Chereads / JANGAN DENDAM, JIKA RINDU / Chapter 3 - PELAKOR

Chapter 3 - PELAKOR

Cherry bukanlah gadis lugu dan bodoh, ia tidak serta merta percaya begitu saja. Meski informasi yang ia dapat adalah dari Papinya sendiri. Kepercayaannya pada Papi sudah hancur.

"Maaf Pi, tapi Cherry ga bisa diem begitu aja, Cherry bakal bongkar semua rahasia Papi," ujarnya.

Hari itu juga, Cherry terbang dari Soekarno Hatta menuju Surabaya. Sesuai alamat kantor cabang Papi disana. Ia dijemput oleh staff kepercayaan Papi.

"Om, jangan bilang Papi, aku ke Surabaya, ya?"

"Kenapa Cher?"

"Aku ke sini bukan untuk urusan pekerjaan, ada hal lain yang mau aku selesein, Om. Please, Om Rudi jangan bilang apapun ke Mami ataupun Papi."

"Ok, kalau itu mau kamu."

"Oh iya, Papi kapan terakhir ke Surabaya, Om?"

"Udah lama banget, sekitar 6 bulan yang lalu lah, tapi Pak Wil punya penggantinya, namanya Pak Bia, orangnya masih muda, sepantaran kamu. Pak Bia yang sering mondar-mandir ke kantor cabang. Kinerjanya lumayan sih, sepertinya Pak Wil bakal nyerahin jabatan direktur ke Pak Bia. Soalnya, Om yang mengurusi semuanya."

"What?"

"Kamu ga tau?"

Cherry menggeleng, ia semakin tidak percaya kalau Bia tidak ada hubungan darah dengan Papi.

"Om, apartemen Papi masih yang dulu kan?"

"Iya, kamu mau kesana? Biar Om antar."

"Ga perlu Om. Om balik ke kantor aja, aku naik taxi aja, Om. By the way makasih udah jemput aku, ingat ya Om, tolong jangan kasih tau Papi."

Om Rudi mengacungkan kedua jempol tangannya. Hati Cherry makin panas mendengar asset perusahaan akan jatuh pada Bia. Bukan karena kekayaan Papinya yang akan terbagi selain padanya, tapi cara Papi yang sembunyi-sembunyi, yang membuatnya begitu kecewa.

Cherry tiba di apartemen Papi. Sebuah bangunan yang cukup terawat meski tidak ditempati. Terlihat aneh menurut Cherry. Dia tidak langsung menuju apartemen. Ia mengamati dari sebuah lorong yang mengarah ke sana. Seorang wanita keluar dari dalam apartemen Papi, kira-kira sedikit lebih muda dari Mami.

"Cantik," ujar Cherry, namun bibirnya tersenyum sinis.

Cherry mulai melangkah, kemudian berhenti. Seorang pria yang juga lebih muda dari Papi keluar dari sana. Cherry menerka-nerka, siapa gerangan yang menempati apartemen Papinya itu.

"Gue yakin ada yang ga beres nih!"

Pasangan itu keluar meninggalkan apartemen. Cherry menyelinap dan menyusup ke apartemen itu.

"Buset, gue udah kaya maling. Padahal ini kan punya bokap gue sendiri!" gerutunya sambil mencoba membuka pintu apartemen itu.

"Yes, berhasil juga! Gue penasaran siapa mereka, apa itu orangtua Bia?"

Cherry melihat segala sisi di dalam ruangan itu. Ada foto Papi, Mami, juga foto Cherry. Cherry ingat dimana dan kapan foto itu diambil. Dia mengusap bingkai foto itu sembari tersenyum. Kemudian, langkahnya terhenti pada sebuah foto berbingkai kecil di salah satu meja dekat dapur.

"Foto ini?"

Cherry menggeleng-gelengkan kepalanya, dia hampir tidak percaya dengan foto itu.

"Gue ga tau, sejauh apa kebohongan Papi."

Cherry memutuskan untuk menunggu wanita dan si pria itu hingga mereka kembali ke apartmen. Benar saja, sejam kemudian, terdengar pintu depan dibuka.

Krek...krek…

"Loh perasaan tadi pintunya udah dikuci ya?" tanya si wanita pada prianya.

"Kenapa? Kaget ya, pintunya udah terbuka?" celetuk Cherry yang sudah lama menunggu kedatangan wanita itu.

"Kamu Cherry kan?"

"Oh, kamu tau juga namaku?"

"Kamu anaknya Mas Wil, kan?"

"Jadi kamu simpanan Papi?"

"Tunggu, kamu jangan salah paham, ini ga seperti yang kamu pikirkan."

"Halah…. Gue udah ga perlu penjelasan, udah jelas semuanya. Lu emang bukan wanita bener kan, liat aja, ini apartemen bokap gue kan, tapi lu pake semaunya, lu bawa pria ke dalamnya juga. Sialan, lu pasti udah nipu Papi, kan?"

Wanita itu diam seribu bahasa, mungkin ia memang bersalah telah membawa pria yang sekarang statusnya menjadi suaminya, meski tidak sah secara undang-undang.

"Hei… kamu masih muda, tolong bicara agak sopan pada kami!"

"Ok, jika itu mau kalian berdua! Tapi setidaknya beri tau gue, bukti kalau kalian ini emang suami istri yang sah."

"Em soal itu, aku ga bisa," ucap si pria pada Cherry.

"Kenapa? Oh…kalian cuma nikah siri ya? Jangan-jangan kalian pernah di grebeg gara-gara tinggal satu atap ya? Atau Papi gue juga korban dari wanita ini?"

Mereka berdua diam, sepertinya mereka tidak bisa menyangkal.

"Kenapa diam? Jadi benar?"

"Tante, denger ya, anak laki-laki yang bernama Bia, dia sekarang udah jadi anak kesayangan Papi, dia bakalan tinggal sama Papi di Jakarta. Apa kalian udah puas ngerusak kebahagiaan keluarga gue?"

"Gimana? Udah cukup?" tanya si Pria.

"Gue ga akan pernah merasa cukup untuk hal ini, sampai kapan pun, kalian berdua, mmm…no, kalian bertiga ga akan bisa hidup tenang!"

"Aku ga ada urusan sama si Bia itu, dia bukan anaku."

"Terserah, gue ga peduli!"

Cherry pergi, membanting pintu depan appartemen milik Papi yang entah bagaimana status kepemilikannya sekarang. Emosinya membara. Rasanya dia ingin memakan manusia yang ia jumpai.

"Gila sih ini, gue ga nyangka. Papi bisa kenal sama orang kaya mereka. Ini Papi yang ga bener atau dia yang kelewat pinter."

Hari sudah terlanjur malam, Cherry menginap di salah satu hotel yang tak jauh dari appartemen Papi. Niat hati ingin nongkrong di kedai kopi, bersantai, menunggu pagi, tidak taunya, ia bertemu seseorang yang sungguh tidak ingin ia jumpai saat itu. Wanita yang akhirnya ia ketahui bernama Melani.

"Cherry, maafkan Tante, ya?"

Cherry tetap diam, tidak merespon.

"Cher, kamu jangan salahkan Mas Wil tentang hal ini. Ini bukan kesalahannya sepenuhnya."

"Jangan sebut nama Papi gue!"

"Ok, maaf."

"Apa maksud Tante, bukan kesalahan Papi sepenuhnya?"

"Jadi… Bia itu bisa aja bukan anak Papi kamu, tapi bisa juga jadi anaknya. Aku sendiri tidak bisa memastikan siapa ayah biologisnya. Yang pasti, bukan pria yang kamu temui siang tadi. Dia adalah suami baruku. Benar tuduhanmu, kami memang nikah siri karena di grebeg."

"Dimana Tante kenal sama Papi?"

"Di depan kantornya, ga sengaja. Papimu memang baik sama semua orang, termasuk sama Tante waktu itu. Bisa aja kebaikannya itu disalah gunakan."

"Seperti Tante dan anak Tante, kan?"

"Tunggu, biar kuteruskan ceritaku dulu, terserah kamu mau percaya atau enggak. Singkat cerita, Papimu menawariku menginap di appartemen itu, katanya dia sedang butuh ART, kebetulan, Tante pun butuh pekerjaan. Lama-lama hubungan kami semakin dekat, Tante terpikat dengan Papimu. Padahal Tante tau, dia sudah berkeluarga. Memang, Tante bukan berasal dari keluarga baik-baik. Tante dibesarkan di jalanan, tanpa kasih sayang orangtua. Suatu hari, ketika Papimu pulang ke Jakarta, ia menitipkan appartemen itu sama Tante, disaat itulah, teman laki-laki Tante menginap disana. Mereka sama liarnya dengan Tante. Pemabuk, berjudi, tukang rusuh, itulah kehidupan kami di jalanan. Tapi, sejak kenal dengan Papimu, Tante perlahan berubah."

"Terus kenapa jadi Papi yang menanggung perbuatan rusak itu?"

"Tante udah bilang, Papimu orang yang kelewat baik. Jujur, Tante pernah tidur dengan Papimu sekali. Nah, setelah 4 bulan dari kejadian itu, Tante baru tau kalo Tante sedang hamil, itu pun karena Papimu yang menyuruh Tante periksa ke dokter kandungan. Mungkin dia merasa bersalah, Papimu membiayai full kebutuhanku hingga Bia lahir, bahkan sampai sekarang. Padahal itu belum jelas anak biologisnya. Papimu ga pernah mau untuk tes DNA. Begitu, terserah kamu mau anggap Tante dan Bia seperti apa, Tante udah cerita yang sejujurnya sama kamu."

"Shiit!"

Cherry menggebrak meja dihadapannya, hingga tumpah capuccino yang ia pesan beberapa menit yang lalu sebelum kedatangan Melani.

"Ok cukup. Tante ada urusan apa disini?"

"Tante kerja disini."

"Malam-malam begini? Dimana suami Tante?"

"Biasa, dia menghabiskan malamnya untuk nongkrong dan berjudi hingga pagi."

"Kenapa Tante mau bekerja malam?"

"Siapa lagi yang akan membiayai hidup kami? Dia lelaki pemalas, dia tidak bekerja."

"Astaga…. Gila dunia ini!"

"Ya, memang dunia ini gila, hanya orang gila yang merasa bahwa dirinya waras. Sedangkan yang waras, sebenarnya, mereka orang-orang yang lebih gila."

"Kenapa sampai sekarang masih tinggal di appartemen Papi?"

"Soal itu, Papimu udah menyerahkannya kepada Bia. Tante udah sempat pergi dari sana, tapi Bia maksa Tante untuk terus tinggal di sana."

"Kemarin, Papi bilang, anak Tante itu udah ga punya siapa-siapa di Surabaya, padahal ada Tante, ibu kandungnya."

"Suamiku ga pernah mau melihat Bia, mereka selalu bertengkar jika ketemu. Tak jarang, luka lebam dan memar di tubuhnya. Meski Bia tak pernah merepotkannya sama sekali, suamiku sangat membencinya, dia hanya mau tubuhku, bukan anaku. Kasihan Bia, dia anak yang malang. Selain itu, Tante memang sedang sekarat, tinggal menunggu kapan akan mati. Makanya, Tante melepas Bia. Membiarkan apapun yang ingin ia kerjakan. Sudah lama sekali, Bia ga mengunjungi Tante, sedih sebenernya, tapi, semua kutahan demi masa depannya. Mungkin ini adalah hukuman buatku karena masa lalu yang begitu kelam."

Wanita itu menangis di depan Cherry, dia memohon untuk dimaafkan. Iba juga awalnya. Tapi, sakit hatinya lebih besar. Apalagi jika mengingat kondisi Mami saat ini. Cherry memang tipikal gadis pendendam dan keras kepala. Sangat sulit untuk merubah pendiriannya.

"Gue mau balik!" sela Cherry sembari menggeser kursinya.

"Terimakasih, Cherry, udah mau ngedengerin penjelasan Tante."

Cherry acuh.

Dia berjalan menuju hotel tempatnya bermalam.

"Kenapa nasib gue jadi begini, ya? Gue pikir gue cewek paling beruntung di dunia, orangtua kaya, duit ga berseri, masa depan terjamin, punya tunangan ganteng dan setia. Taunya…." Cherry melemparkan tubuhnya di kasur yang super empuk.

Ponselnya berdering. Notifikasi video call.

"Goldi, dia selalu datang di waktu yang tepat," gumamnya sambil mengangkat ponselnya, mengarahkan kamera depannya tepat di wajahnya. Meski lelah dan kusut, wajah ayunya tetap terpancar dan mempesona.

"Kamu udah dapet sinyal, Yang?"

"Maaf ya, iya, ini lagi keluar dari desa. Eh, kamu lagi dimana ini, bukan di kamar ya?"

"Aku di Surabaya, Yang."

"Ngapain? Sama siapa?"

"Panjang ceritanya, intinya aku lagi jadi detektif, aku sendirian."

"Besok aku tunggu ceritanya, besok aku pulang ke Jakarta."

"Pasti."

"Sorry ya, Beb. Ga bisa telpon kamu lama, rombongan udah nungguin."

"Bye…"

Sebenarnya, Cherry sering menawari jabatan tinggi di salah satu perusahaan Papi, Goldi selalu menolak. Alasannya, dia tidak mau dianggap menggerogoti harta orang lain yang bukan siapa-siapa. Atau disebut 'cowok matre'. Goldi lebih memilih bekerja sebagai relawan bersama timnya, pergi ke pelosok desa atau ke daerah pasca bencana. Jangankan perusahaan keluarganya Cherry, perusahaan yang papanya kelola pun, Goldi jarang turun secara langsung untuk menghandle. Jiwa Goldi dirancang untuk berkelana, bukan berbisnis. Dua kepribadian yang saling bertolak belakang. Mungkinkah semesta bisa menyatukan mereka dengan ikatan pernikahan?