Chereads / When I Fall in Love / Chapter 13 - 12. Cemburu

Chapter 13 - 12. Cemburu

"Pagi, sayang."

Mata Ana terasa berkedut saat baru sampai sekolah sudah disambut dan mendapat sapaan yang terdengar menyebalkan dari Arka, "Apaan sih lo?"

Arka yang baru memarkirkan motornya di parkiran justru tersenyum mendengar respon Ana, "Kok berangkatnya sendirian sih? Di mana cowok lo?"

"Cowok yang mana?"

"Siapa lagi emang kalau bukan si cowok teralim di sekolah."

Bingung, Ana tidak mengerti kenapa Arka menanyakan Ilham seolah cowok alim itu sudah menjadi pacarnya. Memang baru-baru ini Ilham bersikap seolah sedang melakukan pendekatan pada perempuan yang disukainya sampai membuat banyak orang salah paham, tapi mereka tidak berpacaran.

Ana tidak mau besar kepala dengan menganggap semua perlakuan Ilham sebagai sesuatu yang istimewa. Mungkin saja kan Ilham memang selalu bersikap begitu pada perempuan yang telah akrab dengannya?

Lagian Ana sangat tahu diri jika cewek tomboy sepertinya mana mungkin bisa membuat cowok alim seperti Ilham tertarik. Jika ingin memiliki pacar, sudah pasti minimal Ilham memilih yang mengenakan hijab.

"Kok diem? Apa ternyata Ilham cuma mempermainkan lo aja? Atau jangan-jangan dia udah melakukan sesuatu yang nggak seharusnya?"

"Seneng bangat sih lo Ka cari-cari keburukan Ilham, emang apa manfaatnya?" tanya Ana yang kesal mendengar pemikiran Arka.

"Cie yang gebetannya dibelain. Nggak bisa lagi dong gue panggil lo pakai sebutan sayang atau cinta?"

Lelah menghadapi perilaku Arka yang semakin menjadi, Ana memijit pelipisnya, dia pusing.

"Kalau mau menarik perhatian Ilham, minimal lo harus lebih kelihatan kayak cewek, An. Lepasin nih ikat rambut, punya rambut panjang-panjang kok nggak pernah digerai," ucap Arka yang secara paksa melepaskan ikat rambut yang Ana pakai tanpa peduli tindakannya menghasilkan sebuah ringisan kesakitan.

Ana mengusap-usap kepalanya seraca refleks merasakan ada beberapa helai rambut yang rontok efek ditarik, "Sakit tahu! Balikin ikat rambut gue."

Tangan kanan Arka yang memegang ikat rambut berwarna hitam malah semakin menjauh, "Nggak, justru gue pengen bawa lo ke salon terus ke toko baju buat melakukan make over biar cantik dan langsung buat Ilham ngajak lo pacaran."

Ana berdecak kesal sambil mencoba mengambil ikat rambutnya, "Lo ngeselin bangat sih, Ka. Nggak ada untungnya juga kali buat lo walau seandainya gue sampai pacaran sama Ilham."

Arka mengangkat tangan kanannya setinggi mungkin, memanfaatkan perbedaan tinggi badan agar Ana tidak bisa menjangkaunya, "Untungnya? Gue mau tahu gimana respon Ilham lihat ceweknya dekat sama cowok lain, terus lihat kayak gimana sih cowok alim saat sedang pacaran. Kira-kira bisa tahan godaan nggak ya?"

Dengan kesal Ana menginjak kaki Arka sekuat tega, "Jangan samakan lo dengan dia deh."

Saat Arka mengaduh kesakitan, Ana langsung merebut ikat rambutnya kemudian berjalan pergi tanpa peduli dengan cowok ini lagi.

Ilham sangatlah tahu Ana mudah dekat dengan cowok dengan tipe apapun. Tapi sekarang melihat Ana sedang berdebat dengan Arka saja sudah membuatnya cemburu.

Memang cemburu merupakan bentuk dari cinta, tapi tetap saja tidak mengenakan melihat perempuan yang disuka dekat dengan laki-laki lain. Tidak ingin terus merasa kesal, Ilham memutuskan pergi ke toilet dulu untuk mencuci muka agar pikirannya jernih kembali.

Ana kan tomboy, sangat wajar bisa akrab dengan lawan jenisnya, Ilham tidak perlu cemburu segala kan? Lagian punya hak apa dia merasa cemburu? Pacar juga bukan.

"Aduh! Maaf," setelah dari toilet dan baru mau berbelok di dekat tangga, Ilham tidak sengaja menabrak seseorang karena pikirannya sejak tadi kurang fokus.

"Nggak, gue yang salah kok karena tadi meleng. Maaf."

Mengenal suara orang yang ditabraknya membuat Ilham merasa semakin bersalah, "Oh, Ana ya? Gue yang salah kok karena jalannya nggak fokus."

Terlihat Ana sedang memegangi kepalanya yang habis kena benturan, "Gue juga salah kok."

Melihat jarak di antara mereka terlalu dekat, Ilham refleks melangkah mundur, tapi Ana justru mengaduh sambil mendekatkan kepalanya kembali, "Rambut gue nyangkut."

Ilham melihat ke arah kancing seragamnya, kancing ke tiga dari atas ada rambut Ana yang tersangkut, "Bisa dilepas?"

"Sebentar," Ana mengarahkan tangannya untuk menyingkirkan rambut dari kancing seragam Ilham.

Sambil menunggu proses menyingkirkan rambut, Ilham menghela napas menyadari ada beberapa pasang mata yang mulai memperhatikan. Jika dilihat sekilas, mereka sekarang seperti sedang berpelukan, wajar membuat penasaran.

Tapi Ilham tidak peduli, lebih baik juga melihat gerak-gerik kedua tangan Ana yang terus sibuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang terlilit di kancing seragamnya.

"Tumben rambutnya digerai."

"Arka tadi seenaknya ngelepas ikat rambut gue."

Ilham menahan diri untuk tidak berdecak mendengar nama cowok lain dibawa-bawa. Itu kapten basket kurang kerjaan ya? Padahal sudah memiliki pacar cantik, tapi masih saja iseng pada Ana.

Atau jangan-jangan Arka memendam perasaan suka pada Ana? Berat bangat jika Arka menjadi saingan cintanya. Sudah ganteng, tinggi, tajir, jago olahraga, pintar juga lagi.

Tapi berhubung tidak menjalin status pacaran, Ilham merasa masih memiliki hak untuk terus menyukai Ana.

Anggap saja Arka memang kurang kerjaan sampai punya hobi menjahili Ana. Dan karena perbuatannya, Ilham sekarang jadi mengalami insiden berdiri berhadapan dengan Ana dalam jarak yang terlalu dekat begini.

"Kok susah sih?" terlalu lama berada diposisi yang sama membuat Ana mulai menggerakkan tangannya dengan gelisah. Tapi Ana yang panik malah membuat rambutnya semakin banyak yang terlilit.

Meski menikmati momen ini, Ilham juga tidak nyaman dengan perhatian orang lain yang tertuju padanya, "Lo harus tenang, Ana. Sini biar gue yang coba."

Ana langsung menjauhkan tangannya dan membiarkan tangan Ilham yang mengambil alih, "Maaf ya."

Berhubung tinggi mereka berbeda 5 cm saja, agak susah melihat ke arah kancing seragam karena posisi kepala Ana sedikit menghalangi. Tapi tangan Ilham tetap berusaha berbuat sesuatu sambil mencoba agar tidak salah fokus.

Salah sedikit saja bisa-bisa Ilham menyentuh seragam yang bukan miliknya. Kenapa bagian rambut yang tersangkut ada di dekat bagian bahu Ana sih? "Nggak perlu merasa bersalah segala deh, An, kan nggak sengaja."

"Jika nggak bisa lepas, ditarik juga nggak apa-apa kok."

Mana mungkin Ilham melakukan hal sekejam itu pada rambut halus milik Ana, "Rambut merupakan mahkota perempuan kan? Lo jangan memperlakukan rambut dengan kasar deh."

"Tapi rambut juga merupakan aurat, kita bukan muhrim, Ilham."

Sesaat tangan Ilham berhenti bergerak mendengar ucapan itu, cukup terkejut yang mengajukan protes adalah Ana, bukan dirinya, "Gue tahu, tapi gue nggak mau merusak rambut lo cuma untuk melepaskan lilitan ini dengan cepat."

"...kalau gue pakai hijab, ini nggak mungkin terjadi."

Jika Ana memakai hijab, Ilham merasa dirugikan tidak bisa melihat dan menyentuh surai hitam ini dengan begitu mudahnya.

Dan lagi Ilham tidak mau mengomentari mengenai perempuan yang tidak berhijab. Memang hijab wajib dipakai kaum hawa untuk menutup rambut yang merupakan aurat, tapi Ilhan tahu ada kesiapan mental yang juga mesti dilakukan.

Daripada memakai hijab atas faktor disuruh atau paksaan, Ilham lebih menerima perempuan tak berhijab yang rajin menjalankan salat lima waktu, "Gue suka rambut lo kok, terasa halus saat dipegang."

Begitu sadar yang dipikirkan terucap, Ilham langsung menghentikan gerakan tangannya dengan syok. Apa yang tadi dikatakannya sih? Masa terang-terangan mengatakan lebih suka Ana tidak memakai hijab. Ini tidak benar!

Ana juga terlihat terkejut. Kedua netranya memandang dengan sorot tidak percaya.

"Tapi jauh lebih baik kalau lo mau pakai hijab. Udah jangan banyak gerak dulu," Ilham secara paksa mendorong kepala Ana masuk ke pelukannya. Bertatap-tatapan dalam jarak sedekat tadi membuat hatinya tak tenang.

Tapi Ilham langsung menyesali perbuatannya. Membiarkan kepala Ana menempel di dadanya justru membuat debaran jantungnya semakin cepat dan membuat gelisah.

Apalagi indra penciuman Ilham menangkap aroma coklat yang berasal dari rambut Ana. Hilang sudah konsentrasinya.

Sampo jenis apa coba yang dipakai sampai menghasilkan aroma semacam ini? Kan aroma manisnya yang menggoda membuat lapar dan betah untuk dicium lama-lama. Apa tidak bisa Ilham terus berada diposisi ini sedikit lebih lama lagi?

"Ah, udah lepas. Makasih ya, Il," mendapati rambut miliknya sudah terlepas dari kancing seragam Ilham, Ana langsung mengambil jarak untuk menjauh.

Kecewa, itu yang kini dirasakan Ilham ketika baru menikmati momen yang mustahil dapat terjadi lagi. Kenapa lilitan rambut Ana pada kancing seragamnya terlepas saat sedang nyaman-nyamannya sih?

"Ya udah, yuk kita ke kelas!" ucap Ana sambil melangkah mendekati tangga untuk menaikinya.

Sambil mulai menaiki anak tangga juga, mata Ilham memperhatikan Ana yang berjalan di depannya sambil mencoba mengikat rambut. Bukan diikat secara ponytail, melainkan dicepol sampai menyembunyikan panjangnya rambut yang Ana miliki.

Pasti ini dilakukan gara-gara ucapannya ya? Kenapa Ilham terlalu jujur sih? Untung tadi dia tidak ikut mengatakan merasa nyaman saat sedang dalam posisi berpelukan, bisa-bisa Ana malah menjauhinya.

Sepertinya Ilham harus bisa mengendalikan diri lebih baik lagi. Jangan sampai dia termakan hawa nafsu sesaat dan melakukan sesuatu yang membuat menyesal dikemudian hari.

Tidak boleh lagi memberi komentar tentang bagian tubuh Ana. Jangan juga main peluk seperti tadi. Jaga jarak aman, mendekat boleh, tapi jangan terlalu dekat seperti tadi. Jernihkan pikiran dengan selalu istigfar ketika sedang bersama Ana agar ingat dosa.

Yang jelas Ilham tak boleh lagi membuat Ana merasa risi dan tidak nyaman. Jika dia sampai salah mengambil tindakan, bisa-bisa Ana malah membencinya.