Chereads / THE BLOODY MOON / Chapter 14 - 14. Dua pemimpin

Chapter 14 - 14. Dua pemimpin

Bergotong-royong akan membuat pekerjaan selesai lebih cepat. Begitu halnya dengan kawanan lycan. Siang ini, mereka bergotong royong memotong batang-batang pohon menjadi lebih kecil dengan panjang yang sama. Kemudian, yang lain bertugas menyiapkan makanan serta minuman. Anak-anak diminta menjauh dan bermain di sisi lain.

"Sedikit lagi selesai. Kita harus bersiap ke atas," ujar salah satu lycan.

Zeno mengangguk. Dia menaruh kapak pada tempatnya dan berjalan menuju rumahnya untuk berganti pakaian. Setelah dia selesai, para lycan lelaki pun telah siap. Para wanita dan anak-anak, menunggu di rumah.

Rencananya, siang ini mereka akan memperbaiki aliran sungai yang macet. Sekalian akan memancing ikan serta berburu hewan untuk disantap bersama nanti malam. Zeno membawa alat panah crossbrow miliknya, mereka tetap menjadi manusia. Karena ini gunung, takutnya jika mereka berubah menjadi lycan dan berbondong-bondong akan diketahui oleh makhluk lain.

Satu rusa jantan telah berhasil mereka tangkap, beberapa mengurus rusa tersebut, dan yang lain kembali melanjutkan perjalanan hingga ke sungai. Di sini, mereka beramai-ramai menangkap ikan. Sedangkan rusa tadi, dikuliti dan dipotong-potong di tepi sungai.

Semua berjalan lancar, sesuai keinginan. Kini, mereka menuruni gunung dengan perasaan senang. Malam ini, mereka akan mengadakan makan bersama. Namun, baru setengah perjalanan, Zeno yang berada di barisan paling depan seketika berhenti. Kawanannya pun ikut berhenti.

"Bangsat!" maki Zeno. Dia segera berlari kencang menuju pemukiman, diikuti oleh yang lain. Walaupun mereka tak tahu apa yang terjadi, tetapi mereka mengikuti sang pemimpin.

Begitu sampai di bawah, amarah Zeno memuncak. Apalagi melihat kawanan perempuan dan anak-anak terkurung pada beberapa sel. Lelaki itu juga melihat banyaknya manusia yang datang. Sebuah excavator sedang menghancurkan atap-atap rumah, kemudian sebuah bulldozer siap meratakan puing-puing itu. Tidak hanya bulldozer, ada grader di sana yang membuat puing-puing itu semakin tenggelam ke dalam tanah.

"Jangan ada yang berubah!" titah Zeno. "Kalian urusi keluarga kalian masing-masing."

Zeno seorang dengan aura intimidasinya, berjalan ke arah para manusia. Mereka yang akan dilewati oleh Zeno, langsung menjauh. Sementara lelaki tersebut, berjalan lurus ke depan, menghampiri seorang lelaki yang paling mencolok dengan rambut merahnya.

"Apa maumu?!" tanya Zeno dengan penuh ketegasan.

Vasilio menoleh, mata merahnya bagaikan api yang membara, "Hancur dibalas hancur."

"Kau witcher."

Vasilio terkekeh sesaat, lalu berubah lagi menjadi ketus, "Mereka di bawah naunganku."

Zeno yang sudah tidak tahan, akhirnya maju. Dia melayangkan tinju ke arah Vasilio, tetapi lelaki tersebut mengelak. Mereka berkelahi tanpa senjata apapun, hanya kedua tangan, kaki, dan kepala. Kali ini Vasilio menendang dengan kaki kirinya, tetapi Zeno dengan cepat menangkis tendangan dan melayangkan tendangan super hingga Vasilio terjatuh.

Banyaknya manusia membuat Zeno tidak nyaman. Dia memilih untuk mengakhiri ini, "Pergi dari sini, jangan ganggu kami!"

"Tidak akan!" balas Vasilio.

Vasilio tentu tidak mau begitu saja pergi dari sini. Kesalahan lalu waktu itu, harus segera ditebus. Namun, suara guntur yang saling membentur di langit, mengalihkan atensi seluruh orang. Saat sebuah petir menyambar tepat di antara Vasilio dan Zeno, semuanya menahan napas. Begitupun kedua lelaki tersebut yang saling menuduh di dalam hati.

Ketika petir ketiga yang lebih dahsyat ketimbang sebelumnya hadir, kedua lelaki tersebut baru berbalik menuju kawanan masing-masing. Pasanya, petir ketiga ini membawa cabang hingga beberapa dahan pohon tumbang. Dari kejauhan, Vasilio dan Zeno menatap ke atas langit, mereka mengutuk Zeus dengan lantang di dalam hati.

"Mengapa aku yang terkena imbasnya?" heran Zeus.

"Kau dewa langit dan petir, memangnya kepada siapa lagi mereka harus mengutuk?" jelas Arlcia dengan semringah.

Zeus berjalan mendekat ke arah Cia, dia mengecup kening wanita itu, dan menatap perut Cia yang mulai membesar. "Dia bayi laki-laki. Akan setangguh dirimu, sehebat dirimu, dan memiliki jiwa pemimpin seperti ayahnya. Hanya saja, kekuatan bayi ini masih baru bagi kami, Cia."

Zeus mundur dua langkah, kembali mengambil jarak dengan wanita cantik tersebut, "Kau yakin jika lycan itu bisa menjadi ayahnya?"

"Maksudmu?" Cia tak mengerti dengan kalimat Zeus yang berbelit.

"Dia butuh energi Naitura untuk hidup dan tak mungkin jika lycan itu yang akan kemari," terang Zeus.

Cia tak menjawab, dia berbalik, dan meninggalkan Zeus. Dewa petir itu masih menatap punggung Cia, hingga helai gaunnya yang terseret hilang ditelah pintu. "Kasihan sekali nasibnya."

Hera dan Athena yang memang ada di sana mengangguk. Takdir bahkan mempermainkan perasaan serta hidup wanita itu. Hera yang terkenal pencemburu dan galak, tidak pernah merasakan hal itu pada Arlcia. Baginya, Arlcia adalah anak perempuannya.

"Tentang super blood moon ...." Bola mata Athena menatap ke bawah, alisnya seolah menyatu dengan kernyitan di dahi. "Apakah Arlcia akan kita beritahu?"

"Tidak! Itu takdir dan biarkan itu berjalan sebagaimana mestinya," balas Zeus.

Takdir adalah ketetapan yang tak bisa lagi diubah, tetapi nasib adalah hasilnya. Jika memang nasib bumi akan hancur, para dewa akan membantu untuk memulihkannya. Tidak ada yang perlu ditakutkan.

"Berpura-puralah tidak tahu, Athena," ujar Hera.

Bagaimana bisa aku berpura-pura tidak tahu?! Ramalan itu, terlalu buruk untuk menjadi kenyataan. Aku hanya, tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Aku tidak ingin Arlcia atau Morgan kenapa-napa. Batin Athena kini berkecamuk tak karuan.

Jadi, wanita pemilik mata biru itu meninggalkan Heran dan Zeus. Dia berjalan anggun menuju kuilnya sendiri—Parthenon. Parthenon sendiri diambil dari julukannya Parthenos yang berarti perawan.

Dalam perjalanan, sesekali dia berpapasan dengan dewa-dewi lain. Namun, yang menjadi perhatiannya adalah tawa Morgan yang begitu merdu. Dari kejauhan, dia melihat Morgan dan Cia sedang berdebat entah karena apa, tetapi lucu pada saat yang bersamaan. Sehingga, Athena memutuskan untuk berbelok dan menghampiri mereka.

"Morgan," sapa Athena.

Morgan membungkuk sekilas, "Dewi Athena, Sang Parthenos."

"Kau menyindirku?" Athena duduk di sisi Arlcia, dia dengan tiba-tiba merebahkan kepala pada bahu Cia.

"Apa ada masalah?" tanya Cia.

Ya. Masalah karena aku harus berpura-pura tidak tahu. "Tidak ada." Perkataan di mulut berbeda dengan kata hati, 'kan? Lalu, Athena menatap ke bawah, perut Cia sedikit membesar dan itu membuatnya langsung mengelus dengan pelan. "Bagaimana rasanya hamil?"

Cia tersenyum, "Menakjubkan."

"Kau ingin hamil?" tanya Morgan.

Athena langsung menegakkan badan, dia melempar Morgan dengan buah-buah yang ada di dalam keranjang. Arlcia tergelak, kapan lagi dia mendapat hiburan di sini.

"Bukankah Morgan juga sendiri? Mengapa kalian tidak begitu-gitu?" arlcia bertanya dengan spontan. Sementara Athena menoleh dengan tatapan heran, Morgan menatap Cia dengan tajam.

"Morgan itu hanya menyukaimu, Cia. Apa kau tidak tahu?"