Chereads / Love Me Any More / Chapter 8 - Bab 8 Cerita Laura

Chapter 8 - Bab 8 Cerita Laura

"Sana pergi, jika kamu tak ingin bertambah malu. Dan ingat, jangan pernah mengganggu Amaira lagi. Jika tidak, maka foto ini akan ku berikan pada guru BK. dan ku tempel dimading sekolah, agar satu sekolah tau kalau kamu adalah simpanan Om-om. Ingat itu!"

Laura menghentakkan kaki kasar, ia tak berani melawan ucapan Rafka. Karena jika ia masih melawan, aku yakin, Rafka akan terus merendahkan harga dirinya. Syukurlah, masalah sudah selesai. Dan mungkin, Laura tak akan berani lagi menggangguku. Dengan begitu, aku bisa belajar dengan tenanf di sekolah ini. Bukan karena aku takut, hanya saja akau paling tak suka memiliki masalah dengan orang, apalagi ini bukan sekolahku. Yang pasti, ia akan lebih berkuasa dan mendapat dukungan.

"Kamu gak papa kan, Ra." Ucap Indah sambil memegang bahuku.

"Gak papa kok, cuma sedikit sakit aja tadi. Lagian gak sampek jatoh juga."

Indah tersenyum, dan duduk tepat disampingku. Rafka tiba-tiba menghampiriku, dan menyuruh Indah untuk pindah dari tempat duduknya. Bertukar tempat dengan Rafka. Indah tak menolak, karena di kelas ini, siapa yang berani melawan Rafka. Jangankan wanita, laki-laki saja harus berfikir dua kali untuk melakukan semua itu.

"Kamu gak papa kan, Ra? Maaf ya, gara-gara aku, kamu jadi kena labrak si nenek lampir itu."

"Makanya, punya cewek tu diurusin. Jangan main tinggal aja, kalau ceweknya masih sayang jangan ditinggal. Aku kan gak mau, dicap sebagai pelakor."

"Sayang apaan, kalau dia beneran sayang sama aku. Gak mungkin dia punya perilaku amoral kayak gitu, emang menurut kamu, aku masih mau sama cewek yang udah jadi simpanan Om-om. Makanya, aku putusin dia."

"Kok bisa sih, mantanmu itu jadi simpanan Om-om, terus kamu dapat foto itu dari mana? Bisa-bisanya dia mau jadi simpanan, apa orang tuanya gak tau."

"Cewek sekarang mah, kebanyakan begitu. Butuh modal untuk terlihat cantik, hingga rela jual diri. Aku dapat dari temen, yang kebetulan kerja di club, jadi pas dia ada disana sengaja difoto buat ditunjukin ke aku. Untung aja, cepet ketahuan."

"Eh, jangan asal ngomong ya! Perlu digaris bawahi gak semua cewek begitu. Kamu aja yang apes, dapat cewek kayak gitu."

"Hehe...iyaya, gak semua kok. Contohnya, kamu!" Rafka menoel hidungku, makin berani saja dia menggodaku.

"Ish...jangan pegang-pegang, mahal tau!" Rafka tertawa, mendengar responku.

Bel masuk pun berbunyi dengan nyaring, semua siswa berhamburan masuk kedalam kelas masing-masing. Hari ini adalah pelajaran matematika, salah satu mapel yang paling ku benci. Karena saking banyaknya rumus yang harus dipahami, membuat kepala jadi pening saja. Tapi, karena guru yang mengajar di sekolah ini sangat tampan. Membuatku tak bosan, lain halnya disekolahku, guru matematika sangatlah kiler. Bahkan tak ada senyumnya sama sekali.

Aku melirik kearah samping, Rafka sudah tertidur pulas. Seperti tak ada beban sama sekali. Bukan hanya pada mata pelajaran matematika saja dia tidur beginu, tapi disemua mata pelajaran setauku. Kecuali biologi, apalagi membahas tentang sistem reproduksi. Pasti matanya tak mengantuk.

***

Jam istirahat tiba, sengaja tak kubangunkan Rafka yang masih tertidur pulas. Biarkan saja, hari ini aku tak ingin dia menggangguku. Agar hariku terasa damai, aku memilih ke kantin bersama Indah. Ya, hanya dia teman di sekolah ini yang dekat denganku. Karena memang, kami adalah teman sebangku.

Selesai memesan makanan, aku duduk dikursi kosong bersama Indah. Sedang asik menyantap batagor dan es teh yang kami pesan, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara David dan Adit yang datang entah dari mana.

"Woy, gak ngajak-ngajak nih!" Hampir saja aku tersendat batagor yang baru masuk kedalam mulut. Ku jitak kepala David dengan keras, hingga dia mengerang kesakitan.

"Hai, Indah. Boleh duduk disini gak?" Indah tetap asik menyantap batagornya, hingga ia tak menggubris sapaan Adit.

"Gak boleh," ucapku pada Adit yang sedari terus memandangi Indah, sepertinya anak ini menyukai Indah. Tapi, Indah tak mau menghiraukannya.

David dan Adit duduk tanpa meminta persetujuanku dan Indah. Entah apa mau mereka berdua, tak biasanya mereka ikut bersama kami. Tapi, hari ini secara tiba-tiba datang dan mengerecoki acara makan kami tanpa diundang.

"Emang bener ya, Ra. Kamu pacaran sama Rafka? Kok sampek, mantannya Rafka datang ngelabrak kamu." David menyeruput minumanku, memang tak ada akhlak ini anak. Bukannya pesen sendiri, malah ngambil punya orang.

"Woy, beli. Jangan seenaknya ngambil punya orang. Numpang makan doang taunya! Nenek lampir gak usah didengerin, sudah jelas bukan! Aku sama Rafka cuma temenan, gak pacaran. Lagi pula Shaka mau dikemanain, hah!"

Aneh saja pertanyaan si David, bukankah selama ini dia tau kalau aku pacaran dengan Shaka. Lantas, dia masih bertanya apakah aku menjalin hubungan dengan Rafka. Walaupun di sekolah ini aku memang dekat dengan Rafka, tapi kami benar-benar hanya sebatas teman kok.

"Yah, kali aja mau ganti selera. Sama Rafka bertahan bertahun-tahun, sampek semuanya ditolak demi dia. Sekarang, disini ada Rafka yang lebih tajir, masak kamu sia-siain sih. Sayang aja gitu."

"Aku bukan cewek matre, kalau emang mau putus sama si Shaka, bukan karena Rafka juga kali. Tapi, karena memang udah gak cocok. Dan meskipun mau pacaran sama Rafka, bukan karena dia kaya juga. Tapi, karena memang ada rasa sayang."

Mereka bertiga menatapku takjub, mendengar ungkapanku tadi. Jika dipikir-pikir bisa juga ya! Aku berkata bijak seperti itu, seperti bukan diriku saja.

"Lalu, kalau kamu gak pacaran sama Rafka. Terus apa dong? Teman tapi mesra gitu,. Hahaha..." Tanya Adit dengan gelak tawanya yang membuatku ilfil, istilah seperti itu memang pantas untukku sih. Tapi, rasanya tak enak didengar saja.

Ku biarkan saja mereka, dan melanjutkan acara makanku yang sempat terhenti gara-gara David dan Adit. Hampir saja aku lupa, bahwa hari ini aku sudah memiliki janji dengan kedua sahabatku, Jesika dan Anggi. Karena insiden pagi tadi, aku jadi lupa untuk mengabari mereka. Adit yang sedang asik menggoda Indah tak lagi menghiraukanku, sedangkan David, entah kemana perginya anak itu. Mungkin sedang memesan makanan.

Ku kirimkan pesan untuk Jesika dan Anggi, untuk meminta mereka bertemu di cafe tempat biasa kami berkumpul. Teringat akan pertengkaranku dengan Shaka kemarin, rasanya tak mungkin, jika aku harus memintanya untuk mengantarku bertemu teman-temanku.

Ah sudahlah, biar ku fikirkan nanti saja. Tapi, sejak pagi tak ada pesan chat masuk dari Shaka. Bahkan panggilan masuk pun tak ada, apa dia marah juga ya padaku. Karena tadi pagi, aku memilih untuk berangkat dengan Ayah dan tak memberitahunya terlebih dahulu.

***

Rafka masih saja tertidur dikelas, saat aku dan Indah datang dari Kantin. Tak biasanya anak ini molor hingga tak tau waktu, bahkan tak mendengar suara bel masuk pergantian jam yang menurutku sangat nyaring ditelinga.

Apa jangan-jangan Rafka sakit, begitu sampai dibangku tempat Rafka tidui, ku pegang jidatnya. Agak panas.

"Ka, kamu sakit ya!" Tak ada jawaban dari Rafka, dia masih saja tidur. Aku jadi khawatir dengan keadaannya, apa aku harus membawanya ke UKS? Tapi, bagaimana caranya. Kalau dia tidur begini.

"Rafka, ke UKS yuk! Badan kamu anget, biar ku antar," ku goyang-goyangkan badannya, agar dia bangun. Setelah beberapa lama, aku mencoba membangunkannya, akhirnya dia bangun juga.

Matanya sangat merah, bahkan terlihat masih sangat mengantuk. Aku merasa bersalah telah membangunkannya tadi. Apa ku ambilkan paracetamol saja ya, di UKS? Biar dia tetap tidur disini.

"Kamu mau ke UKS gak? Atau mau ku ambilkan paracetamol saja?" Rafka masih tampak linglung dengan pertanyaanku, mungkin masih terasa pusing. Karena sejak jam pertama tadi dia tidur, hingga bel masuk pergantian jam selanjutnya berbunyi.

"Udah gak usah, Ra. Aku cuma kurang tidur aja kok. Kamu gak usah khawatir, nanti juga baikan sendiri."