Chereads / When I Fall in Love / Chapter 7 - 6. Alim

Chapter 7 - 6. Alim

Meski sadar masuk kategori siswa populer di sekolah, Ilham sampai detik ini tidak menerima alasan dirinya dikenal oleh semua penghuni sekolah.

Kenapa hanya dengan memberikan image yang seakan sangat mematuhi agama, Ilham dianggap sebagai calon suami idaman?

Kan Ilham cuma masuk pesantren selama tiga tahun saat masa SMP, itu tidak menjamin dia nanti bisa menjadi suami yang sukses membimbing istri dalam mengajari agama kan?

Ilham tidak merasa tingkat keimanannya sudah sangat baik sampai masuk kategori orang alim. Dia bisa marah, batas kesabarannya pun dapat habis, bahkan dia juga masih sering mengumpat kalau sudah sangat kesal.

Orang lain saja yang terlalu berekspektasi terlalu tinggi setelah tahu Ilham pernah masuk pesantren, padahal dia juga masih perlu banyak belajar agar menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Tapi karena terkenal dengan image yang baik, Ilham memilih membiarkannya saja. Tidak ada ruginya dikenal banyak orang dengan karakter baik.

Hanya ada satu hal yang sedikit mengganggu sejak awal Ilham mulai terkenal. Ilham merasa tidak nyaman jika ada siswi yang datang ke mushola sekolah hanya karena ingin menjadi jamaah saat Ilham menjadi imam salat.

Memang apa istimewanya jika Ilham yang menjadi imam? Jumlah pahala yang didapat kan sama saja siapa pun imamnya.

Gara-gara hal ini jadi tidak jelas siapa saja perempuan yang memiliki niat tulus beribadah dan mana yang tidak.

Bagi Ilham, menentukan perempuan yang rajin beribadah tidak dilihat dari penampilan semata, melainkan dari serajin apa perempuan itu menjalankan perintah agama paling dasar seperti salat.

Dalam kurun waktu satu tahun sejak pertama kali menjadi murid sekolah Pelita sampai detik ini, Ilham sudah mulai menghafal siapa-siapa saja yang paling rajin datang ke mushola sekolah.

Khusus dari kelasnya ada dua orang. Yang satu perempuan yang tingkat alimnya hanya dengan melihat saja sudah membuat Ilham mendapat pencerahan rohani. Lalu yang satu lagi adalah perempuan yang sekarang sedang berdiri di hadapannya.

Anandia Setiani. Walau dikenal dengan image tomboy, perempuan ini rajin datang ke mushola dan tetap salat siapa pun imamnya.

"Kenapa, Il?"

Mata Ilham fokus menatap ke arah rambut bagian poni Ana yang terlihat basah dan sedikit acak-acakan, "Nggak, gue penasaran aja. Lo kok wudhunya selalu basah gitu sih?"

Sudah ada banyak perempuan yang sering Ilham lihat setelah selesai mengambil air wudhu, dan sebagian besar di antara mereka tidak sampai membasahi bagian kepala memakai air sebanyak ini.

Karena Ana terkesan memakai air lebih banyak dari yang seharusnya, Ilhan kepo dan memutuskan bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya.

"Cuacanya lagi panas sih, gue sekalian basahin kepala pakai air yang banyak biar segar. Emang nggak boleh ya?"

Multi fungsi ya? Ilham tidak pernah terpikir sampai sana saat ingin wudhu. Dan lagi biasanya perempuan tidak mau terlihat berantakan begini, jadi melihat poni Ana yang mencuat ke mana-mana membuat Ilham harus menahan tawanya.

Merasa gemas, tangan kanan Ilham mulai mengacak-acak poni itu, "Nggak boleh. Emang wudhu juga bisa hapus dosa, tapi sebisa mungkin jangan pakai air secara berlebihan walau sekolah punya sumber air yang banyak sekalipun."

Mendadak mendapat ceramah agama sambil rambutnya diacak-acak, Ana terbengong, "Gue nggak tahu. Kalau gitu mulai besok gue nggak mubazir lagi menggunakan air buat wudhu."

Ilham tersenyum melihat Ana menerima ceramahnya dengan mudah, dan lagi gadis ini tidak memprotes aksi kejahilannya.

Merasa bersalah sudah seenaknya mengacak-acak rambut orang, tangan Ilham berganti mengelus pelan bagian poni Ana beberapa kali, mencoba merapikan semampunya, "Bagus. Dan jangan lupa poninya dirapikan lagi."

"Nanti aja setelah salat dan lepas mukena biar sekalian merapikannya. Sana Ilham ke bagian imam, nanti keburu bel dan kita nggak sempat salat," ujar Ana sambil mendorong punggung Ilham agar memasuki mushola.

Saat ingat sesuatu, Ilham menahan posisi tubuhnya untuk bertahan dari dorongan tangan yang sedang Ana lakukan, "Tunggu dulu, wudhu kita batal kan?"

Ana menghentikan gerakan tangannya, terlihat bingung sejenak, "Emang saat dua orang yang bukan muhrim bersentuhan bisa buat wudhu batal ya?"

Diam, tidak terlalu yakin dengan ucapan sendiri membuat bola mata Ilham melirik ke sana ke mari seolah sedang mencari jawaban yang tepat, "Ada beberapa orang yang mengatakan cuma bersentuhan dengan lawan jenis bisa batalin wudhu sih, tapi gue nggak yakin pendapat itu benar. Jadi mending kita wudhu lagi aja deh untuk cari amannya."

"Bikin kerja dua kali aja sih, Il," ingin balas dendam dan meluapkan rasa kesalnya, gantian rambut Ilham yang diacak-acak Ana sebelum ditinggal berjalan pergi untuk kembali mengambil air wudhu.

Tanpa peduli rambutnya berantakan, Ilham ikut berjalan keluar dari mushola dengan niatan yang sama. Sepertinya dia memang harus lebih banyak lagi mendengar ceramah agama deh.

Ilmu agamanya mendadak terasa dangkal bangat. Sudah tidak yakin dengan pendapat sendiri, sempat-sempatnya Ilham berbuat iseng dulu.

Entah kenapa Ilham jadi ingin mempertanyakan siapa yang awalnya memberikan image alim padanya. Hari ini Ilham merasa terbebani dengan image itu.

"Il, lo udah resmi jadian sama Ana?"

Ilham mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedang dipegang untuk menatap Reno yang baru bertanya, "Gue nggak pacaran sama dia."

"Jika nggak pacaran, terus kalian taaruf?"

Ilham mengerutkan kening mendengar pertanyaan itu. Bukannya taaruf memiliki arti yang sama dengan pacaran ya? Hanya saja dilakukan sesuai ajaran agama, "Nggak juga."

Reno memicikkan matanya, masih menunjukkan gestur curiga, "Gue udah denger tentang apa yang telah lo lakukan sama Ana di mushola tadi."

"Emang apa yang Ilham lakukan?" Refan yang sejak tadi menjadi pendengar memutuskan untuk ikut mengambil bagian dalam obrolan.

"Ilham ngacak-acak terus ngelus kepala Ana."

Refan ikutan memberikan tatapan curiga pada Ilham, "Kok nggak bilang-bilang udah jadian? Lo nggak mau kasih PJ ya?"

"Gue nggak jadian atau taaruf sama Ana," Ilham sengaja mengulang jawabannya, kali ini bahkan sampai menekankan setiap kata yang diucapkan.

"Jika nggak ada hubungan apa-apa, terus kenapa lo rela batal wudhu cuma buat ngelus kepala Ana doang?"

"Khilaf."

Reno dan Refan sweatdrop mendengar jawaban simpel yang diberikan. Terlalu aneh Ilham yang biasanya selalu menjaga jarak dari perempuan bisa sampai khilaf begini.

Sadar dengan ekspresi aneh yang ditunjukkan oleh dua orang yang duduk di hadapannya, Ilham mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Lo bisa khilaf?"

"Gue kan manusia."

"Iya, tahu, tapi kan lo alim."

Ilham kembali menatap dua temannya ini dengan raut wajah terganggu, "Siapa sih yang awalnya kasih gue image alim? Gue nggak ngerasa begitu tahu."

Reno dan Refan saling bertatapan, mereka baru tahu ternyata Ilham kurang menyukai image yang sudah membuatnya terkenal di seantero sekolah.

Menyadari sudah bersikap sedikit kelewat batas, Ilham mengusap wajahnya, "Maaf gue agak emosian. Abang gue lagi di rumah, jadi sikap gue kayak gini."

Sebenarnya tidak ada satu pun orang yang tahu bagaimana hubungan Ilham dengan sang kakak. Yang satu sekolah tahu hanyalah sebuah rumor buruk yang pernah tersebar saat Ilham masih kelas satu SMA di semester dua.

Entah rumor itu benar atau tidak, tapi yang jelas Ilham pasti menunjukkan ekspresi kesal ketika sedang membicarakan mengenai kakak.

Walau Reno dan Refan bersahabat cukup dekat dengan Ilham, mereka tidak pernah mau membahas tentang masalah ini. Ilham pasti ingin memiliki privasi yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. Jadi mereka memilih diam sampai Ilham mau bercerita sendiri.