Zeno, si pemimpin bangsa lycan wilayah utara, menetapi janjinya untuk menemui Cia di rumah gadis tersebut. Bukan Zeno namanya jika tidak membuat Cia terkejut. Lelaki itu datang dengan mobilnya, berisikan makanan-makanan untuk Cia. Apakah dia pikir gadis itu tidak punya uang untuk membeli?
"Apakah aku semiskin itu?"
"Apakah kau selalu berburuk sangka pada orang lain?"
Cia mengembuskan napas dengan kasar, dia berlalu untuk mengambil jaket dan ponsel di kamar. Kemudian, dia berjalan menuju mobil Zeno dan menunggunya di dalam benda beroda empat tersebut. Gadis itu membiarkan Zeno yang membereskan belanjaan dan mengunci rumahnya.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya diam. Beberapa waktu lalu, Cia mengajak Zeno berbicara, seperti menanyakan kegiatan, makan apa saja beberapa hari ini, atau hal remeh lainnya. Zeno hanya membalas dengan senyum tipis atau kernyitan di dahi. Hal itu membuat Cia mengumpat mati-matian di dalam hati.
Kini, kening gadis bertubuh tinggi itu terlipat, dia melihat sang belahan jiwa menepikan mobil di sisi hutan. Apakah mereka akan berkencan di hutan? Namun, Zeno tak berkata apa-apa, dia lekas keluar dan menunggu Cia di luar. Padahal, gadis itu menunggu Zeno membukakan pintu mobil untuknya.
Mereka memasuki hutan, menapaki jalan penuh daun dengan tempo sedang. Tidak ada percakapan, hanya tangan yang saling menggenggam itu membuat Cia tersenyum dalam hati. Gadis itu tak pernah begini selama hidup. Umurnya memang sudah ribuan tahun, tapi masih pantas disebut gadis, 'kan?
"Kita mau ke mana?" tanya Cia setelah sekian lama diam.
"Bertemu dengan kawananku."
Cia menatap terkejut ke arah Zeno. Dia bungkam, enggan mengatakan jawaban atas jawaban yang diberikan oleh Zeno. "Kamu gila? Mana mungkin aku mau ikut denganmu pergi ke sana."
"Kenapa? Mereka akan menghargai dan menyambut kedatanganmu, Cia."
"Tidak! Aku tidak bisa pergi mengikuti ajakanmu, Zeno. Aku takut," takut kalau ada yang tau siapa aku sebenarnya.
"Apa yang kau takutkan? Bangsaku tidak mungkin menganggapmu musuh. Karena kamu adalah mate-ku."
Pembicaraan Zeno dan Cia membuat Cia bingung, bukan malah mendapat solusi. Gadis itu merasa jika ini adalah sesuatu yang sangat menantang dan begitu ekstrim jika nekat dilakukan begitu saja dengan memaksa. Hingga detik ini, Cia susah untuk menentukan jawaban.
"Jadi bagaimana? Apakah kamu mau menerima ajakanku ini?"
Cia langsung menggeleng, "Kau saja, aku lebih baik tinggal di sini sendirian. Aku tidak mungkin bisa menjalani kehidupan di luar sana dengan alam yang bebas terbuka."
"Tapi kau harus bisa melakukan itu. Demi aku, Cia."
"Aku, aku belum bisa sekarang, Zen."
Lelaki berambut cokelat itu memejamkan mata, menetralisir segala emosi. Dia paling benci dengan bantahan, tetapi ini yang membantah adalah gadisnya. Jadi, Zeno memutuskan menghindar dari sana setelah mendengar Cia mengatakan jawaban yang benar-benar sudah pasti. Zeno masih terasa berat jika harus meninggalkan Cia, tetapi di satu sisi, gadis itu malah terlihat tak peduli dan sama sekali tidak respect terhadap ajakan dari Zeno.
"Baik, aku akan pergi. Tolong jangan pernah cari aku dan jangan menyesal." Zeno melambaikan tangan ke arah Cia.
Gadis itu merasa jika keadaannya seperti temaram dan membuat penglihatan terasa buram. Dia tidak bisa melakukan apa-apa atas sesuatu yang sedang dihadapinya saat ini. "Padahal, kalau dia mau rayu aku, aku pasti menuruti permintaannya."
Semuanya sudah terlambat. Cia kehilangan jejak langkah kaki Zeno yang tampak menjauh darinya. Hingga pada akhirnya keberadaan Zeno sudah tidak bisa ditangkap oleh sepasang matanya.
"Dia benar-benar sudah pergi. Huh! Haruskah aku menunggunya? Atau aku pulang saja ke rumah? Tapi, kan, aku tidak punya kunci mobilnya."
Tidak lama dari kepergian Zeno, suara-suara aneh yang dapat didengar oleh telinga Cia membuat gadis itu waspada. Dia percaya bahwa itu semua adalah suara yang didapatkan dari keadaan yang saat ini tak berpihak padanya.
Walaupun sedang dalam keadaan waspada, dia tetap harus berjalan menuju tepi hutan. Menunggu Zeno di sana lebih baik ketimbang menunggu di dalam hutan yang rawan akan makhluk-makhluk immortal.
Satu jam, dua jam, bahkan hari menjelang sore. Kaki Cia terasa pegal dan dia juga merasa betisnya membesar. Menunggu adalah hal yang paling membosankan.
Gadis dengan rambut perak itu menghela napas. Dia melompat turun dari kap mobil dan pergi dari tempat tersebut. Dia yakin, Zeno tidak akan kembali.
Tepat setelah lima belas langkah, gadis itu terpaku. Kakinya lemas bagaikan agar-agar setengah beku. Zeno memeluknya dari belakang beberapa saat, kemudian memutar tubuh Cia hingga tatapan mereka bertemu.
"Ayo kita menikah."
Mendengar pernyataan itu, detak jantung Cia melambat. Rasa senang dan bahagia yang datang tiba-tiba, menggantikan rasa kesal yang tadi hinggap. Dia merasa, dia akan mati sekarang juga karena jantungnya melambat.
"M-me-menikah? Kau dan aku?"
Zeno mengangguk. Laki-laki itu bergeser sedikit dan ternyata di belakangnya ada seorang lelaki tua. "Dia Noya, dia yang akan menikahkan kita."
"Tapi, aku belum mengiyakan pertanyaanmu tadi."
"Itu bukan pertanyaan. Aku tidak butuh penolakan. Lagi pula, kau tau akibatnya bila sepasang jiwa telah bertemu dan terpisahkan dalam waktu yang lama, 'kan?"
Cia mengangguk. Karena kemarin dia hampir saja mati karena terlalu lama berjauhan dari Zeno. Ikatan mate ini benar-benar mengganggu, tetapi ini adalah pilihan sang dewi. Itu pasti hal yang telah dipikirkan secara matang.