Menjadi seseorang yang sulit berkekspresi itu menyusahkan. Saat ini, Morgan bingung untuk memilih mimik wajah yang pas. Dia sedih, mendengar Cia dimiliki oleh orang lain, rasanya dia ingin membalikkan dunia saat ini juga. Dia bahagia, dia akan memanfaatkan momen di mana kehamilan Cia ditolak oleh para dewa. Dia juga kecewa terhadap Cia, wanita itu merahasiakan tentang belahan jiwanya kepada para dewa-dewi.
Lamunan Morgan seketika hilang saat Cia melenguh. Dia dengan sigap menghampiri Cia dan membantu wanita itu untuk duduk bersandar di kepala ranjang. Saat wanita itu membuka mata, dia menatap Morgan dengan saksama.
"Morgan," lirihnya. Cia mendesis pelan, jemarinya menahan perut bawah yang seolah ingin luruh dari tempatnya. "Perutkuuu," desisnya.
Morgan menyentuh perut Cia dengan lembut, seolah itu adalah hal yang paling rapuh di dunia. "Kamu hamil, Cia."
Wanita itu terdiam beberapa detik, dia hanya menatap perut ratanya yang kini diusap oleh Morgan. Ada rasa bahagia yang menyeruak, tetapi ada rasa sedih karena Zeno belum mengetahui masalah ini.
"Kata siapa?"
"Xerox."
Morgan pun menjelaskan kondisi janin milik Arlcia dengan terperinci. Melihat wajah Cia yang antusias, emosi sedih yang tadi dirasakan oleh Morgan pun menguap seketika. Dia, terlalu luluh oleh Cia, dengan melihat wajahnya saja. Wanita itu telah mengambil separuh jiwa milik Morgan, tanpa dia sadari.
Lama mereka saling diam, akhirnya Morgan bertanya, "Kau ingin ke ruanganmu?"
"Bolehkah aku di sini saja?" pinta Cia.
Boleh. Tentu saja boleh dan Morgan dengan riang menerima kehadiran Cia. Gunanya, untuk menghangatkan ranjangnya yang selama ini dingin. Morgan berdeham pelan, entah kenapa jika berada di dekat Cia, dia selalu ingin menempel pada wanita itu. "Iya."
Setelah memberi persetujuan itu, Morgan berdiri. Dia menggerakkan tangan secara acak ke udara dan muncul sebuah barrier seperti udara. Tidak ada yang bisa menembus barrier ini, sekalipun itu tiga dewa yang diagungkan.
"Tadi, banyak witcher ke rumahku. Aku rasa, mereka mulai beraksi," ujar Cia.
"Mereka menyakitimu?"
"Tentu saja tidak."
***
Rasa bersalah hinggap di hati Zeno. Ada suatu kendala yang harus dia tangani beberapa waktu lalu. Kini, setelah semua terkendali, dia akan menemui Cia. Zeno tidak sabar, rasa rindu yang menggebu membuat langkahnya semakin cepat.
Begitu sampai di halaman rumah istrinya, halaman itu penuh dedaunan. Bahkan, lampu di sisi pagar masih menyala di siang hari. Walaupun merasa aneh, tetapi Zeno tetap melangkah mendekati pintu. Mengetuk sekali, dua kali, hingga beberapa kali, dan tidak ada jawaban atas itu.
Dia mendorong pintu dan sekali lagi merasa aneh karena pintu tidak dikunci. Saat pintu cokelat itu terbuka lebar, Zeno tergesa masuk ke dalam. Membuka pintu kamar dan mendapatinya dalam keadaan kosong. Semua ruangan kosong. Hanya rumah ini yang berantakan dan mayat yang bergelimpangan.
Zeno berjongkok, telunjuknya menyentuh darah yang telah mengering. Kemudian, dia menatap wajah-wajah yang tidak dia kenali, tetapi bau amis bercampur belerang ini, membuat matanya terpejam.
"Witcher," lirihnya.
Lelaki berbaju hitam itu berdiri, dia mengirim telepati untuk Eros agar membawa beberapa prajurit ke sini. Sembari menunggu, Zeno masuk ke dalam kamar Cia yang tidak sepenuhnya rapi. Dia membersihkan kamar tersebut, menatap foto Cia yang terpajang pada bingkai di atas nakas.
Tak lama, Eros datang bersama lima lycan lainnya. Dia sempat bingung, rumah siapa yang didatangi oleh pimpinannya; kepala yang menjadi hiasan di lantai, serta tubuh-tubuh yang diduga pasangan dari kepala tersebut, bau belerang yang menyeruak, dan wajah Zeno yang terlihat menahan amarah.
"Mereka witcher." Zeno menginterupsi.
"Mereka sampai ke sini? Kali ini siapa mangsa mereka?" tanya Eros.
Zeno menghela napas, "Kekasihku."
Eros paham kesedihan itu, dia ingin bertanya lebih tetapi memilih bungkam. Apalagi ketika Zeno berjalan melewati mereka, keluar dari rumah tersebut. Eros dan beberapa prajurit yang dia bawa segera menyusul Zeno dan menutup pintu tersebut.
Zeno berlari dengan kencang sepanjang jalan, mengabaikan tatapan manusia yang keheranan dengan tingkahnya. Setelah dia sampai di tepi hutan, dia segera berubah menjadi lycan dan menelusuri hutan dengan rasa amarah. Kakinya tahu harus melangkah ke mana, Hutan Northern.
Hutan Northern berada di sisi barat Negara Latveria. Letaknya berhadapan langsung dengan Gunung Krakoa—gunung api aktif dan terbesar di negara ini. Ada sebuah tempat belerang beracun di bawah tanah, tempat di mana tunbuhan aneh dan hewan-hewan menyeramkan hidup. Mereka tidak bersinggungan dengan dunia luar, tetapi banyak makhluk yang bosan hidup berkunjung di sini.
Namanya Swensk. Daerah di Hutan Northern yang biasa dikelilingi oleh penganut aliran hitam. Penuh dengan pohon bambu dan pohon sequoia. Saking udara di sana beracun, pemerintah Latveria menutup akses menuju hutan tersebut, kecuali udara.
"Zeno!" teriak Eros. "Di sana berbahaya."
Zeno menatap tajam tangan kanannya itu, "Kekasihku di sana, Ros!"
"Kau adalah pemimpin kami. Jika terjadi sesuatu denganmu, bagaimana nasib kawanan? Dan apakah kau sungguh yakin jika kekasihmu di sana?"
Tidak. Zeno tidak yakin. Manusia normal yang masuk ke dalam hutan tersebut pasti akan mati perlahan. Witcher sialan itu pasti tidak bodoh dengan membawa mangsanya ke sana. Akhirnya, Zeno menggeleng lemah dan membungkuk lesu.
"Kita temui Noya," sambung Eros.
Benar. Noya pasti tahu di mana Cia berada. Kalaupun dugaan Zeno benar, dia akan menjadi yang paling salah dalam keadaan ini. Tanpa menunggu apapun lagi, dia segera melesat menuju lokasi Noya. Tidak ingin menunda-nunda, apalagi ini mengenai wanitanya, mate-nya, hidup-matinya.