Chereads / THE BLOODY MOON / Chapter 15 - 15. Bertemu Lagi

Chapter 15 - 15. Bertemu Lagi

Morgan merasa tidak punya muka lagi untuk berhadapan dengan Arlcia. Bisakah dia operasi plastik saja? Karena sedari tadi, Cia tak berhenti memandang Morgan dengan tatapan yang sulit diartikan. Ingin rasanya dia menghilangkan diri, tetapi entah kenapa tiba-tiba keberanian Morgan hilang. "Apa?!" Morgan bertanya dengan ketus.

"Kau, menyukaiku?" todong Cia.

Mampus! "Iya."

"Oh."

Sudah? Hanya 'oh' saja? Tidak ada bantahan, omelan, atau kalimat balasan 'aku juga menyukaimu'? "Kau tidak menyukaiku?"

Arlcia menatap Morgan dengan saksama. "Menyukaimu seperti apa? Aku memang suka bersamamu, tetapi tidak untuk perasaan yang lebih. Lagian, apa itu suka dan cinta?"

"Aku sampai lupa, kau kan sudah mempunyai Zeno," balas Morgan dengan suara sesedih mungkin.

"Zeno adalah belahan jiwaku. Hubungan itu lebih complicated daripada rasa suka atau cinta." Ah! Mengingat Zeno, Cia jadi kepikiran dengannya. Bagaimana keadaan lelaki itu, haruskah Cia datang berkunjung. "Morgan, apa energiku sudah cukup? Aku ingin turun ke bumi."

***

Bagi seorang pemimpin, kesejahteraan rakyay adalah yang utama. Begitupun dengan Zeno, sebagai pemimpin bangsa lycan wilayah utara, dia bertugas untuk mensejahterakan hidup rakyat. Walau mereka lebih ke keluarga daripada rakyat.

Setelah kerusakan yang diakibatkan oleh Vasilio kemarin, kawanan Zeno harus membangun ulang lagi kediaman mereka. Kegiatan ini mungkin akan memakan waktu yang cukup lama. Jadi, jika siang hari mereka bergotong royong, malam akan ada beberapa yang mencari makanan secara bergantian setiap harinya.

Bertemankan api unggun dan tenda-tenda darurat, para lycan bersenandung ria. Langit sedang menurunkan air kala itu, tetapi tetesannya tak sedikit pun menembus barrier baru. Barrier ini dibuat kembali oleh Zeno saat sekumpulan manusia-manusia gila itu telah pergi. Lebih tebal dan lebih kuat.

Zeno saat ini sedang mengawasi beberapa kelinci bakar. Mata tajamnya sesekali menatap kawanan dengan senyum yang mengembang. Beruntunglah mereka tidak menuntut banyak dan mengerti bahwa semua yang terjadi adalah kecelakaan. Bahkan, mereka tidak masalah tidur menggunakan tenda seperti ini.

Dari kejauhan, dua orang lelaki tergopoh-gopoh menghampiri Eros. Hal itu membuat atensi Zeno teralih. Dia meminta satu orang untuk menjaga kelinci bakar tersebut, kemudian dia berjalan menghampiri Eros.

"Ada apa?" Suara Zeno membuat percakapan ketiga lelaki itu berhenti.

Eros mengangguk pada mereka yang melapor dan menoleh menatap Zeno. "Ada cahaya yang turun dari langit."

Kedua orang tadi menyerahkan teropong binocular pada sang pemimpin. Zeno mengarahkan teropong itu ke langit, dia menemukan sesuatu yang melesat dengan kecepatan sedang mengarah ke kawanannya. "Berjaga-jaga." Zeno berteriak sembari menunjuk langit. Semua orang menatap ke atas, sesuatu itu mulai bisa dilihat dengan mata telanjang.

Blam!

Pancaran warna hijau menyilaukan mata selama beberapa detik. Cahaya itu kemudian semakin meredup dan menyisakan sedikit kilauan hingga akhirnya cahaya itu hilang sempurna. Ada seorang wanita cantik yang diselimuti pancaran tadi; gaun sutra tanpa lengan, kulit berwarna manis bak madu, rambut perak, dan bola mata indah itu membuat sesiapapun terdiam.

Wanita itu mengedarkan pandangan sambil tersenyum kecil, kemudian senyumnya melebar saat dia melihat lelaki berkaos putih yang sedang terpaku. "Zeno." Suara wanita itu mengalun indah dan amat merdu. Semua yang ada di sana mengira-ngira, apakah wanita ini titisan dewa?

Kakinya yang tanpa alas melangkah dengan anggun. Saat dia berjalan, aroma wewangian yang lembut menyeruak ke dalam hidung semua bangsa lycan. Aroma yang menenangkan.

Wanita anggun tersebut langsung memeluk Zeno, menumpahkan segala kerinduan yang membuncah. Hingga akhirnya Zeno sadar dan membalas pelukan wanita tersebut. Air matanya mengalir, akhirnya dia bertemu dengan belahan jiwa yang selama ini dia cari.

"Cia," lirih Zeno.

Arlcia mengurai pelukannya, dia menghapus jejak basa pada pipi Zeno. "Aku berusaha menahan tangis, kenapa kau menangis bodoh?!"

Plak!

Cia menampar Zeno dan langsung membanting laki-laki itu ke tanah. Semua kawanan Zeno menahan napas melihat itu. Sementara Zeno, lelaki itu menatap Cia dengan keheranan. Tadi, mereka berpelukan dan kini wanita itu membantingnya. Apa ada yang salah?

"Bangun kau, sialan!" bentak Cia. "Apa yang kau lakukan selama aku tidak ada, hah?!" Zeno berdiri, dia menatap istrinya dengan tatapan bertanya 'apa salahku?'. "Kau! Untuk apa kau mencariku ke sarang witcher?!"

Oh, karena itu. "Aku pikir mereka menculikmu."

Cia mengembuskan napas dengan kasar. Dia berjalan lagi ke arah Zeno dan segera mengecup bibir lelaki itu. "Aku khawatir."

Zeno berdeham, dia menatap sekeliling. Kemudian dia membawa Alrcia ke dalam tenda besar miliknya. "Jelaskan padaku!"

"Apa?!" Cia tak mau membalas dengan lembut.

Zeno geram. Dia bukan kehilangan kesabaran, hanya saja dia sudah sangat menahan untuk tidak menerkam wanita itu di depan banyak orang tadi. Rasa rindu ini terlalu menggebu untuk dilampiaskan secara perlahan. Zeno beralih menuju luar tenda, setelah melihat situasinya aman, dia memasang barrier khusus untuk tendanya.

Tidak ada yang boleh mendengar suara mereka berdua.

Saat Zeno kembali masuk, Cia sudah berdiri di depan tempat tidur berukuran sedang milik Zeno. Gaun Cia yang merupakan terusan, mempunyai belahan pada sisi kanan dan kiri hingga setengah paha. Siapapun bisa melihat indahnya kulit wanita itu. Apa jangan-jangan tadi semua lelaki melihat itu?

Namun, pandangan Zeno teralih pada perut Cia yang membuncit. "Perutmu kenapa?"

Senyum Cia melebar, akhirnya sang suami menyadari perubahan itu. Cia menghampiri Zeno, mengambil tangan lelaki itu, dan meletakkan jemari kokoh itu ke atas perutnya. "Mereka anak kita."

"Mereka?"

"Janinku kembar."

Zeno membeliak tak percaya. Dia segera berlutut dan menciumi permukaan perut istrinya. Perasaan haru yang luar biasa menyeruak di dalam hatinya. Saat Zeno menatap perut itu, dia berkata, "Hai, anak-anakku."

Mendengar suara Zeno, perut Cia bergelombang pelan. Hal itu membuat keduanya saling menatap dan tersenyum. Inilah yang Cia inginkan, merasakan kehangatan Zeno untuk anak-anak mereka.

"Apa kau tidak ingin mengunjungi mereka?" tanya Cia, perkataannya ambigu ditelinga Zeno.

Apakah maksudnya, mengunjungi itu adalah melakukan itu?