Chereads / Love Me Any More / Chapter 5 - Bab 5 Shaka Marah

Chapter 5 - Bab 5 Shaka Marah

"Masuk, Ra. Anggep aja rumah sendiri, gak usah sungkan." Rafka berjalan mendahuluiku, dan membuka pintu rumahnya. Aku terpana melihat penampakan rumah Rafka yang sangat megah menurutku, lampu gantung di ruang tamu dan ruang keluarga. Serta berbagai macam pernak-pernik asesoris lainnya seperi guci yang terletak disamping sofa dan TV.

Mataku tak jenuh memandangi setiap sisi ruangan di rumah ini, pantas saja Rafka tak pernah takut habis soal uang. Ternyata, ia lumayan kaya. siapa yang tidak mau menjadi pacarnya, hanya saja aku tak suka dengan sifatnya yang bergonta-ganti pasangan. Atau bisa dikatakan playboy, meskipun sering kali ia bekata, jika aku menjadi pacarnya. Dia akan insyaf, namanya juga laki-laki. Diawal berkata seperti itu, saat sudah didapat pasti tak lama kemudian ditinggal juga.

"Ayo duduk sini, Ra. Aku mau panggil Papa dulu, kayaknya lagi dibelakang tuh orangnya. Ngasih makan ikan," aku mengangguk saja menanggapi ucapan Rafka, yang telah berlalu untuk memanggil papanya.

Tak lama dari itu, datang seorang perempuan sebaya ibuku. Meletakkan minuman diatas meja sambil tersenyum padaku, mungkin dia adalah pembantu di rumah ini. Ku balas senyumannya dengan mengucapkan terimakasih. Kemudian dia berlalu meninggalkanku seorang diri. Beberapa saat kemudian, terlihat Rafka dengan seorang pria tinggi yang perawakannya sangat berwibawa. Badannya agak berisi, tinggi dan sedikit berotot menurutku.

"Kenalin, Pa. Ini Amaira, temen Rafka." Ku julurkan tanganku untuk mencium punggung tangan papa Rafka, ia tersenyum padaku dan menerima uluran tanganku.

"Amaira, Om." Ucapku sopan.

"Permana, panggil Om saja. Cantik ya! Gak salah Rafka cari pacar, kamu cantik, manis lagi," aku terkejut mendengar ucapan Papa Rafka, aku menoleh kearahnya. Memberikan isyarat kalau dia harus menjelaskan pada papanya, bahwa aku bukanlah pacarnya.

"Ah, Papa bisa aja. Dia bukan pacarku, Pa. Cuma temen doang kok, tapi kalau Papa setuju, dia jadi calon mantu Papa, ya gak papa juga sih!" Rafka cengar-cengir sembari melihat kearah papanya.

Dasar si Rafka, bukannya menjelaskan hanya teman, malah ditambah-tambahi. Kami pun duduk, Rafka duduk disampingku, sedangkan papanya duduk disofa tunggal dekat Rafka.

"Sudah berapa lama kenal sama Rafka, teman sekolah bukan?"

"Mmm...baru sebulan, Om. Bukan teman satu sekolah sih, hanya saja saya ikut pertukaran pelajar. Jadi bisa kenal sama Rafka,"

"O gitu ya...Rafka ini gak pernah loh, bawa temen cewek ke rumah. Kamu satu-satunya wanita yang pertama kali dia bawa kesini. Dulu dia pernah bilang sama Om, kalau dia bawa cewek berarti dia bawa calon mantu untuk, Om."

Aku tersentak mendengar perkataan Papa Rafka, apa yang dia katakan tadi berhasil membuat tersendat teh yang sedang ku minum. Ku lihat Rafka yang masih saja cengar-cengir dari tadi, bisa-bisanya dia membawaku kemari. Dengan tujuan mengenalkanku sebagai menantu, pada papanya.

"Hati-hati dong, Ra. Sampek tersendat gitu minum tehnya," ucap Rafka yang tengah membantuku mengambil tisu yang ada diatas meja.

"hahaha...mungkin dia nervous, Ka. Sudah ya! Kalian ngobrol aja dulu. Amaira, Om kebelakang dulu ya,"

"Iya, Om."

Papanya Rafka segera berlalu dari hadapanku dan Rafka. Setelah dirasa benar-benar tak ada, aku mencubit lengan Rafka dengan keras. Biar tau rasa dia, membuatku malu setengah mati berhadapan dengan papanya.

"Aw...sakit tau, Ra. Jahat banget sih," reflek dia memegang bekas cubitanku tadi, mungkin sangat sakit. Hinga ku lihat dia mengelus-ngelus tangannya pelan.

"Kamu sih, udah dibilang aku gak mau kenalan sama Papa kamu. Eh malah tadi bilang calon mantu lagi, kan gak enak sama Papa kamu. Kita tuh cuma temen Rafka, kasian Papa kamu kalau sampai dia nganggep aku lebih."

"Ya, udah sih. Gak papa, lagian bener kan kalau kamu itu calon mantu Papaku."

Tak sempat ku jawab ucapan Rafka, tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata panggilan video call dari Shaka. Duh, bagaimana ini, jika ku angkat pasti ketahuan kalau aku berbohong padanya. Lebih baik ku abaikan saja, sampai rumah nanti baru ku telvon balik. Rafka menatapku penasaran, karena aku tak kunjung menjawab panggilan diponselku.

"Siapa, Ra. Kenapa gak diangkat?" gara-gara anak satu ini, aku jadi harus berbohong pada Shaka.

"Shaka, udah yuk pulang! Udah sore banget nih, takut Ayah nyariin."

"Takut Ayah nyariin, apa pengen cepet-cepet nelvon si Shaka? Kenapa gak diangkat aja sih tadi, biar aku yang ngomong, kalau kamu lagi di rumahku."

"Udah ah, gak usah nyari penyakit. Ayo pulang!"

Raut wajah Rafka berubah seketika, saat ia tau kalau yang menelvon tadi adalah Shaka.

Tak ku pedulikan dia yang cemberut, karena dia juga membuatku malu tadi didepan papanya. Aku pulang setelah berpamitan dengan Om Permana, setelah sampai di rumah, aku berniat untuk segera menghubungi Shaka. Dia pasti marah, karena sejak tadi siang aku selalu mengabaikannya.

***

Sesampainya dirumah, aku segera masuk kamar. Ku kira Rafka akan langsung pulang, nyatanya dia tetap mengkoriku dari belakang. Ku lihat dia menghampiri ayahku, dan duduk sambil berbincang-bincang ria. Anak ini benar-benar ingin merajut hubungan yang begitu dekat orang tuaku, sampai Ibu saja yang selalu menjaga warung, ikut nimbrung pembicaraan antara Ayah dan Rafka.

Dari pada terus melihat tingkah Rafka, ku putuskan untuk mengabaikannya. Ku putuskan untuk mandi terlebih dahulu, rasanya gerah seharian berkeliling mall. Apalagi dalam kesdaan menstruasi, rasanya sangat lengket dan tak nyaman. Ku pakai daster kimono, yang biasa ku pakai saat sedang bersantai di rumah. Dan menghubungi Shaka.

Ada sekitar 20 panggilan masuk dan video call dari Shaka, dia memang selalu begitu. Jangankan setengah hari, satu jam pun dia akan melakukan panggilan berulang kali, jika aku mengacuhkannya. Dasar pria posesif.

"Kamu kemana aja sih, Ra. Sejak siang tadi kamu ngilang, pesan sama panggilanku tak ada yang direspon sama sekali." Baru juga nyambung, sudah bawel saja si Shaka ini. Eh rasanya ingin ku getok saja kepalanya, biar tak bawel seperti perempuan.

"Kan aku udah bilang, kalau aku ketiduran. Ini juga baru selesai mandi." Shaka tampak cemberut mendengar penuturanku.

"Gak biasanya kayak gini, setengah hari gak ada kabar. Video call gak diangkat, pesan pun gak dibales."

Lama-lama males juga dengerin Shaka ngomel, gak tau apa kalau aku sangat capek hari ini. Kalau ku matikan, pasti dia marah. Tapi, jika dibiarkan aku juga lelah jika harus mendengarnya ngedumel tiada henti.

"Udah ya, ngomelnya aku capek. Mau istirahat."

"Katanya tadi ketiduran, kok masih ngeluh capek sih. Kamu gak kangen sama aku?"

"Aduh, Shaka. Kita tuh tiap hari ketemu, gak usah lebay deh."

Jujur akhir-akhir ini aku merasa jenuh dengan sikap Shaka, sikapnya seperti wanita. Selalu minta dikabari, harus diprioritaskan, suka ngambek. Ini yang cewek, aku atau dia sih.

"Kamu kok ngomong gitu sih, Ra. Kamu berubah tau gak, semenjak ikut pertukaran pelajar. Apa jangan-jangan, kamu punya cowok baru ya, disana?"

Entah ini keberapa kalinya, Shaka selalu mengungkit tentang perubahan sikapku karena pertukaran pelajar. Sejak saat itu, tingkat kecemburuannya semakin berlebihan. Ada saja hal, yang membuatku jengkel. Walaupun sikapnya yang seperti ini karena bukti rasa sayangnya padaku, tapi lama-lama aku jadi ilfil sendiri.