Setelah menjalankan masa PKL selama dua bulan, ini adalah hari di mana anak SMK kelas sebelas kembali masuk sekolah.
Mereka yang selama dua bulan tidak berada di sekolah datang lebih cepat dan juga bersemangat.
Tapi tidak dengan Anandia Setiani. Walau sangat menantikan bisa bersekolah lagi, Ana justru bangun kesiangan dan akhirnya sampai sekolah tepat sebelum gerbang ditutup.
Bahkan Ana sampai tidak sempat sarapan, dan yang lebih buruk lagi ini adalah hari pertamanya mengalami datang bulan. Tubuhnya sekarang terasa begitu lemas karena masih harus mengikuti upacara bendera.
"An, lo baik-baik aja?" Refan yang saat ini sedang berbaris di samping Ana bertanya dengan cemas karena menyadari wajah pucatnya.
Refan merupakan anggota PMR yang kebetulan sedang tidak bertugas, karena sudah berpengalaman, dia pasti lebih cepat tanggap dengan kesehatan orang lain.
Meski dalam keadaan lemas dan Refan menyadari kondisinya, Ana ingin mengikuti sesi upacara bendera sampai selesai. Ada hal yang sangat dinanti seisi sekolah -termasuk Ana- menjelang tahap akhir upacara, saat di mana Ilham Ibrahim membacakan doa.
Banyak yang mengatakan sangat merugikan melewatkan Ilham yang sedang membaca doa. Ana juga merasa kecewa jika sampai melewati ini setelah cukup lama tidak mendengar suara Ilham.
"An, wajah lo pucat bangat loh. Sekarang lo tinggal pilih, mau nunggu pingsan dulu baru gue gendong ke UKS, atau sekarang gue anter ke UKS dalam keadaan masih sadar?"
Kedua pilihan yang sama-sama membuat Ana merepotkan Refan. Tidak memilih juga bukan merupakan pilihan karena ada kemungkinan berakhir dengan pilihan pertama.
Refan menaikkan salah satu alisnya, "Jadi, mau pilih yang mana?"
Ana menghela napas dengan pasrah, "Gue pilih diantar ke UKS saat ini juga."
"Kalau gitu gue yang anter lo ke UKS."
Ana dan Refan yang sedang saling menatap langsung berpaling ke arah datangnya suara lain, ada Ilham yang baru bicara. Tunggu dulu, kenapa Ilham berada di sini? Seharusnya kan dia ada di barisan petugas upacara.
"Il–!! Tu- tunggu, apa yang lo lakukan?" Ana yang awalnya heran dengan keberadaan Ilham, seketika panik saat tiba-tiba Ilham menggendongnya dengan cara bridal style.
"Biar gue aja yang bawa Ana ke UKS," ucap Ilham sambil menatap Refan kemudian mulai berjalan pergi.
Ana yang panik mencoba memberontak, "Tu- turunin gue, Il. Gue bisa jalan sendiri."
"Udah diam aja, kalau lo banyak gerak nanti malah jatuh."
Dengan malu Ana menutupi wajahnya menggunakan kedua tangan, kenapa Ilham bisa dengan santai menggendongnya melewati jejeran barisan para murid yang sedang melakukan upacara begini? Kan memalukan menjadi bahan tontonan.
"Bisa kita lanjutkan upacaranya? Dan bagi para siswi, tolong jangan ada yang beralasan tidak enak badan agar bisa ke UKS. Ilham hanya mau menemani temannya, dia tidak akan memedulikan yang lain. Dan bagian pembacaan doa dapat digantikan."
Dan terasa lebih memalukan lagi saat guru yang awalnya sedang melakukan pidato mengomentari aksi Ilham. Rasanya Ana ingin pingsan untuk menghilangkan malu yang semakin dirasakannya.
"Lo nggak apa-apa, An?"
Bahkan walau Ilham sudah membawanya ke ruang UKS dan memindahkan dirinya duduk disalah satu tempat tidur yang ada, Ana masih merasa malu, "Kenapa harus digendong segala sih? Emang gue nggak berat apa? Dan lagi kan malu tadi sampai dilihat semua orang."
"Nggak seenteng kelihatannya sih, tapi gue khawatir lihat wajah lo yang pucat. Lagian kan gue udah bilang kalau lagi butuh bantuan lo harus mau minta tolong. Kebiasaan deh."
Ana kan memiliki berat badan sekitar empat puluhan kilo, wajar lah berat jika yang menggendong adalah Ilham yang memang tidak memiliki tubuh atletis, "Tadi gue juga udah mau minta tolong sama Refan kali."
"Tapi gue cemburu ngeliat lo lebih tergantung ke cowok lain."
Mendengar pengakuan Ilham membuat Ana terdiam. Apa Ilham baru saja mengatakan sedang merasa cemburu?
"Baiklah, kita sudahi dulu aksi perkelahian pasangannya. Sekarang biarkan Ibu memeriksa Anandia dulu."
Ana langsung memutus kontak matanya dengan Ilham untuk beralih menatap guru yang sudah bersama dengan mereka.
Sang guru perempuan tersenyum lembut setelah akhirnya Ana dan Ilham tenang, "Jadi, apa yang terjadi sampai Anandia dibawa ke UKS?"
"Saya tadi tidak sempat sarapan Bu karena bangun kesiangan, dan...," Ana menunduk, malu untuk mengatakan alasan ke dua, "ini hari pertama saya datang bulan."
Sang guru mengangguk kemudian menyentuh kening Ana, "Kamu juga sedikit demam, apa Anandia selalu seperti ini jika tidak sempat sarapan pagi?"
Ana mengangguk, "Saya wajib makan tiga kali sehari, terutama sarapan. Jika sampai tak memakan sesuatu yang mengenyangkan, tubuh saya pasti lemas."
"Kalau begitu Ilham silahkan pergi ke kantin dan belikan sesuatu untuk Anandia."
"Baik, Bu."
Setelah Ilham keluar dari UKS, dan guru juga sudah selesai memeriksanya. Ana membaringkan tubuh di atas tempat tidur, hatinya sekarang ikut merasa lemas.
Padahal sudah dua bulan terlewat sejak terakhir kali Ana bertemu dengan Ilham, tapi sikap cowok itu sama sekali tidak berubah. Ilham masih saja melakukan hal baik yang membuatnya salah tingkah.
Ana pikir mereka tidak mungkin dekat lagi setelah berpisah dalam kurun waktu yang lumayan lama, tapi dugaan tersebut terbukti salah.
Karena memiliki sifat tomboy, Ana merasa sedikit risi mendapat perhatian yang luar biasa besar dari lawan jenis, tapi di sisi lain Ana juga merasakan senang, "Dia tuh sebenarnya suka nggak sih sama gue?"
"Kenapa, An?"
Tubuh Ana terlonjak kaget, dengan cepat dia kembali mengambil posisi duduk di atas tempat tidur untuk melihat Ilham yang sudah kembali berada di sampingnya, "Kok cepat bangat?"
Di tangan Ilham sudah ada tiga bungkus roti dan sebotol air mineral, "Gue buru-buru beli ini biar Ana bisa langsung makan dan nggak lemas lagi."
Setelah menerima roti yang Ilham berikan, Ana mengernyit melihat rasa roti yang sudah dipilih. Kacang, rasa kesukaannya.
"Kenapa? Ana nggak suka rotinya?"
"Kenapa Ilham beli yang rasa kacang?"
"Ini rasa yang disukai Ana kan?"
Ana menatap Ilham karena semakin tidak mengerti, kok tahu sih? Ana bahkan ragu Nadia atau Rahma sadar dengan rasa yang disukainya, tapi Ilham justru tahu.
"Tunggu, gue salah ya?" melihat Ana diam, Ilham bertanya dengan panik.
Jika salah, Ana tidak mungkin sebingung ini. Tapi berhubung Ilham tahu, ini jadi terlalu aneh, "Nggak, makasih ya."
Ilham duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur kemudian memperhatikan Ana yang mulai memakan roti, "Oh ya, apa lain kali Ana mau kubuatkan brownies?"
"Ilham mau membuatkannya untukku?" tanya Ana dengan intonasi yang terlalu bersemangat.
Ilham mengangguk, "Aku yang buat, mau?"
Ana mengangguk cepat, tentu dia sangat mau. Kue buatan Ilham selalu menjadi rebutan setelah pelajaran memasak selesai, bahkan tester yang kadang dibawa sampai mengundang murid kelas lain untuk ikut mencoba juga.
Walau kue buatan Ilham atau ibunya bisa dibeli pakai sistem PO dan bebas mau pesan kue dengan jenis apa saja, tapi tidak setiap hari dapat dilakukan. Jadi tanpa pikir panjang Ana langsung menerima ketika Ilham menawari mau membuatkannya brownies.
"Ah, tunggu, apa aku harus bayar?"
"Ana nggak perlu membayarnya."
Jika diberikan secara gratis justru malah merepotkan, tapi Ana benar-benar tergoda dengan tawaran ini, "Kalau gitu nanti kutraktir ya saat jam istirahat?"
"Aku kan belum membuatkan kuenya, An."
Meski belum dibuatkan, tidak ada salahnya mengucapkan terima kasih terlebih dahulu, "Pokoknya Ilham nanti nggak boleh nolak saat kutraktir."
Ilham tertawa renyah, "Baiklah, Ilham mau kok."
Ana menghentikan kegiatan memakan rotinya sambil menatap Ilham dengan pandangan aneh. Kok seperti ada yang salah dengan cara bicara mereka ya?
"Habiskan rotinya, An, kita bisa ketinggalan ngikutin pelajaran pertama loh."
"Eh, upacaranya udah mau selesai ya?" karena diingatkan sebentar lagi jam pelajaran pertama mau dimulai, Ana buru-buru menghabiskan dua dari tiga roti yang Ilham berikan.
Tapi walau sudah mempercepat kegiatan makannya dan diperbolehkan kembali ke kelas, guru yang mengajar di jam pertama sudah berada di kelas, "Oh, kalian berdua sudah kembali? Hari ini ada perpindahan tempat duduk, jadi langsung saja duduk di dua bangku yang tersisa."
Jika ada liburan semester atau liburan lain yang menghabiskan waktu berminggu-minggu, guru pasti melakukan perpindahan tempat duduk. Wajar kali ini juga dilakukan.
Tanpa bisa protes dengan keberadaan dua bangku yang tersisa ada di pojok kiri paling belakang, Ana dan Ilham melangkah beriringan tanpa mau memusingkan harus duduk bersebelahan dengan satu meja yang sama.
∞
Saat di ruang UKS, Ana sudah menjanjikan mau mentraktir Ilham di kantin. Hanya saja Ana tidak menyangka Ilham langsung mengikutinya datang ke kantin. Padahal kan biasanya cowok ini pergi ke mushola dulu untuk salat.
"Ilham."
Ilham yang sedang duduk di hadapan Ana tersenyum saat dipanggil, "Kenapa?"
"Kok nggak ke mushola?"
"Aku ingin memastikan kondisi Ana udah baik-baik aja. Jadi untuk hari ini libur dulu."
Ana menunjukkan ekspresi syok, siapa pun pasti terkejut dengan jawaban santai yang baru diberikan Ilham. Cowok ini kan rajin beribadah dari yang wajib seperti salat Zuhur sampai yang sunah lengkap dilakukan semuanya, dan apa katanya tadi? Libur dulu?
Karena Ilham seolah mengabaikan jawaban yang sudah diberikan, Ana menatapnya dengan serius, "Aku tahu Ilham cemas, tapi ini bukan alasan yang buat Ilham bisa meninggalkan salat. Dibanding bersamaku, jauh lebih baik Ilham sekarang menjalankan perintah agama."
Senyum di wajah Ilham seketika menghilang, ekspresi bersalah mulai tergambar di wajahnya, "Baiklah, aku mengerti. Makasih udah mengingatkan. Aku akan salat, tapi Ana juga harus memesan makanan di kantin agar nggak lemas lagi."
Ana tersenyum, dia pikir Ilham marah karena ucapannya, ternyata tidak ya? "Iya. Salatnya yang khusyu ya?"
Ilham berdiri dari duduknya kemudian mengelus puncak kepala Ana dengan lembut, "Iya, Ilham juga akan mendoakan Ana supaya cepat sembuh."
Mendengar apa yang dikatakan dan yang baru saja dilakukan Ilham, Ana tertegun. Kenapa ceramah agama yang baru dia lakukan berakhir menjadi adegan romantis?
"Enaknya dapat perhatian dari Ilham."
Setelah melihat Ilham pergi dari kantin, Ana baru menyadari sejak tadi dia tidak sedang duduk sendirian. Ada Rahma dan Refan yang menjadi penonton, "Apa sih? Aneh tahu lihat dia khawatir berlebihan gitu."
Refan menatap Ana dengan bingung, "Bukannya Ilham sering perhatian begitu ya sama lo?"
Ana menghela napas, memang sering, saking seringnya sampai hati Ana merasa sangat lelah, "Emang, tapi kali ini beda."
"Oh, gue tahu, Ilham terlalu terang-terangan menunjukkannya ya?"
Ana mengangguk menyetujui ucapan Rahma, "Padahal kan Ilham selalu terlihat nggak mau menyentuh perempuan yang bukan muhrimnya, tapi dia sekarang bisa nyentuh gue dengan mudah."
Rahma dan Refan tidak langsung memberi respon. Mereka pikir Ana pasti merasa senang saat Ilham melakukan hal itu. Reaksi yang wajar memang senang kan? Cowok yang paling tidak mudah bersentuhan dengan cewek justru mau menyentuhmu dengan alasan merasa khawatir.
Tapi tidak, Ana menunjukkan reaksi sebaliknya.
"Lo nggak suka kalau Ilham bersikap begitu?" tanya Refan.
Ana menunduk dengan gugup, rasanya agak memalukan harus jujur mengenai perasannya, "Bukannya nggak suka, tapi gue nggak mau Ilham mengabaikan prinsipnya sendiri."
Rahma menunjukkan senyum jahil, jarang-jarang dapat kesempatan menggoda temannya ini, "Oh, jadi Ana suka?"
Ana cemberut, dia tidak bisa menyangkal. Tapi ada hal yang jauh lebih penting dibanding Ilham yang mau menyentuhnya, "Gue nggak suka Ilham sampai mengabaikan salat."
Ucapan Ana memang benar. Tidak baik mengabaikan ibadah salat. Apalagi Ilham selalu salat tepat waktu.
Tapi beberapa remaja seumur mereka biasanya luluh jika lawan jenis sampai mau mengabaikan salat hanya untuk menghabiskan waktu saat sedang bersama. Rahma dan Refan sekarang mengerti kenapa Ana dapat membuat Ilham jatuh cinta. Gadis ini memang cocok dan pantas untuk seorang Ilham Ibrahim.