masih belum begitu stabil, terdengar jelas di telinga Mami lewat ponselnya.

"Cher...kamu kenapa?" tanya Mami dari balik telpon.

"Ga apa-apa, Mi. Mami sama Valdi dimana?"

"Mami lagi di Hotel Mandarin Oriental Jakarta. Kayaknya Mami sama Valdi ga bisa pulang untuk sementara waktu, Cher.

"Iya, Cherry tau kok, Mami sama Papi abis berantem, kan?"

"Maafin Mami ya?"

"Cherry nyusul, Mi."

Cherry memutuskan untuk menginap bersama Mami dan adik angkatnya di kamar yang sama.

***

"Pada kemana orang di rumah, sepi amat,"gumam Papi begitu ia memasuki rumahnya dan tidak menemukan satu batang hidung pun.

Papi menghubungi Mami dan Cherry, keduanya tidak mengangkat atau membalas chat dari Papi. Ponsel Papi berdering, rupanya panggilan dari Bia. Sumringah ia mengangkat ponselnya. Rupanya Bia hampir tiba di rumah. Bia sengaja tidak menghubungi Papi bahwa ia mempercepat kepulangannya. Sebuah pelukan hangat ia berikan kepada seorang laki-laki yang selama ini ia kenal sebagai ayahnya. Terlepas bagaimana hubungannya secara biologis.

"Papiii..." bisik Bia dari belakang tubuh Wilson yang sudah cukup renta.

Sontak Papi menoleh dan terkejut.

"Bia.... kamu kok?"

"Papi kaget ya?"

"Kamu bilang besok baru terbang dari Surabaya," jelas Papi.

"Maaf Pi, aku bohong, saat aku telpon, sebenarnya aku udah dalam perjalanan dari Soekarno Hatta."

"Astaga....Bia. Kamu paling bisa buat kejutan untuk Papi," ucap Papi memuji.

"Pada kemana, Pi, kok sepi?"

"Papi juga ga tau. Ah, sudahlah, sebentar lagi mereka juga pasti pulang."

Bia merangkul Papi ke ruang santai. Mereka asik bercakap hingga lupa waktu. Begitu melihat jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam. Papi baru tersadar bahwa istri serta anak gadisnya belum juga pulang.

"Bi...tidurlah dulu, kamu pasti capek, kan?"

"Ga apa-apa, Pi. Aku nemenin Papi disini."

"Biar Papi aja yang nungguin Mami dan Cherry pulang."

Akhirnya, dengan berat hati, Bia meninggalkan Papi sendirian di ruangan itu. Sepertinya lelah begitu menguasai Bia, sehingga ia tidak sempat berganti pakaian. Sebaliknya, Papi merasa sangat cemas. Berulang kali ia menghubungi ponsel istrinya, juga Cherry.

"Astaga....kenapa ponselmu ga aktif sih," umpat Papi mulai kesal sendiri.

"Ga anaknya, ga Maminya, kenapa hobi sekali bikin orang lain cemas."

Papi duduk bersandar di kursi goyang kesayangannya, sesekali ia menatap kursi yang sama di sampingnya.

"Biasanya, kita membuang waktu kita berdua disini Mi. Tapi kenapa kali ini kamu biarkan Papi duduk disini sendirian. Kemana kamu, Mi. Maafin sikap Papi tadi siang, mungkin Papi terlalu emosi, hingga lepas kontrol. Papi harap, kamu dan Cherry segera pulang, bagaimanapun, ini juga rumah kalian. Kalian yang selama ini mengisi hari-hari Papi."

03.00

Bia terbangun, dia keluar dari kamarnya. Karena haus, dia berjalan menuju dapur, mau tak mau Bia melewati sebuah ruangan khusus dimana itu merupakan ruangan yang selalu digunakan oleh Mami dan Papi untuk sekadar bersantai menghabiskan waktunya.

"Pi....Papi kok masih disini?" kata Bia, dia sedikit kaget karena menemukan Papi tertidur di atas kursi goyangnya.

"Iya, masih nunggu Mami sama Cherry."

"Biar aku aja, Papi tidur aja di kamar, nanti kalo udah pulang, aku bangunkan Papi."

Papi tidak menolak tawaran Bia. Memang badannya sudah tidak sesegar dulu, yang bisa begadang, bahkan untuk sesuatu hal yang tidak penting sekalipun. Umurnya yang sudah tua, membuatnya mengalami keterbatasan fisik yang cukup signifikan. Papi sudah tidak bisa lagi tidur atau makan telat, urusan tidur pun, harus tidur yang berkualitas. Semua itu akan mempengaruhi kesehatan jantung Papi.

"Ya Tuhaan.... badanku!" keluh Papi sambil berusaha berdiri dari kursi goyangnya. Usahanya untuk bangkit dari kursi itu gagal.

Bia menolong Papi menuju kamar.

"Pi, jangan begini lagi, ya. Kalo Papi sakit lagi gimana? Papi butuh waktu istirahat lebih banyak, Papi harus bisa menjaga kesehatan Papi sendiri. Jangan terlalu memaksakan diri."

"Iya Bi, tadinya Papi menolak tua, tapi umur ga bisa bohong, ya?"

Sempat-sempatnya mereka berdua tertawa dalam kondisi seperti ini. Inikah yang dinamakan hubungan seorang ayah dan anak yang sesungguhnya?

Saling menguatkan, jika yang lain lemah. Saling mengingatkan dan memberi dukungan, meski kadang dilupakan. Saling merasakan dan memberikan kehangatan dalam keluarga. Bia, anak yang masih belum jelas siapa ayah biologisnya, kini menjadi anak yang begitu diharapkan oleh Wilson, laki-laki yang dengan sadar mau mengakui keberadaan dirinya, meski belum jelas kebenaran, bahwa Bia memang hasil perbuatannya dengan seorang wanita jalang. Kadang, Wilson merasa menyesal dengan masa lalunya, namun ia segera menerawang jauh ke depan. Barangkali dengan merawat dan membesarkan Bia, anak itu bisa menjadi penolong di hari tuanya. Ya, hal ini yang seringkali memicu pertikaian dengan istrinya. Mami merasa harapan Papi kapada Bia terlalu mengada-ada, seolah-olah mereka tidak mempunyai keturunan yang bisa diandalkan untuk meneruskan dan mengurusi semua bisnis keluarganya.

"Udah, Papi diem di kamar dan tidur. Jangan keluar lagi sebelum pagi atau sebelum kubangunkan untuk sarapan!"

"Iya, Bi. Maaf ya, Papi ngerepotin kamu."