15 menit ku habiskan untuk mandi, Rafka berbincang-bincang dengan Ayah. Entah, apa yang mereka bicarakan. Sengaja ku perlama waktu bersiap-siap untuk jalan dengan Rafka, agar ia merasa jengkel dan untuk menguji kesabarannya. Apakah dia akan protes nanti dijalan, karena menungguku terlalu lama.
Aku memakai setelan celana jeans, dengan kaos oblong yang ku tutupi dengan cardi berwarna putih. Tampilan casual yang sengaja ku pakai agar tetap tertutup.
Aku menghampiri Ayah dan Rafka yang tampaknya masih asik mengobrol, Rafka benar-benar bisa memikat perhatian Ayah. Tapi sayang, dia belum bisa memikat hatiku.
"Udah siap, Ra?" Ucap Rafka saat melihatku keluar dari kamar, ku jawab dengan menganggukan kepala.
"Amaira pamit ya, Yah." Ku raih tangan Ayah, sembari menciumnya. Hal itu juga diikuti oleh Rafka.
"Titip anak om ya, Ka. Jangan malem-malem pulangnya,"
"Siap, Om. Tenang aja! Bakal Rafka jagain dari ujung kaki sampek ujung rambut.
Sudah seakrab itu Rafka dengan Ayah, padahal baru kenal dan baru pertama kali bertemu. Sepertinya Ayah sangat klop dengan Rafka, jangan sampai hubungan mereka menjadi bumerang nantinya, dan berdampak pada hubunganku dan Shaka.
Teringat dengan Shaka, aku merasa sedang selingkuh saat ini. Karena menyetujui ajakan Rafka untuk nonton film dibioskop, dan tak memberitahu Shaka soal ini, tapi sudahlah. Yang penting aku tak bermaksud demikian.
"Kenapa sih, Ra? Bengong aja dari tadi." Ucapan Rafka membuyarkan lamunanku pada Shaka.
"Gak papa kok, cuma lagi kepikiran sama Shaka."
"Kenapa sih, Shaka terus yang dipikirin. Akunya kapan dipikirin sama kamu? Jangan Shaka terus,"
Rafka tampak sewot dengan nada bicaranya yang menandakan tak suka, jika aku selalu mengungkit tentang Shaka dihadapannya. Aku memang selalu blak-blakan dihadapan Rafka, apalagi soal Shaka. Hal itu aku lakukan, agar dia berhenti berharap padaku. Aku tak mau memberinya harapan palsu, karena aku tak ingin dicap sebagai tukang PHP.
"Ya wajarlah, Ka. Shaka itu pacarku, jadi gak masalah kan kalau aku mikirin dia! Lagi pula, aku tak pernah sekalipun pergi jalan-jalan dengan dia. Ini malah jalan sama cowok lain" Rafka tersenyum puas mendengar penuturanku, mungkin ia merasa bangga karena bisa mengajakku jalan-jalan dan mendapat izin dari Ayah.
"Iyalah, dia mana bisa ngajak kamu jalan. Kalau gak ada modal buat macarin cewek, mending gak usah sok pacaran. Kayak aku nih, gak cuma bisa memikat hati cewek tapi orang tuanya pun bisa ku luluhkan."
"Gak heran deh, buaya kan emang pinter ngerayu. Jangankan cewek, orang tuaku saja bisa kamu rayu,"
Rafka menoleh ke arahku, karena ucapanku selalu mengungkit dan mengatakan kalau dia adalah seorang buaya darat. Memang kenyataannya begitu, mau bagaimana lagi.
"Kamu kok ngomong gitu terus sih, Ra. Kan aku udah bilang, aku bakalan insyaf kalau kamu mau jadi pacar aku. Bahkan aku siap kok ngelamar kamu detik ini juga, asal setelah itu kamu harus mutusin Shaka."
Mulai lagi deh pembicaraan tentang lamaran, aku memilih diam dan tak menanggapi ucapan Rafka. Karena, semakin ditanggapi pasti akan menjalar kemana-mana.
***
Sesampainya dibioskop, Rafka membeli tiket diloket masuk. Aku menunggu sambil lalu membeli minuman kesuakaanku, melon jus. Dari kejauhan, ku lihat Rafka sudah keluar dari antrian dan segera menemuiku.
"Kita makan dulu yuk, Ra! Filmnya dimulai jam 13.00,dan sekarang masih jam 11.00. aku laper nih, dari tadi pagi belom makan apapun. Setelah ini, kalau kamu pengen belanja. Kita bisa keliling mall dulu,"
Mataku berbinar saat Rafka mengatakan belanja, cewek mana coba, yang gak suka belanja. Apalagi semuanya ditanggung sama pihak cowok, ah seandainya Shaka bisa memanjakanku seperti Rafka. Pasti hidupku akan terasa sangat sempurna.
"Kamu beneran ngajak aku belanja? Nanti aku kalap lho!"
"Ya beneran lah, masa Rafka bohong. Buat Amaira, apasih yang nggk? Udah ayok, tapi kita makan dulu ya!"
Aku mengangguk pasrah, Rafka menggandeng tangaku. Reflek aku menoleh pada Rafka yang masih tetap memegang tanganku tanpa rasa canggung sedikit pun
"Ehem...tangannya, Pak. Tolong dikondisikan." Rafka menoleh kearahku, seraya tersenyum melihat mimik wajahku yang tampak canggung.
"Gak papa kali, biar keliatan pacaran. Ini juga sebagai caraku, untuk melindungi kamu dari godaan pria-pria nakal."
"Ish...memang yang sedang bersamaku ini, bukan pria nakal?" Rafka tertawa mendengar tanggapanku, ia mencubit hidungku pelan.
"Aw...sakit tau,"
"Habisnya, kamu lucu banget tau gak sih! Jadi makin sayang, kapan ya! Kamu bakalan resmi jadi milik aku?" Aku memutar mataku kearah lain, mengabaikan Rafka yang selalu saja berkata penuh harap padaku.
***
Sampai disuatu resto didalam mall, Rafka memesankan beberapa makanan untukku dan dia. Dia tampak sangat lahap ketika menyantap makanan, saking laparnya. Andai aku tau, pagi tadi dia belum makan apapun, pasti ku suruh makan dirumah saja. Lagi pula masakan Ibu enak-enak menurutku.
"Kenapa dirumah gak bilang aja kalau belum makan? Kan bisa makan di rumahku dulu tadi pagi."
Rafka tetap lahap menyantap makanannya, tanpa memperdulikan ucapanku. Kasian juga melihat dia yang kelaparan, seperti tak pernah makan seminggu saja.
"Gak enak lah, pertama kali bertamu. Masak udah minta makan, harus jaga image dulu depan calon mertua." Lagi-lagi omongan Rafka membuatku geleng-geleng kepala. Sangat percaya diri, dan seolah dia benar-benar bisa mendapatkanku.
"Hadeh, sok jaga image. Didepan aku aja makannya rakus, didepan orang tuaku malah sok-sokan jaga image."
"Ya, kalau didepanmu kan beda, Ra. Kamu nanti juga akan terbiasa ngeliat aku makan begini, kamu kan calon istriku."
"Terserah,"
Ku lanjutkan makanku yang tadi sempat terhenti karena melihat cara makan Rafka. Tiba-tiba ponselku bergetar, ada notif pesan masuk lewat aplikasi WhatsApp. Ku raih ponselku dalam tas untuk memeriksa siapa yang mengirimkan pesan. Yang ternyata pesan tersebut, dari Shaka. Ada juga pesan dari grup teman-temanku yaitu jesika dan Anggi.
[Sayang, lagi apa?]
[Biasa, lagi main sama Jesika dan Anggi]
Balasku berbohong pada Shaka, jika aku jujur sedang jalan dengan Rafka pasti dia akan marah. Karena selama ini, aku tak pernah jalan dengan pria manapun selain dengannya. Itupun hanya untuk mengantar jemputku ke sekolah.
Ku alihkan pada pesan yang dikirim digrup, Anggi berencana mengunjungiku ke rumah bersama Jesika.
[Oy, kita main ke rumahmu ya! Bosen nih, pengen dapet makanan gratis pula. Hahaha]
Pesan dari Anggi, membuatku tertawa kecil. Dia memang selalu mengincar makanan ditoko Ibuku, saat sedang berkunjung ke rumah. Dan sialnya Ibu selalu menggratiskan makanan yang diambil oleh kedua temanku itu, tapi tak apalah asalkan mereka betah dirumah, semua itu tak masalah. Anggi tipe cewek yang sangat suka makan, tapi beruntungnya, meskipun dia sering makan, tubuhnya tetap saja seperti itu. Menurutku ideal dan tidak gemuk. Namun, kelakuannya agak konslet. Kadang lemot kalau disuruh mikir.
[Aku lagi gak dirumah guys, Sorry ya!]
[Ceileh, lagi jalan nih kayaknya sama Shaka]
Ucap Jesika yang ikut nimbrung obrolan di grup.
[Nggak, bukan sama Shaka. Tau sendirikan kalau Ayah ilfil banget sama dia]
[Terus siapa dong]. Tanya Anggi penasaran.
[Ada deh, kepo aja. Aku mau nonton dibioskop, sama belanja dulu, besok ku bawakan oleh-oleh deh untuk kalian]
Mereka berdua tampak senang, karena pernyataanku untuk membawakan oleh-oleh untuk mereka. Besok akan ku temui mereka di cafe tempat biasa kami nongkrong, atau sekedar curhat. Sejak aku mengikuti pertukaran pelajar, jadi jarang ngerumpi dengan sahabat-sahabatku itu.
Tanpa mengecek pesan dari Shaka, karena saking asiknya membalas pesan grup, ku letakkan ponselku diatas meja. Melanjutkan makan yang sempat tertunda, apalagi aku sudah tak sabar untuk segera belanja.