Karena dianggap sebagai calon suami idaman oleh sebagian besar siswi di sekolah, media sosial Ilham sudah menjadi sasaran stalker. Para siswi itu bahkan selalu mencoba mencari tahu mengenai nomor ponsel Ilham dengan berbagai macam cara.
Sedangkan Ana, sejak pertama masuk SMA dengan sangat mudah sudah mengetahui nomor ponsel Ilham yang asli, tapi dia tidak pernah punya keinginan untuk menghubungi.
Walau sudah disuruh menghubungi saat tidak ada keperluan penting pun, Ana tetap tidak mau melakukannya. Dia justru memilih menjadi stalker media sosial Ilham.
Jadi di hari Sabtu saat sekolah libur, Ana memutuskan melihat-lihat semua media sosial yang Ilham punya memakai laptop miliknya.
Ana sebelumnya tidak pernah sekurang kerjaan dan seiseng ini, tapi berhubung Ilham terus mengusik pikirannya, Ana ingin mengetahui aktivitas dunia maya yang dilakukan Ilham.
Isi postingan di semua media sosial Ilham ternyata tidak jauh-jauh dari bisnis kue yang dijalankan ibunya, nyaris tidak ada foto diri sendiri yang di upload. Ana baru sadar mengenai ini.
"Apa dia tipe yang tidak terlalu suka menjelajahi internet?" gumam Ana yang heran sendiri setelah menemukan ada remaja seumurannya yang bisa tidak terlalu ketergantungan media sosial.
Pandangan Ana beralih ke ponselnya yang tiba-tiba berbunyi, ada chat masuk. Nama pengirimnya membuat Ana mengernyit bingung. Ilham.
'Lo hari ini sibuk gak An?'
Ana sudah mengerjakan semua tugas sekolah, karena tidak ada yang bisa dikerjakan lagi, sekarang dia iseng membuka media sosial Ilham. Cukup mengagetkan yang bersangkutan sekarang menghubungi seolah mengetahui yang sedang Ana lakukan.
Hanya melihat-lihat media sosial milik orang lain seharusnya tidak bisa diketahui kan? Dan lagi di chat Facebook, Ilham tidak terlihat sedang online. Pesan WA ini dapat dipastikan kebetulan saja dikirim saat Ana lagi kepo begini.
Ana mengambil ponsel miliknya untuk membalas chat, "Gue lagi sibuk mikirin lo, Il."
'Nggak, emang kenapa?'
Tapi apa yang Ana ucapkan berbeda dengan yang diketik. Sejak awal Ana tidak bisa mencoba berbuat iseng pada cowok ini, padahal dengan teman cowok yang lain Ana bisa saja saling bercanda dengan memanggil pakai kata sayang. Sedangkan dengan Ilham tidak bisa, dan tidak mungkin mau Ana lakukan.
Setelah menjawab chat, perhatian Ana kembali tertuju pada layar laptop yang sedang menampilkan foto Ilham, "Kenapa gue jadi buka-buka foto Ilham sih?"
Ana menutup semua media sosial yang sempat dibukanya, kalau terus-terusan melakukan ini yang ada dia bisa semakin suka pada Ilham.
'Mau nonton bareng?'
Tangan Ana mengucek-ngucek matanya, merasa salah membaca balasan Ilham. Dia benar-benar diajak nonton sama Ilham? Ini serius? Ponsel Ilham tidak sedang dibajak orang lain kan?
Tapi jika memang ada orang lain yang ingin mengerjai Ana memakai ponsel Ilham, yang dikirim tidak mungkin tanggung-tanggung mengajak jalan begini. Yang dikirim pasti kalimat to do point seperti 'gue suka sama lo An'.
'Sekarang? Emang mau nonton sama siapa aja?'
Meski ada rasa bingung, Ana memilih menanyakan ajakan lebih lanjut. Lagian ini bukan pertama kalinya dia diajak nonton sama cowok. Beberapa teman sekelas dan para anggota basket pernah mengajaknya, bahkan sampai dibayarin segala.
'Kita berdua aja. Abis ashar gue jemput, bisa?'
"Kok berasa diajak kencan sih?" Ana meletakkan ponselnya di atas meja agar tidak lagi melihat chat yang Ilham kirim.
Ana mencoba menenangkan diri agar tidak histeris dan kembali ke pemikiran awal, ponsel Ilham sudah pasti sedang dibajak!
'Ini Ilham?'
'Kan lo udah save nomor gw, kok masih tanya?'
'Benar? Hp Ilham lagi gak dibajak kan?'
Karena Ilham tak langsung memberi jawaban, Ana menghela napas. Wajar dia tidak percaya, untuk aksi kejahilan pun ini masih terbilang aneh.
Ana terlonjak kaget ketika ponselnya mengeluarkan bunyi berbeda, yang masuk kali ini bukanlah chat, melainkan video call.
Melihat foto Ilham yang muncul di layar ponsel, Ana mempersiapkan diri dengan berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi. Dari yang melakukan video call ternyata orang lain, atau benar-benar Ilham yang menjadi pelaku semua kiriman chat tadi.
Setelah yakin untuk mengangkat panggilan video, layar ponsel menunjukkan sosok Ilham, tapi bukan berupa foto profil, video call ini benar-benar tersambung dan menunjukkan wajah Ilham yang sedang tersenyum, "Hai."
Ana melirik ke arah lain, tidak tahu bagaimana merespon sapaan yang Ilham berikan.
"Kok nyangka hp gue lagi dibajak? Emang ada yang salah dengan chat yang gue kirim?"
Sangat salah, Ilham. Kamu tidak mungkin tiba-tiba mengajak jalan seperti ini.
Apa mungkin Ilham kalah taruhan sampai melakukan hal yang sangat bukan dirinya sekali? Ana sekarang benar-benar berprasangka buruk, "Il, coba putar kameranya untuk lihat keadaan sekeliling lo deh."
Ilham menaikkan salah satu alisnya, heran, "Untuk apa?"
Siapa tahu di sana ada Reno atau Refan yang membuat keanehan ini terjadi, "Udah lakuin aja."
Ilham menuruti permintaan Ana dengan mengarahkan kamera depan ponsel ke arah lain, terlihat ruangan yang berupa kamar tidur yang terus ditampilkan sampai kembali menunjukkan wajah Ilham lagi. Bukti hanya ada Ilham saja di sana, tidak ada orang lain yang sedang bersamanya.
Prasangka buruk Ana terbukti salah, Ilham memang mengajak nonton dengan kemauan sendiri. Ana membalikkan layar ponsel, masih belum siap menerima fakta ini.
Dari banyak siswi di sekolah yang suka dan mencoba mendekati Ilham, sekarang dirinya lah yang justru didekati Ilham. Pasti karena Ana mudah dekat dengan cowok kan? Bahkan cowok yang sulit didekati seperti Ilham sekalipun sampai sangat berubah sikapnya begini.
"Loh, An? Kenapa? Lo masih di sana kan? Apa yang terjadi?"
Ana menghela napas untuk meluruskan pikirannya. Ini bukanlah ajakan kencan. Ilham cuma tidak punya teman yang bisa diajak nonton saja. Pasti begitu.
Setelah merasa yakin, Ana kembali memutar layar ponselnya yang sedang menunjukkan wajah khawatir Ilham, "Baiklah, ayo kita nonton. Abis Ashar gue tunggu di depan pintu komplek."
Ekspresi wajah Ilham langsung berubah menjadi senang, "Selesai salat Ashar gue langsung ke sana ya! Sampai ketemu."
Setelah video call terputus, Ana berdiri dari posisi duduknya untuk mulai bersiap-siap. Sekarang sudah jam setelah tiga sore, sebentar lagi azan Ashar berkumandang. Berhubung Ana sedang tidak salat, pasti dia yang menunggu Ilham duluan.
Sambil memilih-milih baju, Ana terus meyakinkan dirinya berkali-kali untuk tidak menganggap spesial ajakan jalan ini. Ana dulu sudah beberapa kali berharap lebih dari perhatian cowok yang diberikan untuknya, tapi ujung-ujungnya Ana sakit hati sendiri setelah tahu cowok itu hanya menganggapnya sebagai teman semata.
Jadi Ana sudah tidak mau berpikir jauh mengenai sikap Ilham. Jika memang suka, kan bisa langsung katakan, tidak hanya diam dan membuat Ana salah paham segala.
Setelah azan Ashar, Ana mengganti pakaiannya kemudian pamit pergi pada orang tuanya lalu berjalan ke depan komplek perumahan untuk menunggu Ilham. Walau terkesan terlalu terburu-buru, Ana memang tipe orang yang lebih suka menunggu terlebih dulu saat sudah janjian dengan orang lain.
"Gue lama ya?"
Setelah menunggu beberapa menit sambil mengutak-atik ponselnya, Ana menatap Ilham yang saat ini sudah berada di depannya, "Nggak, justru gue merasa Ilham datangnya terlalu cepat."
"Gue buru-buru ke sini setelah selesai salat, gue nggak mau buat lo nunggu lama," jawab Ilham sambil memberikan helm lain yang tidak dipakainya.
Saat Ana ingin menerima helm itu, Ilham justru mencoba langsung memasangkan helm di kepalanya, "Tu- tunggu, gue bisa pakai sendiri."
Meski Ana sudah protes dan mencoba mengambil alih helm, tapi itu tak menghentikan Ilham, "Udah biar gue aja yang pakaikan, gue cuma mau mastiin helmnya terpasang dengan benar agar Ana aman."
Bola mata Ana mencoba menatap ke arah lain, merasa gugup. Siapa pun perempuan yang sedang berada diposisinya pasti juga salah tingkah.
"Oh ya, tumben bangat Ilham ngajak jalan, emang ada apa?" untuk menghilangkan rasa gugupnya, Ana mencari bahan obrolan.
Ilham menjauhkan kedua tangannya setelah selesai memakaikan helm, "Gue pengen ketemu lo, jadi sekalian gue ajak malming aja."
"Apa?" merasa salah dengar, Ana kembali menatap Ilham dengan pandangan tidak percaya.
Tapi Ilham hanya tersenyum santai seolah menolak mengulang ucapannya, "Ya udah, ayo naik."
Masih dengan bingung seakan pikirannya sedang konslet, Ana naik ke boncengan motor Ilham. Setelah motor mulai berjalan, Ana mencoba membenahi pikirannya.
Tadi Ilham mengatakan mengajaknya malam mingguan kan? Sekarang adalah hari Sabtu, dan karena mereka mau nonton bioskop sore begini, dapat dipastikan keluar dari bioskopnya saat sudah malam. Kondisi yang sangat cocok untuk melakukan apel malam Minggu.
Ugh... ini bercanda kan? Tapi bagaimana jika Ilham serius dan ini justru dijadikan momen mengatakan suka?
Ana mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk, jika hari ini Ilham sampai tidak mengatakan suka atau mengajak pacaran, dia janji pada dirinya untuk tidak pernah lagi mengambil pusing sikap baik Ilham.
Ana memang tipe orang yang baru bisa mengerti jika cowok itu mengatakan perasaannya secara langsung. Tapi kalau tidak dikatakan, hanya ada salah paham yang terjadi atau justru Ana tidak menyadarinya.
"Mau nonton apa?" setelah sampai mall dan berada di bioskop, mereka baru kembali terlibat obrolan lagi.
Ana membaca judul-judul film yang ada, tidak ada satu pun film yang sudah ia tonton, melihat trailer-nya saja belum, "Ilham maunya apa?"
"Film horor?"
Awalnya mereka dipasangkan untuk melakukan uji nyali di suasana yang seharusnya horor, sudah jelas ini menjadi kecocokan yang ada. Lagian film horor sedang sangat booming di Indonesia sampai ada banyak judul yang dapat dipilih.
"Mau yang judulnya apa?"
"Terserah aja."
Ana menatap Ilham yang berdiri di samping kirinya, dia pikir cowok ini sudah punya suatu pilihan, tapi ternyata ujung-ujungnya dia yang disuruh memilih, "Mungkin yang sedang terkenal? Biasanya yang udah lama ditunggu kualitas filmnya bagus."
"Yang terkenal ya?" Ilham mengeluarkan ponselnya untuk mencari referensi.
Sebenarnya Ana tahu film horor apa yang terkenal dan lagi tayang di bioskop, tapi berhubung film seperti itu bukan hanya ada satu saja, dia tidak bisa memilih dan memutuskan melihat Ilham yang sedang mencari di internet.
Ilham sengaja mendekatkan ponselnya agar Ana ikut melihat saat dia memutar salah satu trailer film, "Jalan film cerita horor sekarang katanya lagi bagus-bagus."
Ana mengangguk setuju, "Benar. Lalu ini yang lagi populer?"
"Mau nonton?"
Ana menengok ke arah Ilham, tapi begitu menyadari jarak di antara mereka sekarang terlalu dekat, secara refleks Ana sedikit bergeser menjauh, "Boleh."
"Ya udah tunggu di sini sebentar, gue beli tiketnya dulu."
Melihat Ilham yang berjalan pergi, Ana hanya dapat memperhatikannya saja. Apa tidak apa-apa dia menunjukkan sikap canggung begini? Apa dia tidak membuat Ilham risi?
Ini bukan pertama kalinya Ana jatuh cinta, dan Ilham juga bukan cowok pertama yang suka padanya. Seharusnya Ana tidak perlu gugup atau merasa canggung segala. Dia harus siap menghadapi apapun yang terjadi hari ini.