Rania gelisah tak menentu membayangkan wajah Reyhan terus menerus, bahkan terkadang memandang wajah Rafli seakan-akan melihat Reyhan di depannya.
"Aku rindu kamu." Rania memeluk Rafli.
"Kamu kangen sama aku? Kita kan bertemu terus," kata Rafli melepas pelukannya.
"Astagfirullah, maafkan aku Rafli aku pikir kamu …." Rania tak melanjutkan perkataannya.
"Kamu pikir aku Reyhan, kamu sangat rindu sama laki-laki pengecut itu, ya? Apa tidak bisa jika kita berdua kamu tidak menyebut ataupun mengingat tentang Reyhan?"
"Kamu cemburu?" Rania tertawa.
Rafli cemberut, tapi ia tetap berencana mengajak Rania jalan-jalan ke pantai.
"Sudah lah, kamu cepat mandi, bau iler tahu!"
"Ih, kamu tuh yang tidurnya ngorok jadi bau iler," kata Rania.
Rafli menggeleng ia tersenyum teringat semalam Rania tidur mendengkur, ia pikir gadis cantik tidurnya elegan gitu bukanya ngorok seperti kuli yang kelelahan seharian bekerja, sehingga tidur nyenyak tanpa sadar mendengkur keras.
"Mandinya jangan lama-lama Rania!" teriak Rafli menggoda sahabatnya.
"Awas jangan ngintip ya, nanti mata kamu bintitan, loh!" pekik Rania dari di kamar mandi, ia benar-benar takut diintip.
"Ngintip istri sendiri boleh dong, masa bintitan, nggak lah!" pekik Rafli terus mengganggu Rania.
"Ih, awas ya! Kamu aku siram kalau berani mengintip," pekik Rania.
Padahal mana mungkin Rafli berani mengintai Rania sedang mandi, dia hanya bercanda menggoda Rania agar ia buru-buru menyelesaikan mandi basahnya, tentu saja mandi basah dong, masa kering.
Rania keluar dari kamar mandi sudah lengkap pakai baju ia bertanya ke Rafli mau mengajak kemana, tapi Rafli hanya tersenyum.
"Sudah jangan bawel, ikut aku saja! Kamu cantik banget dengan baju putih, pakai jaket ya, biar tidak kedinginan," ujar Rafli.
"Kenapa pakai jaket? Gerah ah, tidak mau," gumam Rania.
"Kalau gak mau pakai jaket, berarti kalau kedinginan nanti minta peluk aku, ya? Ngaku." Rafli menarik tangan Rania tapi ia tetap bawa jaket untuknya.
Tania terlihat berdiri di teras menyapa Rafli dan Rania, "Hai pengantin baru mau kemana? Boleh ikutan tidak? Hehe …."
"Hai, juga Tania kami mau jalan-jalan," kata Rania senyum.
"Rafli mau dong, aku ikut jalan-jalan, boleh, ya?" Tania mengedipkan mata seolah menggoda Rafli.
"Maaf Tania, kita kan lagi bulan madu jadi tidak bisa diganggu, sampai jumpa Tania." Rania menggandeng tangan Rafli.
"Kamu kenapa jadi aneh begini?" tanya Rafli ke Rania yang sedikit heran.
"Aneh kenapa? Harusnya kamu berterima kasih ke aku, sudah menyelamatkanmu dari Tania, kayaknya dia naksir kamu Rafli."
Rafli tersenyum ternyata Rania begitu perhatian padanya, tapi bukan berarti Rania suka sama Rafli. Apapun itu siapa yang tidak bahagia diperhatikan oleh orang yang dicintai meskipun alasannya klasik, terpenting itu sudah cukup membuat hati jadi gembira.
"Kita mau kemana?" Rania bersandar di pundak Rafli.
"Mau makan dulu, kita kan belum sarapan. Rania mau makan di mana?"
"Makan di manapun asal halal, Rafli aku pinjam pundak mu ya, sebentar kepalaku pusing tiba-tiba." Rania merasa pusing setiap terbayang wajah Reyhan kali ini dia juga malas menyebut nama Reyhan setidaknya itu permintaan Rafli untuk berhenti menyebut nama sialan itu.
Beberapa menit kemudian sampai di rumah makan sederhana, mereka pun turun dan pesan berbagai macam makanan, tapi Rania mengomel dia tidak suka makanan kebanyakkan takut tidak habis dan jadi mubazir, akhirnya memanggil anak pengamen jalanan untuk makan bersama.
"Makasih kak, atas makanannya kami sudah kenyang, permisi dulu."
"Ya, sama-sama. Semangat ya, cari rezekinya."
"Siap Kak, sampai jumpa lain waktu, jika Tuhan berkehendak kita bisa bertemu lagi," katanya melempar senyuman.
Rania dan Rafli membalas senyuman pengamen tersebut.
"Tuh, lihat!" tanya Rania menatap tajam
"Apa?" Rafli mendelik seolah marah padahal tidak sama sekali, ia hanya iseng melotot.
"Jangan melotot! Nanti aku colok nih! Lihat lah mereka masih kecil sudah banting tulang mencari uang, makanya kamu jangan boros-boros menghamburkan uang.
Rafli aku boleh tanya tidak sama kamu?"
"Silahkan mau tanya apapun boleh, akan aku jawab sebisaku, ada apa?"
"Kamu selama ini dapat penghasilan dari mana saja? Setahuku kuliah saja pakai beasiswa kan? Terus biaya sehari-hari uang dari mana?" Rania bertanya serius ia heran laki-laki di depannya banyak uang padahal setahunya tidak kerja.
"Aku kerja tapi kaya nganggur, kerajaanku di depan laptop sebagai penulis blog, awalnya hanya iseng sekedar hobi tapi Alhamdulillah ternyata menghasilkan, jadi sekarang menjadi pekerjaan yang aku sukai, terkadang juga jadi teknisi dadakan suka dipanggil untuk memperbaiki barang elektronik, tapi jarang. Kalau kamu kerja di mana Rania? Anak orang kaya mah tinggal minta uang mama papa, sudah deh, beres." Rafli berkata demikian Rania tertawa saja.
"Aku kerja Rafli, tapi juga di rumah dagang online, walaupun omsetnya kecil tapi aku gembira, seperti kamu. Lupakan lah, tapi kamu katanya kalau lulus skripsi diajak ngajar jadi dosen, apa itu akan kamu lakukan?"
"Mungkin, tapi jika aku terima pekerjaan itu otomatis kita akan tetap tinggal di Jogjakarta, apa kamu mau?" Rafli bertanya ke Rania.
"Kenapa bertanya denganku, kita ini kan bukan suami istri sesungguhnya, tiga bulan lagi, juga sudah pisah sesuai surat perjanjian yang aku buat. Raihlah mimpimu, jadi dosen itu keren, terus kejar cintamu si Kanaya itu."
Rania mengeluarkan poto Kanaya, mereka bertiga dulu sempat dekat sebagai sahabat, tapi persahabatan itu rusak sejak Rafli jatuh cinta ke Kanaya, sedang Rania membela Rafli.
Menurut Rania mencintai itu hak siapapun, memangnya kenapa jika jatuh cinta dengan sahabat sendiri? Tidak ada yang salah dengan cinta, tapi sayang Kanaya jadi benci Rania dan ilfil ke Rafli, sebab Rafli tak setampan kekasihnya Revan.
"Kamu kangen dengan Kanaya? Kadang aku juga kangen masa persahabatan kita dulu bersama dia, tapi sudah lah dia kan benci kamu dan juga aku, tapi kira-kira Kanaya sudah tahu belum kalau kita sudah menikah?"
Rania terbatuk ia baru ingat jika di mata dunia pernikahannya dengan Rafli adalah sah secara agama dan hukum.
"Entahlah, tapi apa mungkin dia akan semakin membenci kita jika tahu kita menikah? Alasannya membenci apa? Kan kita berdua aslinya tidak ada masalah, hanya karena aku membelamu dia marah dan menjauhiku." Rania sedih matanya memerah seperti mau menangis.
"Sudah jangan lemah! Masa mau nangis cuma inget Kanaya, dia yang meninggalkan kita, sedang kita tidak pernah lupa kenangan manis dengan Kanaya sampai sekarang, jadi sudahlah." Rafli menepuk pundak Rania agar dia tegar.
"Kamu kan cowok mudah berkata begitu, aku wanita perasaannya lembut, mana mungkin tidak sakit hati dibenci oleh sahabat sendiri, aku juga lelah berada ditengah-tengah antara Kanaya dan Rafli, aku harap kalian bisa saling cinta dan menikah, jika itu mungkin."
"Aku dan Kanaya? Tidak mungkin bersatu Rania, cintaku dulu ditolak mentah-mentah sama dia, bahkan dia tega menghinaku jelek, dekil, culun, di depan muka umum, jujur bukan cuma sakit hati tapi harga diriku sebagai laki-laki terasa diinjak-injak," kata Rafli.
Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Rania tidak tega melihat Rafli sedih, langsung memeluknya untuk menenangkan hati Rafli.