Sederhana, tetapi begitu khidmat. Cia dengan gaun berwarna cokelat muda, serta Zeno dengan kemeja berwarna putih. Hanya ada Noya sebagai penyatu, tidak ada yang lain. Mereka berdua sepakat menyembunyikan hal ini kepada khayalak ramai.
Saat mereka berdua berciuman, angin berembus lembut, menerbangkan dedaunan dan menumbuhkan bunga-bunga di pohon. Hal ini agak aneh menurut Zeno dan Noya, tetapi mengingat beberapa waktu ini perubahan musim tak terkendali, mereka akhirnya memaklumi.
"Aku berjanji, jika waktunya tepat, dan kau menginginkan. Aku akan membuat pesta besar-besaran untuk perayaan ini." ujar Zeno.
***
Pagi menjelang, waktunya semua aktifitas dimulai. Namun tidak dengan kedua makhluk yang masih bergelung dengan selimutnya. Cia berbaring menghadap jendela, sedangkan Zeno memeluknya dari belakang. Selimut menutupi tubuh mereka dengan erat. Bahkan tanpa disadari, cahaya matahari terlihat enggan menembus dinding itu.
Lama begitu, sampai akhirnya suara gedoran keras dari pintu dan sebuah teriakan nyaring terdengar di telinga keduanya. Cia hampir melompat, beruntung sekali dia ingat jika dirinya telanjang. Namun, gadis yang sudah bisa disebut wanita itu langsung berlari ke arah kamar mandi tanpa malu.
Hanya sebentar dan Cia telah mengenakan jubah mandinya. Dia bergegas menuju pintu utama, setelah dia memberi peringatan pada Zeno untuk tidak keluar.
"Apa?!" ujar Cia dengan tidak ramah.
"Sialan! Apa yang kau lakukan di dalam, hah?!" Ive menerobos masuk dan duduk di sofa dengan kasar. Dia juga melempar sembarangan tas yang dikenakannya. "Selena mengatakan bahwa semalam Naitura mengeluarkan cahaya emas kemerahan."
Cia langsung mengambil posisi di sisi Ive. "Lalu?"
"Lalu? Lalu kita diminta untuk ke atas sekarang!"
Cia menggeleng. Dia baru saja menikah kemarin malam dan sekarang dia harus meninggalkan suaminya? Oh, Cia bahkan belum puas akan hal semalam. Lagi, Zeno hanya mengetahui bahwa Cia adalah manusia biasa. Wanita itu telah menghilangkan aroma langit dari tubuhnya.
"Ciaaa, ada apa denganmu? Kau kan yang biasanya bersemangat jika kita pulang." Ive merayu sembari menggenggam tangan sahabatnya. "Kau tau kan, aku rindu rumah."
Yaaa ... walaupun di atas sana tidak pantas disebut rumah, tapi untuk Ive yang merupakan setengah dewa, Olympus adalah yang terbaik. Dia tidak perlu lagi menyembunyikan identitasnya, apalagi kekuatannya.
"Ive," ujar Cia dengan hati-hati. "Jika aku memintamu untuk pulang sendiri bagaimana? Aku benar-benar tidak bisa. Eum, aku bisa, tapi mungkin tidak sekarang."
Oke, Ive paham. Dia akan pulang sendiri kali ini dan sepanjang perjalanan, dia akan berusaha merangkai kalimat untuk dijadikan alasan atas ketidakhadiran Cia.
Saat mereka sedang berbicara hal lain, suara kucuran air dari dalam kamar Cia terdengar. Ive menyipitkan mata, sementara Cia menatapnya malas. "Kau punya pacar?"
Cia hanya mendongak ke atas dan mengembuskan napasnya. Apakah aku harus jujur? Aku takut jika privasiku akan terganggu, pikir Cia. "Ya," jawabnya kemudian.
"Jadi, karena itu kau mencampakkanku?" Mencampakkan bagaimana maksudnya? Cia memijat tengkuk yang tiba-tiba tegang. Kemudian dia melotot, segera melesat ke arah pintu kamar saat Ive mendekat ke ruangan itu. "Siapa laki-laki itu?! Katakan!" teriak Ive. "Hei, kau, beraninya kau memonopoli Cia dariku. Kurang ajar!"
Mendengar suara ribut di luar, Zeno yang baru saja selesai mandi, segera mengenakan pakaian. Dia sedikit mengintip pada lubang kecil di pintu, dan melihat seorang gadis dengan wajah merah sedang menahan kesal.
"Kau berlebihan, Ive."
"Kenalkan dia dengan baik di hadapanku atau akan ku jadikan rumah ini sebagai hutan belantara."
Pada akhirnya, Cia tidak bisa tidak menuruti permintaan Ive. Dia membuka pintu kamar dan mendapati Zeno sedang berdiri tak jauh dari pintu. "Temanku—Ive, ingin berkenalan denganmu."
Entah kenapa kata 'berkenalan' di telinga Zeno seperti 'memukul'. Lelaki itu bahkan menangkap kekhawatiran dari istrinya. Namun, dia menepis pemikiran-pemikiran aneh tersebut. Zeno dengan manis merangkul bahu istrinya dan berjalan keluar kamar, menemui gadis yang dipanggil Cia dengan sebutan Ive.
Wangi maskulin, segar, dan bagaikan hutan hujan segera menyeruak ke dalam pernapasan Ive. Dia menatap lelaki yang kini sedang merangkul bahu Cia. Sesaat kemudian, tatapan sengit diperlihatkan oleh Cia.
"Kau! Kau yang telah merebut Cia dariku!" Gadis itu mendorong Zeno dan hampir mencekiknya. Zeno tidak akan membiarkan hal itu terjadi, dia segera memutar tangan gadis berambut cokelat tersebut dan memepetkannya pada tembok. "Kurang ajar kau! Lepas!"
Zeno menahan tawa, sedang Cia sudah tertawa keras sekarang. Wanita itu duduk di sofa dan meminta suaminya untuk melepaskan Cia. Zeno menurut, setelah itu dia segera menghampiri istrinya dan duduk dengan tangan terlipat di dada.
"Wah! Benar-benar!" ptotes Ive. Sebenarnya, Ive tak cemburu seperti itu, hanya dia tak suka jika ada orang lain yang akan membagi fokus Cia dengan misi. Mereka harus kembali ke langit dengan segera. "Begini, Ibu kami meminta kami pulang."
Zeno menoleh, menatap Cia. "Kami bersaudara dan rumah kami berada di tempat yang sama."
Zeno merasa, ini akan jadi awal yang pelik saat mereka harus berpisah. Pulang ke rumah orang tua tidak mungkin sebentar, 'kan? "Harus hari ini?" tanya Zeno.
"Iya."
"Tidak."
Cia dan Ive saling menatap, sebelum akhirnya Ive yang mengalah dan memalingkan wajah. Kan, prioritas sahabatnya itu bukanlah lagi misi. Melainkan laki-laki yang Ive tidak tahu darimana asalnya.
"Aku akan pulang ke rumah, tapi tidak sekarang. Kau jangan khawatir," jelas Cia.
Ive berdecak. Dia segera mengambil tas dan berlalu dari rumah Cia. Membanting dengan kasar pintu rumah tersebut. Membuat tetangga yang kebetulan lewat langsung menoleh heran.
"Dia, sepertinya tidak suka," kata Zeno.
"Abaikan saja dia." Tentu ini adalah ucapan Cia. Wanita yang tidak berprikesahabatan ini hanya mengulum senyum, membayangkan Ive akan tergagap dengan segala pertanyaan Selena.
***
"Kenapa Arlcia tidak ikut?" tanya Selena.
Dia sibuk mendesah setiap malam dan bercinta, Selena. Apa kau begitu bodoh sehingga tidak bisa melihatnya di visimu? Ive membatin dengan wajah yang tertekuk jelas. "Dia sibuk."
"Dan kau tak sibuk?" tanya Zeus.
Saat ini sedang diadakan perkumpulan dewa dan dewi di istana. Ive yang hanya setengah dewa, mendapatkan kehormatan ini karena dia adalah yang terkuat. Sementara Cia, dia adalah anak dari Hecate dan dia termasuk berdarah murni karena keluar langsung dari Naitura.
Ive mengambil anggur hijau di meja, mengunyah dan menelannya dengan dramatis. "Aku sibuk. Tapi, ku pikir ini adalah hal yang penting, makanya aku sempatkan datang. Ternyata, hanya membahas ramalan."
Poseidon ingin menenggelamkan bocah angkuh di hadapannya. "Apa kau, ingin berkunjung ke palung mariana?"
Ive tersedak, itu bukan ajakan berwisata. Melainkan dewa laut tersebut ingin membunuh Ive dengan sengaja. "Apa paman tau jika aku dan Percy berteman baik. Haruskah aku mengadukan ini kepadanya, supaya dia semakin enggan mengakuimu sebagai ayahnya?"
Poseidon mendelik tak terima, sementara Zeus sudah sakit kepala melihat kelakuan mereka. Dia sendiri, memilih berhadapan dengan jutaan musuh daripada berhadapan dengan Ive ataupun Cia. Mereka berdua sama-sama suka melawan dan angkuh, tetapi itu adalah daya tarik mereka.