Ketika Giavana sudah selesai menuntaskan 'sabda alam'nya, dia melangkah santai, keluar dari biliknya.
Namun, alangkah kagetnya dia ketika menjumpai Gyarendra sudah ada di depan pintu bilik, menungguinya. "Kamu! Nga-Ngapain di sini!"
Gyarendra tersenyum menyeringai ketika melihat kepanikan Giavana. "Menurutmu apa?"
Tak mau tersudut di bilik, Giavana lekas mendorong Gyarendra yang mendekat sebelum lelaki itu meraih dia untuk memeluknya. Amit-amit, pikirnya. Kejadian di track jogging sudah cukup, jangan ada lagi yang semacam itu.
Namun, Gyarendra juga lebih sigap meski agak terlambat. Rencana awal adalah memojokkan Giavana ke bilik, namun ternyata gadis itu lebih cepat dari perkiraannya dan sudah hendak mencapai pintu keluar toilet. Dia berhasil meraih pinggang Giavana dan merengkuhnya.
"Enggak mau! Lepas! Lepas!" berontak Giavana sebisanya. Dia tak ingin disentuh lelaki ini lagi, tidak untuk seumur hidupnya.
Tenaga Gyarendra dikerahkan sekuat mungkin untuk menundukkan Giavana dalam pelukannya. "Nggak usah berontak, Gee … diam nurut, atau aku akan buat kamu menyesal!" ancamnya.
Giavana terhenyak beberapa saat. Untuk apa lelaki brengsek itu memanggil dia dengan sebutan jaman mereka pacaran dulu? Gee? Sekarang dia sudah tidak butuh panggilan sayang itu lagi!
Sayangnya, keterdiaman Giavana justru dijadikan kesempatan bagi Gyarendra untuk mengambil celah sebanyak mungkin. Satu tangannya menjepit pipi gadis itu dan mencium bibirnya.
Giavana membeku saat ciuman paksa itu datang. Dia segera sadar dan lebih banyak memberontak, tapi dekapan Gyarendra menyandera kebebasannya. Jepitan jari-jari kokohnya pun semakin kukuh di pipinya. "Ummphh! Mmpphh!" Dia terus berjuang lepas dari kuluman bibir lelaki sialan ini.
Hati Gyarendra bersorak penuh kemenangan, menyanyikan melodi kepuasan atas keberhasilan penaklukannya. Namun … "Arghh!" Dia berteriak secara tiba-tiba ketika merasakan rasa menyengat pada bibirnya. Giavana menggigit di sana.
Kali ini, Giavana yang mengambil celah kesempatan untuk membebaskan dirinya. Sekuat tenaga, dia dorong dada Gyarendra ketika lelaki itu masih lengah akibat gigitan dia saat Gyarendra mencium paksa.
Ketika pengungkungan lengan Gyarendra mengendur, maka itulah saat tepat bagi Giavana untuk bisa mendorong lelaki itu dan dia bergegas keluar dari toilet dan terus berlari sepanjang lorong sampai mencapai tempat terbuka dan mencari butik tempat dia dan Nada berjanji bertemu.
"Hm? Heh? Kau kenapa, Gi?" tanya Nada dengan raut wajah keheranan ketika sahabatnya mendatangi dia dengan napas terengah-engah.
Giavana memang terengah-engah seperti baru saja mendapatkan terror mengerikan. Ya, kenyataannya memang demikian. Ia beberapa kali menoleh ke belakang, memastikan Gyarendra tidak mengikuti dia atau menemukan keberadaannya di butik ini.
Mata Nada ikut menoleh ke arah tempat Giavana menempatkan pandangan, yaitu pintu depan butik. "Ada apa, sih Gi? Kamu barusan ketemu siapa? Ketemu setan? Kok kayak ketakutan begitu?"
"Heh? Ohh … um … i-iya, ada setan, ada iblis." Giavana menjawab sekenanya. Memang benar, bahwa dia bertemu iblis, yakni Gyarendra. Tapi tak mungkin diungkapkan pada Nada atau sahabatnya akan heboh dan bertanya lebih lanjut siapa itu Gyarendra, dan nantinya dia harus menceritakan ini dan itu. Tak usah!
"Hah? Iblis? Maksudmu? Bedanya setan ama iblis apaan dah, Gi?" Nada jadi bingung sendiri akan jawaban sahabatnya.
Giavana menelan salivanya dulu sambil menenangkan dirinya. "Itu … itu … di toilet sana … ummhh … ada … ada setan eh iblis!" Ya, sepertinya penjelasan semacam itu sangat masuk akal, terutama pada orang Indonesia yang lebih gampang diberi penjelasan berkaitan dengan mistis dan klenik.
"Heh? Setan di toilet?" Nada segera mendekat ke Giavana sembari berbisik. "Beneran ada setan di toilet sana?"
Bersyukur bahwa Nada percaya pada alasannya, Giavana mengangguk beberapa kali. "I-Iya, setan, setan di toilet tadi aku pipis."
"Oi, setannya kayak apa? Sempat kamu rekam apa enggak?" kejar Nada dengan wajah lebih serius.
"Hah?" Giavana malah memasang tampang heran. "Rekam?"
"Yah, lumayan kan kalo sempat masuk ke kamera, bisa masukin ke Tek Tok, gitu! Kasih ke FYP biar viral."
"Gila aja yah kau ini, Nad! Udah untung aku bisa buruan lari keluar, untuk apa masih sempat merekam untuk masukin ke Tek Tok? Kau ini kebanyakan kena virus alay bocil-bocil, nih! Apa-apa direkam, ketemu setan juga direkam, aiihh …," sungut Giavana. Kini dia sudah lebih tenang dan merasa aman.
"Halah kau, Gi, kau juga kan suka joget-joget narsis di Tek Tok, ya kan?" Nada tak mau kalah dan mengungkit itu.
"Hahaha, itu kan dulu, Nad, sebelum aku bertobat dan mendapat pencerahan dari langit."
"Hilih! Pencerahan dari langit mendung!" sewot Nada menanggapi ucapan sembarangan Giavana.
"Yuk, ahh! Udah borongnya?" tanya Giavana sambil menatap kira-kira apa saja yang akan dibeli sahabatnya.
"Nggak ada."
"Hah? Maksudnya nggak ada?"
"Aku ke sini cuma untuk healing aja, kok! Ngeliatin baju-baju keren gini bisa bikin hatiku tenang."
"Healing muka kau pantat panci, Nad!"
.
.
Malamnya, Giavana masih merinding dan gemetar jika teringat akan kejadian di toilet. Gyarendra memang setan! Bahkan iblis!
Mulai sekarang, mungkin dia akan mengajak Nada atau siapapun juga meski dia ke toilet kalau itu di tempat umum. Sepertinya Gyarendra sudah lebih gila dari yang pernah dia ketahui sebelumnya.
Di tempat berlainan, ada Gyarendra yang masih meringis, mengaduh kecil ketika dia mengoleskan obat luka pada bibirnya yang tadi siang berdarah akibat digigit Giavana.
Menatap ke cermin pada bekas gigitan itu, nyaris dikatakan menyobek bibirnya. Giavana memang luar biasa!
Namun, setelah meringis kesakitan, dia malah terkekeh menyeringai dan kemudian tertawa sebelum kemudian mengaduh kesakitan lagi karena terlalu lebar membuka mulutnya.
Sembari menepuk-nepuk pelan kapas ke bibirnya, dia berkata pada bayangannya di cermin, "Aku pasti akan mendapatkan kamu, Gee. Pasti! Kau harus merasakan dendamku ini, Gee. Kau harus membayar semua hinaan pada harga diriku, Gee!"
-0—00—0-
"Kamu yakin ingin masuk ke perusahaan ini, Va?" tanya Bu Jena pada putri bungsunya ketika pagi ini Giavana menyatakan bahwa dia sudah memasukkan lamaran kerja ke Multi Panca Sentosa Group, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur.
"Iya, Ma, dua hari lalu aku sudah masukkan lamaran ke sana. Aku memilih yang perusahaan plastiknya, karena di sana yang butuh karyawan." Giavana menyahut.
Magdalyn yang baru saja keluar dari kamarnya segera bergabung dengan ibu dan adiknya di ruang tengah, duduk bersama mereka. "Vava sudah melamar pekerjaan?"
"Iya, Kak, di Multi Panca Sentosa Group."
"Itu bidang apa, Va?"
"Bidang manufaktur, Kak. Aku masukin lamarannya ke yang bagian plastik, yang butuh karyawan."
"Memangnya mereka ada perusahaan apa saja?"
"Sesuai namanya, panca, ada 5 perusahaan yang dipunyai ownernya, Kak. Kayu, plastik, kertas, pakaian, dan kimia."
"Wah, sepertinya perusahaan besar, yah Va."
Bu Jena dan juga Magdalyn tak menyangka Giavana sudah gerak cepat melamar pekerjaan. Namun, apakah itu akan lancar?