Mobil itu, tiba-tiba berhenti. Direm secara mendadak, membuat Mami dan Papi kaget.
"Kenapa Cher?" tanya Mami.
"Ga papa, Mi. Ada kucing lewat," jawab Cherry ngasal.
Mami tidak ambil pusing. Seperti biasa, mereka selalu mengarah ke rumah sakit khusus TNI.
"Kenapa kesini Cher, harusnya Papi dibawa ke rumah sakit khusus penyakit jantung kan, disana Papi akan mendapat pertolongan dan perawatan yang tepat."
"Ga tau Mi, feeling Cherry harus membawa Papi kesini, tadi Cherry liat ada dokter khusus jantung yang sedang bertugas di rumah sakit ini untuk perawatan para anggota tentara yang membutuhkan."
"Liat apa?" Mami bingung, tidak mengerti apa yang dimaksud Cherry.
Begitu pula Cherry, dia sendiri bingung dengan apa yang belakangan ia alami sejak pulang dari acara minggatnya dari rumah.
"Apaan si gue, gue aja bingung, apalagi Mami."
Tak sempat memberikan penjelasan apapun, mereka berdua segera menuju UGD, Papi langsung ditangani oleh dokter ahli jantung tentara pasukan khusus.
"Beruntungnya Papi," ucap Mami.
"Cher…gimana kamu bisa tau ada dokter ahli disini?" tanya Mami heran.
"E… itu, Mi."
Belum sempat Cherry memberi penjelasan, dokter memanggil Mami, pasti akan ada yang disampaikan tentang kondisi Papi.
"Untung aja!" batin Cherry lega.
"Gimana kondisi Papi?" tanya Bia tiba-tiba.
"Astaga, kaget gue. Ngapain lo?"
"Gue ngikutin mobil lo, Kak. Gue khawatir kondisi Papi."
"Ga usah sok peduli lo!"
"Gue emang peduli sama kesehatan Papi, emangnya salah?"
"Gue males debat sama lo, waktunya ga tepat!"
Cherry pergi begitu saja dari depan ruang UGD. Dia merasa terganggu dengan kehadiran Bia disana.
"Apaan sih tu anak, baru aja gue kasihan sama kondisi Papi, liat si Bia, perasaan gue langsung berubah. Sialan tuh anak. Pinter banget cari muka!"
Cherry geram, tanpa sengaja ia mematahkan sendok besi di tangannya. Ia belum sadar, sampai seorang pelayan kantin rumah sakit menanyakan kembali pesanannya.
"Mba…maaf, pakai ekstra sambal atau engga, ya?" tawar si pelayan kantin.
"Astaga, Mba…sendoknya kenapa bisa patah begini, ini besi loh padahal," seru si pelayan setengah histeris sambil membolak-balikan sendok itu.
"Si Mbanya keren banget, bisa matahin sendok besi," imbuhnya.
Cherry tersadar, dia pun merasa kaget sekaligus bingung. Sejauh ini, dia sadar, dia memang bukan wanita dengan penuh kelembutan, tapi tidak berarti ia kuat mematahkan sendok besi dengan tangan kosong.
"Em…. Sorry Mba, sendoknya udah rapuh kali, makanya waktu dipake jadi patah. Tenang aja, nanti gue bayar!"
Si pelayan hanya melongo mendengar alasan Cherry.
***
Papi harus rawat inap untuk pemantauan lebih lanjut. Hanya ada Papi dan Cherry di rumah sakit. Mami masih harus banyak istirahat, Cherry tidak mungkin membiarkan Bia yang menjaga Papi di rumah sakit.
"Mami mana?"
"Di rumah."
"Bia?"
"Pi…please! Yang anaknya Papi itu Cherry, kenapa nyariin Bia."
"Papi cuma mastiin Bia ada dan ga apa-apa."
"Shhh….."
Cherry muak dengan semua obrolan bertopik Bia. Seolah darahnya mendidih mendengar nama Bia. Cherry mengepalkan kedua tangannya, giginya gemeretak. Cherry memejamkan matanya dengan amarah yang memuncak. Tiba-tiba seluruh lampu dan kaca di sekelilingnya pecah. Perawat hilir mudik menyelamatkan pasien, begitu pula dengan ranjang Papi yang di dorong oleh seorang perawat melalui jalur evakuasi. Cherry masih terpejam dan belum menyadari kejadian di sekitarnya. Bahkan suara riuh tidak terdengar di telinganya. Seolah tidak ada kejadian apapun. Lima menit berlalu, Cherry membuka matanya, ditatapnya keadaan di sekitarnya yang hancur lebur, penuh pecahan kaca, suasana gelap, karena semua lampu ikut pecah bersama amarah yang terpendam dalam dirinya.
"Ada apa ini?" gumamnya sambil melihat kedua tangannya yang penuh dengan keringat, sedang dahinya yang terkena pecahan kaca tidak dirasakannya, hanya terasa ada lelehan cairan melewati pelipisnya.
Cherry mengusapnya.
"Darah?"
Dengan santai ia melenggang, pergi mencari tahu apa yang baru saja terjadi. Semua heran, tidak ada jawaban apapun. Cherry mulai mengaitkan semua yang terjadi, dari awal hingga kejadian yang baru saja terjadi.
"Apa ini yang dimaksud oleh kakek buyut?" batinnya.
Samar-samar ia mendengar jawaban atas pertanyaanya.
"Hati-hati dengan amarah dan dendammu, itu bisa menghilangkan orang yang kamu sayang!"
Cherry meremas rambutnya yang sudah lepek. Dia benar-benar tidak tau bagaimana cara mengendalikan semuanya. Itu terjadi begitu saja, tanpa aba-aba. Kepalanya terasa begitu berat, dia terjatuh di depan lobi rumah sakit.
***
(Keesokannya….)
Cherry terbangun, dia sadar, ada jarum infus yang menancap erat di tangan kanannya, pakaiannya adalah kostum khas rumah sakit. Dia melihat sekitar, tidak ada siapa pun.
"Kenapa lagi sama gue? Argggh…."
Pintu kamar terbuka.
"Yang, kok kamu disini?"
"Aku yang harusnya tanya sama kamu, kenapa kamu bisa terbaring begini. Cherry-ku yang kuat dan garang dimana?" canda Goldi.
"Siapa yang beri tau kamu?"
"Bia."
"Kamu kenal?"
Goldi menggeleng. Tiba-tiba Bia masuk.
"Papi yang nyuruh gue ngehubungin pacar lo!"
"Oh…" jawab Cherry pendek.
"Thank's ya bro. Lo udah nolongin cewek gue!"
Bia mengangguk, dia memberikan nasi kotak untuk Goldi.
"Gue udah makan, barangkali lo belum sarapan," ucap Bia sambil menyodorkan bungkusan di tangannya.
"Heh, Bia jangan sok baik sama laki gue."
"Tenang aja, gua ga nabur racun di nasi itu, kok. Gue balik ke kamar Papi, lo ga mungkin kan nungguin Papi, kalo elo sendiri terbaring dengan ranjang yang sama dengan Papi."
Cherry tidak menjawab apapun, memang begitu keadaannya, tidak ada yang salah dengan ucapan Bia. Cherry memang sedang tidak berdaya.
"Kamu belum jawab pertanyaan aku, Beb."
"Ga tau."
"Apanya yang ga tau?"
"Au ah!"
"Tuh kan…. kebiasaan!"
"Beb…by the way, si Bia jadi tinggal serumah sama kamu?"
Cherry tidak menjawab, hanya memberikan kode bahwa yang ditanyakan Goldi benar.
"Hati-hati loh kamu, nanti cinlok sama dia."
"Ya engga lah, Yang. Gak akan mungkin. Kamu tau seberapa bencinya aku sama dia. Jangankan cinta, ngobrol, ketemu sama dia aja aku ogah banget!"
"Namanya manusia kan, enggak ada yang tau, Beb."
"Udahlah, kamu kayak Papi, males aku kalo bahas Bia. Mending kamu pulang aja kalo mau ngobrolin tentang cowok ga tau diri itu."
Goldi mencubit gemas pipi tirus kekasihnya. Hitungan hari, mereka akan segera menikah. Berbagai persiapan sudah dilakukan, sekitar 85 % persiapan sudah selesai, sisanya tinggal menunggu hari H. Seperti biasa, Cherry kembali melihat sekilas apa yang akan terjadi untuk beberapa menit ke depan. Herannya hanya hal-hal baik saja yang dapat ia lihat.
"Mumpung aku masih disini, kamu butuh apa, Beb?" tawar Goldi.
"Emang mau kemana,Yang?" rengek Cherry manja.
"Mau keluar sebentar."
"Jangan! Jangan keluar!"
"Kenapa?"
Cherry diam, tidak mungkin dia menjelaskan sesuatu yang belum terjadi, namun ia sudah mengetahuinya.
"Hei….kenapa?"
"Aku masih kangen," jawab Cherry asal.
Cherry bukanlah tipe perempuan yang manja pada kekasihnya, apalagi mengumbar kata-kata yang mesra atau menyentuh lawan jenisnya dengan kata-kata yang membuat orang menjadi salah tingkah mendengarnya. Cherry dengan karakter dominan yang keras kepala dan tegas. Tidak heran, jika Goldi merasa aneh dengan alasan Cherry, seperti terlalu mengada-ada. Goldi memaksa pergi, Cherry dengan berbagai cara membuatnya untuk bertahan di dalam ruang rawatnya.
"Please…bentar lagi, Yang!"
Tidak tega, Goldi memutuskan untuk tetap di ruangan itu. Dengan atau tanpa alasan, Goldi akan berusaha selalu menjaga dan menemani Cherry. Cherry merasa lega, pada akhirnya Goldi mau mendengarkan permintaannya. Tentang bagaimana Cherry menjelaskan kenapa ia harus menahan kekasihnya, ia sendiri tidak tahu bagaimana. Tidak lama, terdengar pengumuman dari speaker rumah sakit, memberitahukan bahwa sebuah mobil dengan plat nomer polisi B 111 LZ, telah meledak akibat arus pendek.
"Itu kan mobil gue!" teriak Goldi kaget.
"Untung aja aku tetap disini, mungkin kalo aku memaksa pergi, aku pasti ikut gosong dengan mobilku, makasih ya, Beb."
Cherry lega, takdir masih memihaknya.
"Tapi, gimana kamu bisa tau akan ada hal buruk yang akan terjadi sama aku?" tanya Goldi masih penasaran.
"Aku ga tau, aku kan cuma bilang, jangan pergi, aku ga bilang bakalan terjadi sesuatu."
"Iya juga sih. Feeling kamu emang top banget. Belum jadi istriku aja kamu sepeka ini. Jadi makin sayang sama kamu, Cherry Putri Wilsonia. I love you, more…more and more…." Ungkap Goldi.
"Halah… gombal!"
Meski Cherry menolak pujian Goldi, jauh di lubuk hatinya, dia berbunga-bunga. Gengsinya lebih besar ketimbang ekspresi sukanya.
"Mama telfon, bentar ya."
Goldi berbicara pada Mamanya sekitar 10 menit. Dia harus pergi.
"Beb, aku pergi sebentar ya, nanti malam aku kesini lagi. Aku telfonin Bia ya buat nemenin kamu."
"Iya, ga usah, aku sendiri aja,Yang. Kamu pergi aja, ga apa-apa."
Cherry sendirian di ruangannya. Tiba-tiba ruangan menjadi gelap seperti malam, terdengar suara tanpa wujud. Cherry tau siapa di balik suara itu.
"Kakek buyut," ucap Cherry bergetar.
Suara tawa yang terbahak-bahak menyeruak, memenuhi ruangan kecil itu. Cherry menutupi kedua telinganya yang pekak akibat suara itu, ia sedikit ketakutan.
"Bagaimana, kamu suka dengan kekuatan barumu, Nak?" tanyanya.
Dugaan Cherry tentang penglihatannya serta kejadian lampu dan kaca yang pecah itu benar. Semua akibat kekuatan magis yang ia dapatkan dalam perjanjiannya dengan kakek buyutnya tempo hari.
"Kek, apa aku bisa mengendalikannya?"
"Bisa, semua terserah padamu, sudah kubilang, ini terlalu berbahaya untukmu. Tapi, apapun keputusannya, itu menjadi hakmu."
Tiba-tiba suara itu lenyap, ruangan kembali terang seperti sedia kala. Semua rasa sakit di tubuh Cherry juga hilang. Luka goresan kaca di dahinya sudah tidak ada. Tenaganya sudah pulih. Dokter datang, memeriksa kondisi Cherry. Ia merasa heran dengan keadaannya.
"Luar biasa sekali, padahal kemarin kesehatanmu begitu buruk, sekarang sudah tidak ada lagi yang perlu aku khawatirkan tentang kesehatanmu. Kamu bisa pulang sekarang juga, suster akan mengurus semua."
Cherry melompat dari ranjangnya dengan girang. Beberapa menit kemudian, Cherry sudah kembali menjadi dirinya. Wanita kuat dan garang yang berbalut dengan pakaian sexi. Dia memoles sedikit make-up di wajahnya. Lipstik merah bata dioleskan di bibir tipisnya, membuatnya terlihat semakin sempurna. Tidak lupa, sepatu berhak tingginya. Ia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah panjang dan sedikit terburu-buru. Seperti sedang berjanji dengan seseorang dan tidak ingin terlambat untuk menemuinya. Kemana Cherry pergi?"