Sebelum begitu mengenal Ana, Ilham hanya menganggap Ana sebagai cewek tomboy yang mandiri, tapi kini pendapatnya berubah. Di mata Ilham, Ana sekarang sudah menjadi tipe orang yang susah minta tolong meski sedang membutuhkan bantuan.
Terbilang aneh memang setelah mengetahui Ana sebisa mungkin ingin melakukan apapun tanpa mencoba meminta pertolongan orang lain. Meski merasa aneh, Ilham tidak bisa memprotes sifat seseorang, semua orang pasti memiliki kelebihan atau kekurangan yang tidak mudah diubah.
Hanya saja ada yang mengusik Ilham saat ingin pulang sekolah. Dia melihat Ana yang sedang berdiri di luar pagar sekolah, gadis itu terlihat panik sambil memegangi ponselnya.
Jarang sekali melihat wajah Ana menunjukkan ekspresi panik. Oke, ini pertama kalinya Ilham melihat gadis itu memberikan gelagat yang seolah sedang gelisah.
"Lo kenapa, Il?"
Terlalu fokus melihat Ana membuat Ilham lupa dengan keberadaan Reno yang sejak tadi keluar dari kelas bersamaan dengannya sampai kini mereka berada di tepat parkir, "Ren, lo pulang duluan aja deh."
Reno mengernyit bingung, "Emang kenapa? Lo masih ada keperluan lain? Atau ada yang ketinggalan?"
"Nggak, gue cuma mau ngomong dulu sama Ana. Udah sana lo duluan."
Reno ikut melihat ke arah Ana yang berdiri di luar pagar sekolah, "Oh, ada Ana? Ya udah sana samperin dia sebelum direbut cowok lain."
Ilham memberikan lirikan jengkel, kok ucapan Reno terdengar sangat menyebalkan ya? "Apa sih lo? Dia kayaknya butuh bantuan, gue cuma mau tolongin doang."
Reno mengangkat bahunya dengan cuek, "Iya, iya, gue duluan ya!" seolah tidak peduli dengan apa yang sudah dikatakan Ilham, Reno memberi isyarat tangan mengusir.
Ilham menahan diri agar tidak mengumpat secara langsung karena masih ingat dosa. Tanpa mau peduli pada Reno lagi, Ilham berjalan mendekati Ana, "Lo belum pulang, An?"
Ana yang sedari tadi fokus menatap ponsel terlihat terkejut dengan keberadaan Ilham yang sudah berada di sampingnya, "Eh, iya, belum. Gue nunggu dijemput."
Biasanya Ana pulang bareng Nadia menggunakan angkot atau pulang sendiri pakai ojek online. Dan kalau sekedar menunggu dijemput, seharusnya tidak sampai gelisah segala. Pasti ada sesuatu ya? "Mau gue anter? Kayaknya lo lagi ada keperluan ya?"
"Nggak perlu, Il, gue nunggu dijemput aja. Lagian kejauhan kalau lo harus nganter ke rumah sakit segala."
"Rumah sakit?"
Ana mengangguk pelan, pandangannya sesekali menatap ke jalan raya seolah berharap yang ditunggu cepat datang, "Ibuku baru aja masuk rumah sakit, katanya kena demam berdarah. Sepupuku lagi ngurus keperluannya dulu baru bisa jemput ke sini."
Dugaan Ilham ternyata tepat ya? Siapa pun pasti gelisah mendengar orang tua masuk rumah sakit untuk dirawat, "Udah nggak apa-apa, biar gue anterin. Lo pasti semakin cemas jika kelamaan nunggu di sini."
Ana menggeleng, "Makasih tawarannya, Il, tapi nggak usah repot-repot. Gue nggak masalah kok nunggu di sini."
Mana tega Ilham pergi begitu saja melihat Ana sekarang memasang ekspresi seperti ingin menangis, "An, wajah lo udah pucat loh, gue nggak mungkin ninggalin lo dalam keadaan kayak gini. Biarkan gue nganter lo ya?"
Kepala Ana tertunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya agar tidak dapat dilihat dengan jelas, "Tolong ya, Il."
Mendengar suara parau yang dikatakan dengan suara kecil itu, Ilham langsung menarik pergelangan tangan Ana agar mengikutinya ke parkiran motor, "Rumah sakit mana?"
Setelah Ilham naik ke atas motor, Ana ikut naik ke boncengannya, "Prikasih."
Tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi di sana daerah macet, sampainya pasti lama. Ilham mencoba mengolah informasi sambil berpikir mungkin dia bisa melewati jalan tikus untuk menghindari kemacetan, "Lo pegangan aja An biar aman."
Ana melingkarkan kedua tangannya di pinggang Ilham, mengambil posisi memeluk dari belakang.
Ilham yang baru memegang kunci untuk bisa menyalakan motornya langsung tertegun, dengan gerakan lambat dia melihat ke arah pinggang. Ana memeluknya.
Selain dengan Amel atau ibu sendiri, belum pernah Ilham dipeluk perempuan seerat ini. Tapi mengerti Ana mungkin sedang membutuhkan semacam ketenangan, Ilham tidak protes, "Pegangan yang kuat ya, An, gue bakal sedikit ngebut."
∞
Awalnya Ilham hanya berniat mengantar Ana sampai rumah sakit, tapi melihat kondisi perempuan ini yang kacau, Ilham memutuskan mengantar sampai ruang rawat.
Dengan niat yang berubah, Ilham sekarang berada di luar ruang rawat sambil melihat apa yang sedang dilakukan Ana di dalam.
Bisa menyaksikan Ana yang menunjukkan sisi lemahnya merupakan sesuatu yang langka, tak Ilham sangka bisa melihat sisi lain gadis tomboy itu.
Tanpa sadar sudut bibir Ilham tertarik ke atas sampai menunjukkan sebuah senyuman. Ada kepuasan tersendiri setelah mengetahui hal yang mungkin tidak akan pernah diketahuinya jika tak berada di sini sekarang.
"Oh, Ana udah diantar pacarnya ya?"
Dengan cepat Ilham melihat ke arah orang yang bicara padanya, ada seorang cowok yang kisaran tujuh tahun lebih tua sudah berdiri di hadapannya, "Saya teman sekelas Ana."
Cowok itu menunjukkan ekspresi kecewa, "Bukan pacarnya? Sayang sekali."
Tidak tahu bagaimana menanggapi kekecewaan ini, Ilham memilih diam saat mulai diperhatikan dengan begitu intens.
"Mas Galih udah menyelesaikan administrasinya ya?" tanya Ana yang muncul dari dalam ruang rawat.
"Iya, udah beres semua, kamu bisa tenang sekarang."
"Maaf ya jadi ngerepotin Mas," gumam Ana sambil menunduk.
Galih mengelus kepala Ana dengan lembut, "Nggak perlu sungkan deh, An. "
Ana masih menunduk dengan wajah bersalah, "Makasih ya, Mas."
"Iya, iya. Oh ya, kamu udah makan?"
Ana memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Galih, "Habis pulang sekolah aku langsung datang ke sini."
"Ya udah sana ke kantin, ini uangnya. Ajak juga temanmu ya?" setelah memberikan uang seratus ribu kepada Ana, Galih melirik Ilham.
Ilham yang tiba-tiba ditunjuk mengibaskan tangannya dengan panik, "Tidak usah, Mas, aku langsung pulang aja."
"Anggap aja ini sebagai ucapan terima kasih udah mengantar Ana ke sini."
Kalau ada timbal balik, Ilham merasa pamrih sudah menawarkan bantuan, "Saya ikhlas kok mengantar Ana, tidak perlu sampai ditraktir makan segala."
Galih kembali menatap Ana, "An, ajak dong temanmu ini. Masa udah jauh-jauh diantarkan langsung dibiarkan pulang begitu aja."
Ana yang sejak tadi terdiam mencoba memberi bujukan juga, "Mau ya, Il?"
Ilham mengalihkan pandangan dari Ana. Kok dia merasa sangat tidak tega mengabaikan nada memohon yang diucapkan gadis ini ya? Apa dia memang selemah ini pada perempuan? "Baiklah."
"Oh ya, sebelum pergi coba sini pinjam ikat rambutmu. Mas bawa Tante buru-buru ke sini, jadi cuma sempat dipakaikan bergo aja."
Ana melihat sejenak ke arah kamar ibunya dirawat kemudian melepas ikat rambut yang sedang dipakai, "Mas tolong jagain dulu ya?"
Galih menerima ikat rambut itu sambil tersenyum, "Iya, kamu makan aja yang tenang."
Ana mengangguk kemudian menatap Ilham, "Ayo, Il."
Karena kondisi sudah tidak memungkinkan untuk menolak, Ilham ikut ke kantin rumah sakit kemudian duduk berhadapan dengan Ana disalah satu meja yang ada setelah memesan makanan, "Maaf, An, gue jadi ngerepotin."
Ana menyelipkan rambutnya di belakang telinga saat mau memulai makan, "Seharusnya gue yang minta maaf udah merepotkan."
Setelah mengucapkan niat, Ilham mulai ikut makan makanan yang sudah dipesan, "Makasih ya udah ditraktir."
Ana mengangguk, "Oh ya, nggak apa-apa kan Ilham menemani gue begini?"
Ini kejadian tak terduga yang membuat Ilham sampai tidak pulang ke rumah tepat waktu, tapi dia sudah menanganinya, "Gue udah bilang sama Amel kalau nggak bisa jemput, gue juga udah lapor ke nyokap bakal pulang telat."
"Maaf."
Melihat wajah Ana yang semakin merasa bersalah, Ilham tersenyum tulus, "Apa sih, An? Nggak usah terus-terusan minta maaf deh, gue jadi ngerasa nggak ikhlas udah beri bantuan tahu."
Ana ikut tersenyum kemudian kembali meneruskan kegiatan makannya.
Melihat gadis yang duduk di hadapannya terlihat begitu terganggu dengan rambut panjang yang dimilikinya, Ilham jadi penasaran, "Ganggu ya rambutnya?"
"Iya, rambut gue jarang sih digerai kayak gini."
Sejauh yang Ilham ingat, Ana memang tidak pernah membiarkan rambut yang memiliki panjang mencapai pinggang itu tergerai. Entah diikat ponytail, twin tail, dikepang, dicepol, atau gaya ikatan lainnya, yang jelas Ana tidak pernah sampai terganggu melakukan aktivitas apapun.
Jadi melihat ada perubahan yang terjadi hanya karena rambut Ana sedang terurai, tanpa sadar Ilham melakukan semacam penilaian.
Garis wajah Ana berubah, pipinya menjadi terlihat lebih mungil karena ada sebagian rambut yang jatuh menutupi bagian telinga dan juga sebagian leher yang biasanya bisa dilihat dengan mudah.
Dan apa Ana memakai kemeja seragam ukuran M? Padahal tubuhnya tergolong kurus, pakai ukuran S juga tidak akan membuat mata salah fokus.
Yah, kesimpulannya sih keimutan Ana lebih terlihat dengan rambut tergerai begini. Tunggu, apa yang sedang Ilham pikiran sih?
"Kenapa rambutnya nggak dipotong pendek aja?" agar berhenti pada pemikirannya, Ilham kembali meneruskan topik pembicaraan.
"Perempuan tuh diharuskan punya rambut yang panjangnya lebih dari bahu kan? Karena alasan itu ditambah juga malas ke salon, gue pun memanjangkannya."
Dalam agama memang perempuan dianjurkan memiliki panjang rambut melebihi bahu, tapi Ilham tidak menyangka ini alasan di balik Ana memiliki rambut panjang.
"Dan lagi meski kadang suka ganggu, tapi enak saat udara lagi dingin, jadi bisa untuk menghangatkan leher juga," lanjut Ana sambil tersenyum senang.
Ilham tersenyum geli, ternyata mempunyai rambut panjang ada fungsi lainnya juga ya? Ana ada-ada saja deh.
Mana rambut milik Ana sangat lurus lagi, pasti halus saat dipegang. Tangan Ilham tanpa sadar tergerak untuk menyingkirkan beberapa helainya yang kembali mengganggu sang pemilik rambut.
Ana menghentikan gerakannya yang sedang makan dan menatap Ilham dengan bingung, "Kenapa, Il?"
Saat Ana bersuara, Ilham langsung sadar dengan apa yang sedang dilakukannya. Dengan cepat dia menjauhkan tangannya, "Ma- maaf, tadi gue kepikiran adik gue yang juga punya rambut panjang, jadi tanpa sadar nyentuh rambut lo. Maaf udah nggak sopan."
Mendadak Ilham mulai membaca ayat kursi di dalam hati, ini pertama kalinya dia bertindak tanpa berpikir panjang pada perempuan setelah keluar dari pesantren. Padahal dia sudah menetapkan diri agar tidak menyentuh perempuan secara sembarangan. Ke mana perginya prinsip yang sudah susah payah ia pegang selama satu tahun terakhir?
Dan parahnya ini terjadi hanya pada Ana seorang. Meski punya image tomboy, Ana tetaplah perempuan. Ilham tidak boleh sampai melupakan fakta itu dengan bertindak ceroboh.
"Nggak masalah kok, Il. Gue cuma kaget aja."
Ilham kembali menatap Ana yang dengan cuek meneruskan kegiatan makannya. Mungkin Ana tidak mempermasalahkan tindakan tadi, tapi Ilham merasa dirinya yang justru sedang dalam masalah.