[Gereja Keselamatan akan berkunjung ke Sekolah Tanjung Harapan, menurut informasi yang kami peroleh, Gereja Keselamatan telah mendapatkan wahyu mengenai Anak Dewa.]
Suara berisik televisi menarik perhatianku, aku menatap berita yang melibatkan sekolahku. Gereja Keselamatan, Anak Dewa … Huh, hal itu terlalu jauh dari kehidupanku. Aku merapikan pakaianku. Untuk memastikan semua perlengkapanku ada, aku memeriksa isi tasku sekali lagi.
"Kurasa tak ada yang tertinggal," gumamku pelan.
Kubuka pintu rumah perlahan. Cahaya matahari segera membasuh tubuhku. Rasa hangat dan menyejukan membuat pikiranku jernih seketika. Udara segar dan pemandangan indah kota membuatku sekejap melupakan masalah yang telah menghantui pikiranku.
"Selamat pagi Kevin."
"Selamat pagi Bibi Ellen."
Bibi Ellen, Ia adalah tetanggaku, meskipun kami tak memiliki hubungan darah tetapi dia sangat dekat denganku, terutama setelah bajingan itu benar-benar kehilangan kendali. Cih! memikirkannya membuatku muak. Aku membuang nafas dalam-dalam. Pagi yang indah ini sebaiknya tak terkontaminasi oleh pikiran buruk.
Sekolah Tanjung Harapan, ini adalah sekolah menengah atas yang paling bagus dikota ini, Aku merasa beruntung bisa memasukinya.
"Oi Kevin! Kenapa semalam kau tak membalas pesanku hah?!"
Sambil menaruh kedua tangan di pinggangnya, dia menatapku marah. Sangat cantik~ Aku menggelengkan kepalaku mengusir beberapa pikiran tak berguna.
"Maaf, semalam aku mematikan handphoneku," dengan senyum bodoh, aku berkata padanya.
Jika ada satu hal yang bisa membuatku tetap tersenyum melewati neraka setiap hari, mungkin itu adalah gadis ini. Stephanie Emilion, teman sekelasku dan juga orang yang sangat kucintai. Ia memiliki surai merah panjang yang mencapai punggung, meskipun hanya digerai saja, tetapi rambutnya tetap memancarkan rasa keindahan.
"Sudahlah, apa kau sudah mengerjakan pr yang diberikan Guru Jean?" tanya Stephanie.
Aku menganggukan kepala, " aku akan memperlihatkannya padamu di kelas nanti."
***
Ini adalah tahun ketigaku di Sekolah Tanjung Harapan. Aku tak memiliki banyak kesan pada sekolah ini. Guruku pernah bilang jika aku fokus belajar, aku mungkin akan mendapatkan hasil yang lebih bagus. Namun, focus belajar adalah sesuatu yang tidak bisa kunikmati. Hutang yang menumpuk, beban rumah sakit, dan biaya hidup sehari-hari memaksaku untuk mendapatkan uang lebih.
Bunyi bell menyadarkanku dari lamunan. Guru geografi, Pak James melihat kearah jam tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. Pak James mengakhiri pelajarannya. Para murid segera berlarian keluar ruangan. Mereka tak sabar untuk mengakhiri sesi belajar yang menguras mental.
Aku mengambil buku milikku satu persatu dan memasukannya pada tas. Setelah selesai, aku menggendong tasku lalu berjalan keluar ruangan, di sisi pintu masuk kelas, Stephanie telah menunggu kedatanganku. Dengan wajah cemberut dia berkata, "Lama! Ayo kita pulang!"
"Ehmm, kurasa hari ini kau tak perlu menungguku. Hari ini aku akan jalan kaki saja," ujarku. Stephanie sering mengajakku pulang Bersama dengan mobilnya, pada awalnya aku menolaknya namun dia memaksaku, akhirnya aku menerima ajakannya hingga hal ini menjadi kebiasaan.
"Ada apa?! Apa kakakku mengatakan sesuatu yang aneh lagi padamu? Hiraukan dia kau tak perlu sungkan denganku," sambil mengeryitkan dahinya, Stephanie berkata padaku.
"Bukan itu, hari ini aku akan mengunjungi Ayahku di Rumah Sakit," ucapku sambil menggelengkan kepala. Memanggilnya sebagai Ayah membuatku jijik tetapi bagaimanapun aku tidak bisa menunjukkan kebencianku di depan Stephanie.
Stephanie menggembungkan pipinya, dengan wajah pasrah dia menghela nafas, "Baiklah kalau begitu, aku akan pulang duluan." Stephanie melambaikan tangannya, perlahan dia berjalan menjauh dariku. Aku membalas lambaiannya, cahaya oranye matahari sore memburamkan sosoknya yang telah menjauh. Namun, aku masih bisa melihat mobil hitam mewah yang sudah menunggunya di depan gerbang.
Terdapat jarak yang sangat luas antara kami berdua tetapi aku tak merasakan tekanan sedikitpun, apapun hasil akhirnya, aku bahagia pernah mengenalnya.
Ibuku meninggal sewaktu aku masih kecil, aku tak memiliki banyak ingatan tentangnya. Satu hal yang pasti, dia adalah orang yang sangat lembut, sentuhan dan pelukannya yang hangat tak bisa hilang dari ingatan. Meskipun sangat indah tetapi kebahagianku tak bertahan lama, setelah Ibu meninggal 'Ayah' akhirnya menjadi sosok bajingan yang kukenal, dia mulai mabuk-mabukkan, menghabiskan setiap malam di luar meninggalkanku kelaparan dan kesepian hanya ditemani oleh kegelapan.
Baru-baru ini aku mengetahui bahwa Bajingan itu tak hanya menghabiskan uang gajinya tetapi juga menghabiskan uang yang disimpan Ibuku untukku. Bajingan itu tenggelam dalam perjudian menggadaikan semua barang berharga hingga akhirnya tenggelam dalam jeratan lautan hutang. Hutang-hutang tersebut sangat banyak hingga saat ini aku masih bekerja keras untuk melunasinya.
Bukan hanya itu, dia juga sering kali pulang dengan emosi yang tidak stabil, aku yang saat itu masih kecil, menderita pukulan, dan berbagai kekerasan dari bajingan itu. Aku sangat membencinya, dia membuat setiap hari bagaikan di neraka. Stephanie, adalah satu-satunya alasan kenapa aku bisa bertahan dan menghadapi hari-hari yang sulit tersebut.
Rumah sakit berada cukup jauh dari sekolah. Perlu sekitar 15 menit menggunakan kereta cepat untuk sampai disana. Aku membeli makanan dari supermarket sebelum akhirnya berjalan menuju Rumah Sakit yang kumaksud.
"Ah! Kau datang lagi rupanya," Nona administrator menyambutku dengan anggukan pelan. Setelah beberapa kali mengunjungi Rumah Sakit, dia kini mengenalku dengan baik.
"Kemarin malam, penyakitnya kambuh lagi. Untungnya, sekarang dia telah stabil. Kau bisa mengunjunginya sekarang."
"Terima kasih."
Setelah itu aku berjalan ke kamar nomor 21, tempat 'ayahku' di rawat. Setelah sampai disana, aku melihat dia sedang duduk sambil melihat ke arah jendela. Aku mendekatinya dan menaruh buah-buahan di meja samping tempat tidurnya. Setelah itu aku menyapa dia, "Hei Ayah, aku datang lagi."
Dengan wajah datar dia membalikkan badannya da melihat ke arah buah-buahan yang kubeli. "Itu lagi? Aku sudah bilang padamu, bawakan aku Arak! Apa kau tuli?! Lagi pula aku tak akan kenyang dengan buah-buahan, belikan aku daging!"
"Dokter sudah bilang untuk menjaga pola makanmu, dan … aku tak punya uang untuk membeli hal-hal lainnya," Aku memendam amarahku dan berkata selembut mungkin. Bajingan ini … bahkan dalam keadaan sakitnya, dia masih merepotkanku.
'Ayah' melotot arahku, dia membentak, "apa ini yang kudapat setelah membesarkanmu hah?! Kalau kau tidak punya uang ya bekerja! Kalau masih belum cukup minta saja pada gadis kecilmu itu, siapa namanya … Ah, Stepha- "
"Cukup! Jangan bawa dia pada percakapan ini." Aku tak bisa. Aku tak bisa menahannya lagi, akan kubunuh dia. Sangat menjijikan, kenapa aku harus terus mengurusnya. Sesaat kemudian aku sadar bahwa 'Ayah" kini kejang-kejang, matanya putih, dan urat-urat menonjol di kulitnya.
Apa aku harus memanggil Dokter? Kulihat telepon rumah sakit yang tergeletak diatas meja.
Tetapi ini adalah kesempatan bagiku untuk membunuhnya.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk memanggil dokter. Ada garis moral yang tak bisa kulewati, setelah aku membunuh bajingan itu, pada akhirnya mungkin aku akan ketahuan dan di penjara, hal tersebut tentu saja sangat ingin kuhindari.
Menggunakan kereta cepat, aku pulang ke distrik tempat tinggalku. Malam telah menyelimuti kota namun semarak kota kecil ini tidak hilang begitu saja. Aku bisa melihat banyak pasangan bermesraan tenggelam dalam cinta. Tak sedikit pula kupu-kupu malam yang menggoda pria-pria paruh baya yang nampak cukup kaya.
Setelah memperhatikan jalanan terlalu lama, tanpa sadar aku menabrak sesuatu. Aku merasakan wajahku tenggelam dalam benda yang empuk. Meskipun sangat nyaman dan membuat ketagihan, tetapi aku sesegera mungkin menarik kepalaku ke belakang lalu melihat hal yang aku tabrak.
"Aku minta maaf Nyonya," ucapku sembari menundukkan kepala. Aku ternyata menabrak seorang wanita. Dia adalah sosok wanita dengan postur tubuh tinggi dan memiliki rambut sebahu. Dia memiliki ekspresi yang dingin yang menambah daya tariknya. Namun, yang paling mencolok adalah mata kuningnya yang menatap tajam ke arahku.
"Lain kali berhati-hatilah."
"Baik, kalau begitu aku permisi dulu."
"Tunggu," tangannya mencengkram pundakku dan menghentikanku. Dia menatapku lalu berkata,"seekor serigala tidak akan bisa menyembunyikan bulunya."
Setelah mengucapkan hal itu, dia dengan tenangnya melangkah pergi meninggalkan diriku yang kebingungan. Sekilas aku bisa melihat tato segiiga terbalik yang dikelilingi sebuah lingkaran terletak di leher bagian belakangnya.
Aku menghembuskan nafas sambil berpikir, apa maksudnya? Apa dia mengucapkan kata-kata acak untuk membingungkanku. Setelah beberapa saat aku memutuskan pergi tanpa memikirkan kata-kata itu.