Chereads / THE BLOODY MOON / Chapter 3 - 3. Mate

Chapter 3 - 3. Mate

"Apa kakimu masih sakit?"

Gadis bersurai indah itu menggeleng cepat, sembari jemarinya mengacung ke depan. "Kau!" Cia memperingati Zeno yang ingin menggendongnya—lagi. "Kakiku sudah baik dan jangan gendong aku."

Bohong! Kaki gadis itu masih sakit, bahkan menggerakkan pergelangannya saja susah. Namun, dia merasakan sengatan aneh saat dia bersentuhan dengan Zeno.

"Baik."

Zeno berbalik, berjalan melewati semak-semak di dalam rumah, dan menunggui gadis yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Lama menunggu, akhirnya gadis tersebut datang dengan berpegangan pada dinding. Keras kepala.

Zeno berdecak, dia menghampiri Cia, dan menggendong gadis itu tanpa aba-aba. "Bebal. Kapan kita sampai tujuan kalau kamu saja jalan seperti siput?!"

Terpaksa Cia mengalungkan tangannya pada leher Zeno. Mereka bertatapan, tetapi lelaki bermata emas tersebut langsung memutuskannya saat sebuah sengatan mengenai hati mereka. Zeno membawa Cia untuk duduk di undakan tangga, di luar rumah usang tersebut.

"Tatap aku," paksa Zeno.

Jemari besar lelaki itu menangkup wajah Cia dengan lembut, seolah takut bila dia sedikit kasar akan menghancurkan gadis tersebut. Saat mereka bertatapan, seolah ada sebuah visi yang mereka lihat di antara mata masing-masing.

Visi itu indah. Cia dengan surai peraknya yang menjuntai sedang duduk di atas pangkuan Zeno. Wajah mereka terlihat lebih matang dari sekarang. Namun, yang membuat keduanya tercengang adalah keempat anak kecil sedang bermain tak jauh dari mereka.

Keempat anak itu mirip dengan wajah Cia dan Zeno. Saat itu pula keduanya melihat di dalam visi, jika mereka berciuman. Hal itu membuat jantung keduanya berpacu lebih cepat.

Jemari Cia dingin seketika, sementara Zeno segera menggenggamnya. Menyalurkan kehangatan untuk gadis di hadapannya ini. "Mate."

Cia ternganga, dia tak bisa berkata-kata. Gadis itu hanya bisa meneteskan air mata sebagai respons. Selanjutnya, dia menunduk. "A-aku bukan makhluk sepertimu, Zen."

"Tak perlu menjadi sepertiku untuk bersamaku, Cia." Jempolnya mengusap air mata yang berjatuhan dan mengecup kedua kelopak mata milik Cia—gadisnya. "Mungkin, hari ini memang takdir kita dipertemukan."

Ada sesal di hati Cia. Mulutnya tak bisa berkata yang sejujurnya. Dia, terlalu takut untuk menyampaikan kebenaran. Otaknya memberikan perintah untuk berkata jujur, tetapi hatinya meminta untuk tetap diam dan biarkan waktu yang berbicara.

Akhirnya, Cia hanya bisa merengkuh dengan tergesa laki-laki di hadapannya. Merengkuh dengan sedikit kuat, takut kehilangan, karena gadis itu telah menunggu selama ribuan tahun lamanya.

"Aku telah menunggumu begitu lama," ucap Zeno.

Ada kerinduan dalam kalimat itu. Kerinduan yang dulu dia rasakan entah untuk siapa, merasa sepi, dan kosong. Namun sekarang, rindu itu akan tertuju untuk gadis cantik ini. Tidak lagi sepi dan akan terisi penuh hanya oleh gadis ini.

"Ayo, aku akan penuhi janjiku. Aku akan mengantarmu ke teman-temanmu," sambung Zeno.

Cia mengangguk semangat. Walaupun sebenarnya dia tak rela berpisah dengan lelaki ini, tetapi dia lebih tak tega melihat teman-temannya yang kelimpungan karena dia terpisah.

Jika tadi gadis itu menolak untuk digendong, sekarang, dia yang mengulurkan tangan—meminta untuk digendong. "Aku, ringan, 'kan?"

Zeno terkekeh dan menatap gadis itu, "Sangat ringan."

Setelahnya, dia meminta Cia berpegangan erat. Zeno melompat dari pohon ke pohon dengan lihai. Sedangkan gadis di gendongannya, hanya menatap wajah itu yang semakin lama sialnya makin tampan. Membuatnya terpesona setiap detik.

Semakin lama, gerakan Zeno semakin cepat, tetapi Cia dengan kemampuannya masih bisa melihat wajah itu dengan jelas. Setelah beberapa saat, lelaki tersebut melompat ke bawah dengan hati-hati. Bagaikan angin, karena Cia tak merasa tubuhnya berguncang.

Dada Zeno naik-turun. Sungguh Cia sangat menyayangkan tak bisa melihat yang ada di balik kain tersebut. Dia pun menyesal, karena tadi dia sempat risih dengan keadaan lelaki itu yang bertelanjang dada.

Dengan hati-hati Zeno menurunkan Cia. "Itu teman-temanmu, 'kan?" Cia mengangguk, tetapi dia tidak kunjung melepaskan pelukannya. Padahal, kaki gadis tersebut telah menapak dengan sempurna di atas tanah. "Kenapa?"

"Aku ... kapan kita bisa berjumpa lagi?" tanya Cia, memastikan.

"Setelah kau pulang dari tempat ini, aku akan menemuimu. Segera."

Cia melepaskan pelukannya. Mereka bertatapan dalam diam. "Oke, aku pergi dulu."

Cia berbalik, dia menatap dari kejauhan teman-temannya sedang membuat tenda. Berjalan dengan semangat, tetapi baru beberapa langkah, sebuah dekapan hangat melingkupi tubuhnya.

Zeno melepaskan pelukan, berjalan ke depan, dan tubuh besarnya menutupi pandangan Cia. "Aku akan merindukanmu."

Cia terkekeh, dia sedikit berjinjit dan mengecup bibir tebal lelaki itu. "Jangan cium perempuan lain, bibir ini milikku."

"Ha-ha-ha," Zeno mendongakkan wajahnya dengan tawa yang dia gaungkan. Lelaki itu merasa lucu dengan tingkah serta perkataan Cia. "Kau adalah perempuan pertama yang ku peluk, ku gendong, dan bersentuhan seperti ini. Aku milikmu, Cia. Milikmu."

Zeno maju satu langkah. Tangannya bergerak ke belakang tubuh Cia, mengangkat sedikit gadis itu dan memepetkan tubuhnya ke pohon besar di belakang. Bibir tebalnya melumat bibir Cia yang seksi. Ciuman itu lembut, tak tergesa, dan penuh dengan perasaan. Tarikan napas terdengar dari keduanya dan kini mereka saling bertatapan.

Zeno mengusap bibir Cia yang berwarna peach dengan lembut. "Aku akan melihatmu dari sini hingga kau sampai pada teman-temanmu."

Cia mengangguk. Dia menggigit bibirnya sendiri, merasa kosong saat bibir mereka tak lagi menyatu. "Aku akan menunggumu."

Cia berjalan riang ke depan. Di matanya masih terngiang-ngiang kejadian beberapa saat lalu. Semakin dia berjalan, semakin dekat dia dengan kelompoknya.

"Ive!" pekik Cia.

Gadis yang dipanggil itu langsung berdiri dan berlari secepat mungkin ke arah Cia. "Sayangku, Cia! Kau baik-baik saja? Kau, apa kau ter—astaga, Ciaaa! Kakimu."

Kedatangan Cia membuat yang lain segera mengerumuni gadis tersebut. Melihat itu, Zeno tersenyum ringan dan berbalik menjauh. Dia membiarkan gadisnya bersenang-senang sebelum nanti akan dia kurung dalam pengawasannya.