"Aku mau ini ya!" Pintaku pada Rafka yang berada tepat disampingku. Dia menemaniku belanja sejak tadi, mengelilingi mall yang begitu besar. Biasanya kaum adam tak suka jika diajak keliling mall, pasti mereka ngedumel dan mengeluh capek. Tapi, tidak dengan Rafka, dia senantiasa sabar dan tak banyak mengeluh.
"Ambil aja, sesuka hati kamu. Aku kan sudah bilang, hari ini, aku akan mentraktirmu sesuka hati. Jadi jangan sungkan ya! Ambil aja kalau kamu suka, gak usah tanya aku dulu."
"Aku kan cuma takut aja, kalau uangmu habis hanya karena mentraktirku. Lagi pula aku belum pernah ditraktir cowok begini, gak enak nanti malah minta imbalan lagi!"
"Ya nggaklah, minta imbalan apaan. Gini-gini, aku gak pernah tuh minta imbalan apapun sama cewek. Siapapun itu, gak perlu ngerasa gak enak. Anggap saja ini upayaku buat meluluhkan hati kamu."
"Hmmm...jadi nanti kalau udah luluh, gak bakalan ditraktir kayak gini lagi dong!"
"Ya gak gitu juga kali, Ra. Bahkan, kalaupun nanti kamu luluh dan mau jadi pacarku, aku bakalan lebih manjain kamu. Tanpa kamu minta, aku bakalan nurutin semua kemauan kamu."
Ku akui, Rafka memang tipe laki-laki yang sangat Royal. Ia tak pernah memikirkan uangnya akan habis atau tidak. Yang jelas, bisa membahagiakan wanitanya. Ia akan merasa senang pula, lain halnya dengan Shaka. Dia tak pernah sekalipun membelikanku barang apapun selama pacaran, saat ulang tahun saja, dia hanya mengajakku makan bakso dipinggir jalan. Mengapa tak dari dulu saja aku bertemu dengan Rafka, sebelum berpacaran dengan Shaka. Dengan begitu aku tak akan merasa sesayang ini pada Shaka, hingga memutuskannya saja sangat sulit untuk ku lakukan.
Selesai berbelanja, aku dan Rafka pun menuju bioskop karena sebentar lagi film akan segera dimulai. Namun, sebelum itu, ku letakkan dulu barang-barang belanjaanku tadi dimobil Rafka.
"Udah, yuk!" Ucap Rafka setelah meletakkan barangku dimobilnya. Ia tetap mengandeng tangaku, seolah kami memang sepasang kekasih yang sedang menjalin hubungan. Anehnya, aku tak menegur Rafka lagi karena masih menggandeng tangaku. Rasanya tak masalah, toh hanya pegangan tangan saja bukan!.
***
Sesampainya didalam bioskop, aku dan Rafka mencari tempat duduk sesuai yang ada ditiket kami. Para muda-mudi berpasang-pasangan semua ditempat ini, tak heran sih. Karena memang ini pertama kalinya aku menonton ditempat ini, jadi belum terbiasa dengan perlakuan para pasangan muda-mudi ini didepanku.
Tak lupa, Rafka juga membelikanku popcorn dan juga lemon tea. Sebagai cemilan saat film mulai diputar, beberapa menit kemudian lampu bioskop mati. Aku tak merasa terkejut, karena difilm-film yang sering ku tonton memang seperti ini keadaanya jika menonton dibioskop, yaitu dengan keadaan mati lampu. Walaupun ini pertama kalinya bagiku, setidaknya gak norak-norak ametlah, ya kan!
Film diputar, keadaan hening. Yang ada hanyalah suara volume dari film yang ku tonton, aku tak memperhatikan sekitar. Ternyata, keadaan dibioskop sangatlah jauh dari dugaanku, yang ku kira menikmati film yang tengah diputar. Ternyata mereka juga bermesraan disini, aku bergidik ngeri. Semoga saja Rafka tidak melakukan hal serupa padaku, walaupun dia sangat baik padaku, tapi aku tak mau jika harus menjatuhkan harga diri dengan membiarkan dia menyentuh tubuhku.
"Bengong terus, liat filmnya tuh. Atau kamu gak suka ya! Sama filmnya."
"Mmm...suka kok, ngeri-ngeri gimana gitu. Tapi, melihat mereka. Aku jadi risih."
Rafka tersenyum kecil mendengar ucapanku, tampak seperti mengejek. Karena ini kali pertama, aku tau kalau perbuatan para penonton bioskop memang seperti itu.
"Udah gak usah dihiraukan, yang penting aku tak berbuat seperti itu sama kamu!"
Aku melanjutkan aktivitas menontonku, tanpa memperdulikan pasangan muda-mudi ini. Benar kata Rafka, biarkan saja mereka. Asalkan Rafka tak melakukan hal serupa padaku.
***
Selesai menonton film, aku dan Rafka bergegas untuk pulang. Karena hari sudah mulai sore. Akan tetapi, Rafka malah mengajakku untuk mampir ke rumahnya, ia berniat untuk mengenalkanku pada papanya.
Aku merasa tak enak, karena aku hanyalah teman Rafka. Bukan pacarnya, tapi dia sudah mau mengenalkanku pada papanya. Ku rasa ini bukan saat yang tepat. Lagi pula, aku juga tak ingin orang tua Rafka menganggap hubungan kami sudah sangat serius, Karena aku dan dia hanya sebatas teman tak lebih
"Emang harus pacaran dulu ya! Kalau mau ngenalin temen sama Papa?" Ucapnya yang tampak kecewa karena aku menolak untuk berkenalan dengan papanya.
"Ya, gak harus sih, Ka. Tapi, aku gak mau aja, kalau nanti Papamu malah nganggep kita punya hubungan yang special. Padahal kita hanya sebatas berteman."
"Pokoknya aku gak mau tau, kamu harus ikut aku ke rumah dan kenalan sama Papa. Ayolah, Ra. Hargai permintaanku, lagi pula nanti aku bakalan bilang juga kok sama Papa, kalau kita cuma temen biasa. Gak lebih."
Aku menimbang-nimbang ajakan Rafka yang sedikit memaksa, kasihan juga melihatnya seperti ini. Apalagi hari ini, dia sudah sangat baik padaku, dengan mentraktirku berbagai hal.
"Mmm...ya udah deh, jangan lama-lama tapi, ya! Biar gak kesorean nanti nyampek rumahku."
"Iyaya, tenang aja. Nanti Ayahmu kita belikan oleh-oleh dulu sebelum pulang, biar dia seneng. Dan selalu ngizinin aku buat bawa kamu jalan-jalan."
"Gak perlu, tadi pagi kamu udah bawa banyak makanan ke rumah. Lagi pula, belum tentu aku mau diajak jalan lagi sama kamu,"
"Pasti maulah, aku selalu punya cara buat kamu gak nolak tau!" Ku hiraukan ucapan Rafka, sambil lalu membuka aplikasi chat yang sempat ku hiraukan sejak tadi, saking asiknya belanja dan nonton film.
Banyak sekali chat masuk dari Shaka, bahkan beberapa panggilan masuk dari dia. Sengaja ku silent ponselku sejak tadi, sepertinya dia marah. Karena, aku mengabaikan pesannya.
[Main dimana? Di rumahmu, atau di rumah Jesika? Atau Anggi]
[Amaira, kenapa gak dibales]
[Sayang, ketemu yuk! Aku kangen nih]
[Lagi apa sih kamu, sampek gak bales chatku?]
[Amairaaa]
[Sayangg]
Tak hanya itu, ada beberapa panggilan dari Shaka. Dia maksa banget, pasti besoknya dia mencerca banyak pertanyaan untukku.
[Ketiduran, maaf ya! Aku baru bales, baru bangun soalnya]
Rafka fokus menyetir tanpa menoleh kearahku, ku alihkan pandangan keluar jendela mobil. Ternyata sudah masuk kompleks rumah Rafka, rumah-rumah disini terlihat mewah. Kelihatan sekali, jika yang tinggal dilingkungan ini adalah golongan orang-orang elite seperti Rafka. Meski yang ku tahu dia hanya anak seorang guru PNS, tapi bisa dikatakan dia juga termasuk golongan orang kaya.
Yang ku tahu, Rafka hanya hidup berdua dengan papanya. Karena beberapa tahun lalu mamanya meninggal terkena serangan jantung, akan tetapi meski begitu. Di rumahnya ia menyewa pembantu untuk mengurus semua keperluan Rafka, Aku mengetahui hal tersebut dari salah satu temanku di SMA. Nusa Bangsa namanya Indah, teman sebangkuku. Sebenarnya, aku kasihan pada Rafka, karena ia harus hidup tanpa seorang Ibu.
Rafka membelokkan mobilnya kearah kanan, memasuki rumah yang terlihat cukup mewah menurutku, dengan pagar besi berwarna emas didepannya. Tepat dihalaman rumahnya, terdapat beberapa pohon bonsai, yang harganya mungkin jutaan hingga belasan juta. Setelah selesai memarkirkan mobilnya, aku dan Rafka segera turun. Ada seorang satpam yang menghampiriku untuk membukakan pintu mobil, seraya menyapa Rafka dengan penuh sopan santun.