Chereads / When I Fall in Love / Chapter 10 - 9. Rasa

Chapter 10 - 9. Rasa

Orang lain boleh saja memberi penilaian alim atau apapun yang mereka mau pada Ilham, tapi Ilham tetaplah remaja normal yang bisa berbuat jahil, nakal, iseng, dan sebagainya. Hanya saja selama ini Ilham cukup bisa menahan diri agar tidak melakukan sesuatu di luar batas yang dibuatnya sendiri.

Jadi sedikit membingungkan mendadak Ilham merasa ingin mengembalikan semua sifat lamanya untuk satu orang saja. Dia ingin menarik perhatian Ana agar tidak menunjukkan wajah sedih terus-terusan.

Apa Ilham harus menggenggam tangannya? Mengelus kepalanya? Atau mengatakan kalimat menghibur?

"Lo nggak pulang, Il?"

Ilham tidak mungkin pulang dan membiarkan Ana sendirian, apalagi pancaran mata gadis ini masih menunjukkan kesedihan, "Gue nunggu Ashar dulu baru pulang."

"Lo nggak usah nungguin, Il, kayaknya gue bakal nginep."

Walau niatnya sudah diketahui, Ilham tetap ingin menemani Ana sedikit lebih lama lagi, "Nggak apa, An, gue emang mau nunggu Ashar dulu kok."

Ana menengok untuk menatap wajah Ilham yang sedikit berjalan di belakangnya, "Sekali lagi makasih ya tadi udah mau nganter gue."

"Lain kali jika butuh bantuan, lo harus minta tolong. Orang lain tuh nggak tahu lo punya masalah kalau nggak benar-benar memperhatikan lo."

Langkah Ana berhenti mendadak, Ilham yang sedari tadi cuma mengikuti juga berhenti berjalan dengan heran. Apa dia telah mengatakan sesuatu yang aneh?

Saat Ana tiba-tiba mencubit pipi sendiri, Ilham tak bisa menahan tawanya, "Lo ngapain sih, An?"

Ana mengusap pipinya sejenak kemudian kembali meneruskan langkahnya lagi, "Nggak apa kok. Ya udah kita balik ke kamar lagi aja yuk!"

Ilham mengikuti langkah Ana sambil memperhatikan wajahnya dengan seksama. Senyum yang sedang terukir di wajah Ana memang lebih enak dipandang dibanding ekspresi murungnya.

Lagi-lagi tangan Ilham tergerak untuk menyelipkan rambut Ana ke belakang telinga agar dia bisa menatap wajah gadis ini dengan jauh lebih jelas.

Ana kembali menatap Ilham sambil menaikkan salah satu alisnya dengan heran, "Kenapa?"

Daripada menarik tangannya menjauh seperti tadi, kali ini Ilham dengan sengaja menyisir helai rambut panjang milik Ana menggunakan jemarinya. Terasa begitu halus seperti benang-benang sutra, "Rambut Ana mirip kayak yang di iklan sampo. Hitam, lurus, dan halus."

Ana memindahkan rambutnya ke sisi yang berlawanan dari posisi Ilham berada agar tidak disentuh lagi, "Apa sih? Gue nggak pernah perawatan tahu, nggak usah sok muji deh."

Ilham memelototi rambut Ana dengan pandangan tidak percaya. Tadi mungkin Ana telah mengaku malas pergi ke salon, tapi sangat mengherankan jika ternyata sampai tidak mendapat perawatan segala. Padahal kan Ilham serius memuji kelebihan yang ada.

"Dia pacarmu, An?"

Karena terlalu fokus menatap rambut, Ilham sampai tidak menyadari sekarang sudah berada di dalam ruang rawat ibunya Ana.

Ilham menatap wanita paruh baya yang masih dalam posisi tidur di ranjang rumah sakit, "Saya temannya. Nama saya Ilham."

Sebuah senyum bahagia tergambar di wajah pucat wanita itu saat bertatapan dengan Ilham, "Jadi Ana sudah memiliki pacar? Tolong jaga Ana baik-baik ya?"

Kenapa tetap dikatakan pacar setelah direvisi jika dia hanya berstatus teman saja? Ilham langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dengan tidak mengerti. Memang sekarang dia terlihat cocok menjadi pacar Ana ya?

Ilham menggigit bibir bawahnya untuk mencegah senyum yang bisa ditunjukkan saat ini juga. Kok dia merasa seolah sudah mendapat restu untuk menjadi pacar Ana?

"Ilham hanya teman sekelasku, Bu. Tadi dia nganter ke sini sekalian mau jenguk Ibu juga."

"Ilham baik ya? Ibu setuju jika nantinya kalian pacaran."

Setuju. Ilham disetujui berpacaran dengan anak gadis orang lain. Ilham menutup sebagian wajahnya, mencoba menyembunyikan ekspresi rumit yang sedang ditunjukannya.

Ini pertama kali ada orang tua yang menyetujui anak perempuannya berpacaran dengan Ilham setelah pengalaman tidak menyenangkan yang Ilham alami ketika mau masuk masa SMP.

Kenapa mendengar persetujuan saja sudah membuat Ilham merasa sangat amat senang dan lega begini? Padahal Ilham tidak ingat sudah jatuh cinta pada Ana. Gadis ini cuma mengacak-acak perasaannya saja sejak tadi.

Ana menghela napas dengan pasrah, "Oh ya, Mas Galih di mana? Kok nggak ada?"

"Dia pulang mengambil baju ganti dan keperluan lain untuk Ibu."

Ana duduk di kursi yang berada di samping ranjang rawat, wajahnya kembali terlihat cemas, "Kalau begitu Ibu sekarang istirahat ya? Jika tidak banyak istirahat, Ibu sembuhnya bisa lama. Aku akan jagain."

"Ibu pasti istirahat, tapi Ana juga jangan memaksakan diri ya? Nanti kamu yang gantian sakit."

Setelah bisa mengontrol perasaannya, Ilham memperhatikan interaksi yang dilakukan ibu-anak ini. Saat sudah pulang nanti, dia pasti akan memeluk ibunya sendiri untuk meluapkan rasa syukur karena Beliau masih diberi kesehatan.

Terasa menyakitkan melihat orang tua terbaring lemah di ranjang rumah sakit seperti ini. Pasti Ana sekarang sedang meminimalisir rasa cemasnya ya agar sang ibu juga merasa tenang?

Setelah beberapa menit berlalu dalam suasana sunyi, suara azan mulai berkumandang. Ilham menghela napas, ini merupakan pertanda bahwa dia sudah harus pergi, "Udah azan, gue salat dulu ya? Ana nggak apa-apa ditinggal sendirian?"

Ana mengangguk sambil tersenyum, "Ilham pulang aja, orang tuamu bisa cemas jika kelamaan di sini. Gue nggak apa-apa kok ditinggalin."

Ilham mengelus puncak kepala Ana sambil tersenyum lembut, "Jaga dirimu ya? Walau besok sekolah libur, jangan terlalu memaksakan diri."

Ana memperhatikan Ilham yang berjalan keluar dari kamar rawat, setelah cowok itu sudah benar-benar pergi, Ana menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan untuk menahan malu yang sedang dirasa, "Kenapa dengan Ilham sih? Kenapa dia mendadak perhatian gini?"

Ana menyentuh rambut panjang miliknya sambil tersenyum kecil, "Pacar ya? Mustahil. Gue nggak pantas jadi pacar Ilham."

Pandangan Ana beralih menatap sang ibu kemudian menggenggam pelan tangannya agar tidak terbangun, "Maaf, Bu, anakmu ini tidak mungkin bisa mendapatkan pacar sebaik Ilham."

"Gue kenapa sih? Ada apa dengan gue? Kenapa perasaan gue nggak karuan gini?" Ilham yang berjalan menuju mushola rumah sakit bergumam pada diri sendiri sepanjang lorong.

Ada yang salah dengan Ilham, perasaannya sedari tadi terus berubah-ubah. Dari khawatir, senang, malu, bahagia, lalu cemas. Dan semua itu disebabkan oleh Ana seorang.

Ilham mengacak-acak rambutnya sejenak kemudian duduk di kursi yang ada di lorong. Sambil memejamkan mata dan menyenderkan tubuh di kursi, Ilham mencoba rileks, "Jatuh cinta ya?"

Selama ini perasaan Ilham belum pernah dibuat terombang-ambing tidak karuan karena seorang perempuan. Tidak pernah ada yang spesial di hatinya. Ini mungkin menjadi pertama kalinya Ilham jatuh cinta.

Saat SD, Ilham belum mengenal yang namanya cinta, lalu SMP di pesantren isinya cowok semua jadi mustahil untuk bisa jatuh cinta. Apa Ana akan menjadi cinta pertamanya?

Ilham membuka kelopak matanya untuk menatap langit sore yang masih begitu cerah, "Apa nggak masalah? Apa gue dibolehin punya pacar?"

Selama ini Ilham tidak pernah memikirkan bagaimana jadinya jika dia sampai memiliki perasaan khusus pada lawan jenis sampai memiliki keinginan untuk dijadikan pacar.

Sekarang ketika sadar sudah jatuh hati pada Ana membuat Ilham jadi memikirkan banyak hal yang belum pernah dipikirkannya.

Yang pertama, belum tentu dia diizinkan memiliki pacar. Yang ke dua, apa dia bisa tahan menghadapi segala macam cobaan agar dapat menjalin hubungan pacaran tanpa banyak menambah dosa? Lalu yang ke tiga, sebagai remaja yang masih dalam masa pertumbuhan yang memiliki rasa penasaran dan nafsu, dia harus memikirkan konsekuensi sebelum melakukan sesuatu. Kemudian terakhir, apa Ana memiliki perasaan yang sama dengannya dan mau menjadi pacarnya?

"Udahlah. Yang penting sekarang gue harus rajin-rajin beribadah biar nggak jadi cowok mengecewakan," tidak mau dibuat pusing lagi, Ilham pun melarikan diri dari dirinya sendiri.