Chereads / Exor Sang Pembawa Kekacauan / Chapter 5 - Perpisahan

Chapter 5 - Perpisahan

Taman kota, aku ingat terakhir kali pergi ke sini adalah setahun lalu Ketika aku berkencan dengan Stephanie. Tidak, mungkin itu tidak bisa disebut berkencan, hanya jalan-jalan biasa. Hari ini Stephanie dan keluarganya akan berangkat ke ibukota, Stephanie telah memberitahuku bahwa dia ingin menemuiku di taman kota. Mungkin ini akan menjadi pertemuan kami untuk terakhir kalinya. Setelah semua, dia akan menjadi Exor dan menjalani kehidupan yang berbeda denganku.

Ngomong-ngomong, hari ini juga sangat gawat bagiku. Pada minggu kemarin, aku tidak lupa dengan janjiku, sebenarnya bahkan jika aku ingat aku tak akan punya uang untuk membayar hutang 'ayahku' itu. Para rentenir itu pasti akan mencariku hari ini, aku harus melakukan sesuatu. Memikirkannya membuatku marah, kenapa aku harus dikejar-kejar oleh hutang yang bukan milikku. Dasar bajingan, dia menggadaikan rumah seenaknya saja.

Setelah lima belas menit menunggu, aku akhirnya melihat mobil milik keluarga Stephanie. Aku melihat sosok Stephanie yang keluar dari pintu depan mobil tersebut. Aku melambaikan tanganku memberi tanda bahwa aku berada disini. Sekejap, dia menyadari posisiku lalu berjalan mendekat.

"Selamat pagi, maaf membuatmu menunggu," ujar Stephanie sambil duduk disampingku.

"Ah, tidak apa-apa. Aku juga baru sampai," balasku sambil tersenyum.

"Maaf memanggilmu di hari libur seperti ini."

"Tidak apa-apa, lagi pula aku tidak punya hal lain untuk dilakukan."

Nah, tentu saja aku bohong. Restoran paman Ben sangat sibuk di hari libur, aku bisa mendapatkan uang tambahan jika aku memutuskan untuk masuk kerja hari ini. Namun tentunya, Stephanie lebih penting, lagi pula, sebentar lagi dia akan berangkat ke Ibukota.

Stephanie mengulum bibirnya, dia melirik ke arahku dan bertanya, "Hm, ngomong-ngomong apa kau ingat kapan kita pertama kali bertemu."

Tentu saja aku ingat. Itu adalah hari pertamaku di sekolah dasar. Aku, yang pada saat itu sangat pemalu hanya bisa duduk di pojok sendirian dan melihat teman-teman sekelasku yang lain yang sedang berinteraksi. Stephanie adalah orang yang pertama kali mengajakku mengobrol. Dia adalah orang yang membuatku lebih berani dan lebih percaya diri.

"Tentu saja aku mengingatnya, kalau tidak salah, kita pertama kali bertemu di sekolah dasar bukan?" jawabku.

"ternyata kau masih ingat, pada saat itu kau masih imut dan polos."

"Apa maksudmu sekarang aku sudah tidak imut dan polos lagi?"

Stephanie memasang wajah kesal mendengar ucapanku, "tentu saja sekarang kau sudah berubah, ke arah yang lebih baik."

"Tetapi aku merasa kau tidak berubah." Benar, sejak kecil Stephanie masihlah Stephanie. Dia kadang pemarah, kadang terlalu aktif, kadang terlalu cerewet, tetapi secara keseluruhan dia menyenangkan.

Stephanie menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dia memiringkan kepalanya lalu berkata, "benarkah? Aku merasa banyak perubahan dalam diriku."

"Perubahan? Maksudmu payudaramu itu? Tentu saja itu berubah, saat itu kau masih kecil bukan."

"Ck, bukan itu maksudku bodoh," ujarnya seraya memukul pelan dadaku.

Stephanie menghela nafas dalam-dalam.

"Kita sudah saling mengenal sejak lama. kau adalah sahabatku sejak kecil, kau pasti salah satu orang terpenting dalam hidupku. Kita memiliki banyak kenangan yang tak akan pernah kulupakan. Namun, jalan kita mungkin akan sedikit berbeda dimulai dari detik ini."

Berbagai emosi bercampur di wajah Stephanie. Mungkin saja dia juga tahu bahwa status kami terlalu berbeda, apalagi dengan dia yang kini adalah calon Exor. Exor adalah sesuatu yang menjadi mimpi banyak orang. Seorang Stephanie sekali pun tidak akan menolak hal tersebut. Pilihannya pindah ke Ibukota hanya mempertegas satu hal. Menjadi Exor lebih penting daripada diriku.

"Tentu saja, suatu hari nanti aku akan kembali ke sini. Pada saat itu tiba, perubahan apapun yang terjadi, aku tetaplah aku dan kuharap kau juga tetap menjadi dirimu seperti sekarang."

Aku berharap seperti itu. Tetapi aku tahu mustahil kita akan tetap sama. Tanpa adanya dirimu, bagaimana aku bisa mempertahankan kewarasanku? Mungkin saja ketika kita bertemu lagi suatu saat nanti. Akulah yang akan berubah.

Stephanie menarik nafas dalam-dalam lalu tersenyum menyembunyikan kesedihan dalam hatinya.

"Kevin, sampai jumpa lagi."

Ada banyak hal yang ingin kusampaikan, ada banyak hal yang ingin kulakukan. Namun pada akhinya, aku hanya bisa diam membeku.

"Sampai jumpa lagi, Stephanie."

Pada akhirnya, aku masih tak bisa mengungkapkan perasaanku.

***

Setelah melakukan pertemuan dengan Stephanie, aku pergi ke rumah sakit. Tentu saja bukan hanya untuk mengunjungi bajingan itu tetapi juga membayar tagihan rumah sakit untuk bulan ini. Satu-satunya hal yang bisa kusukuri adalah adanya keringanan dari rumah sakit setelah aku menunjukan surat keterangan tidak mampu. Sekarang, aku hanya perlu membayar seperempat dari biaya sebenarnya.

Aku tidak membeli apapun kali ini. Aku langsung pergi ke rumah sakit. Setelah sampai disana, aku segera membayar tagihan rumah sakit tersebut. Setelah selesai, aku kemudian mengunjungi 'ayahku' di ruangannya. Aku melihat dia berbaring dengan nyaman di atas ranjang sembari terlelap dalam mimpi.

Sudah setahun berlalu semenjak orang ini di rawat dirumah sakit. Namun, dia tak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Di sisi lain, dia juga tak sekarat, aku mengharapkan penyakitnya membunuh dia tetapi tidak. Setahun penuh, aku kesusahan mencari uang untuk membayar tagihan rumah sakit. Belum lagi dengan hutang milik bajingan ini dan juga uang untuk kebutuhan sehari-hari.

Bebanku mungkin akan bertambah besar seandainya aku tak memiliki beasiswa.

Tiba-tiba aku mengingat bahwa bajingan ini memiliki asuransi. Benar, itu adalah asuransi kematian. Sebelum berubah menjadi seorang bajingan, 'ayahku' dulunya adalah pegawai negeri. Meskipun gaji bulanannya sudah dicabut semenjak ayahku diberhentikan dengan tidak hormat, tetapi asuransi kematian yang ia miliki masih aktif.

Aku merasa sesuatu yang aneh sedang terjadi pada diriku. Kenapa aku bisa berpikir untuk membunuhnya? Ah, aku tahu. Seberapa hancurnya pun hidupku sekarang, Stephanie tetap akan pergi. Tak ada lagi batasan moral yang selama ini mengekangku. Sekarang, satu-satunya hal yang membatasiku adalah keinginanku sendiri.

Kini aku memutuskan untuk membunuh bajingan ini.

Aku mendekati dia, kemudian dengan pelan aku menaruh tanganku diatas lehernya. Pelan-pelan aku memperketat cengkramanku. Bajingan itu mulai tidak nyaman, dia menggerak-gerakkan badannya. Dengan kuat aku mencengkram lehernya sehingga bajingan itu terbangun dan melotot ke arahku. Tetapi dia tak bisa berteriak. Dia hanya bisa melototiku dengan marah.

Setelah 15 detik, dia akhirnya mati.

"Pada akhirnya, satu-satunya yang menjagaku tetap normal hanyalah Stephanie."

Membunuh orang adalah sesuatu yang tak akan pernah dipikirkan orang normal. Di sisi lain, aku dengan tenang membunuh ayahku sendiri. Bahkan aku merasa lega, seolah semua beban di pundakku kini menghilang.

Mulai saat ini, tak ada lagi garis moral yang membatasiku. Aku akan hidup sesuai keinginanku sendiri. Selamat datang hidupku yang baru.