Malam itu kami masih berada di kediaman Pak Dika. Rumahnya berada di tengah desa. Sambil menunggu kedatangan beliaun aku menyempatkan diri ke teras rumah untuk melihat situasi desa, mengambil sedikit ingatan tentang desa ini. Di penghujung penantian ada warga yang menghampiriku. Dia adalah pemilik rumah sedang mengadakan kegiatan hajat. Dia mendekatiku dengan membawakan dua piring makanan beserta kue.
"Nona, ini ada sedikit makanan. Saya sudah mendengarnya dari Pak Dika, kalau kalian sedang mengadakan peliputan di rumah kosong. Mari dimakan mumpung masih hangat." Ucapnya sambil meletakkan makanan di meja depan.
"Merepotkan Ibu saja smpai membawakan makanan, tadi kami juga sudah makan. Ini terlalu banyak untuk kami." Jawabku sungkan.
"Nona tidak perlu malu-malu. Warga desa x memang sibuk bekerja di siang hari, menjadikan rumah mereka sepi seperti tidak terurus, anak-anak pergi bersekolah ke kota yang setiap pagi dijemput oleh bus. Dan di hari minggunya mereka ada studi tur ke museum kota," ibu itu sedikit menyicipi kue yang dia berikan kepada kami, "Tapi, Nona bisa merasakan kehangatan desa di setiap rumahnya, seperti yang sekarang ini Nona lihat."
Aku segera memangil Amel untuk bergabung. Duduklah kami bertiga di teras rumah Pak Dika, berbagi ceritta dan sedikit mengeluhkan kebijakan pemerintah yang masih belum memberikan akses jalan layak untuk desa. Perbincangan kami cukup lama, tanpa kami sadari orang-orang sudah mulai beranjak pulang. Ibu itu juga izin undur diri karena ada tugas lain yang sudah menanti di rumah.
Warga yang menghadiri hajatan tersebut berhamburan, sebagianya melintas di depan teras, ada yang menyapa kami, ada juga anak-anak berlarian mengikuti orangtuanya. Desa itu seperti hidup kembali setelah kematian sepi. Malam mulai ramai, ditandai dengan warga yang berkumpul di kedai warkop. Para bapak-bapak meramaikan warkot itu, memesan kopi dan ketela rebus sebagai teman ngobrol. Aku kembali ke dalam rumah untuk sekadar mengecek perlengakanku, Amel masih sibuk memeriksa smart phone.
"Amel, dari tadi aku lihat kamu sibuk sekali dengan HP!"
"Aku sendiri tidak tahu, ada yang aneh pada HP ini, K! Aku tadi siang hanya memotret ruang tengah yang kosong, kamu lihat sendiri, kosong." Sambil menunjukan foto.
"Memang kosong, hanya ada kursi dan kain pelindung, apa yang aneh?" aku membuat muka aneh.
Amel segera memperlihatkan gambar kedua, posisi pemotretannya sama, "Kalau yang ini, bagaimana menurutmu, K? Aku yakin kita hanya berdua di rumah itu dan sangat yakin tidak ada orang lain di dalamnya. Bahkan mas property juga memberikan kunci rumah hanya pada ku, sudah dipastikan semua terkunci rapat. Hanya aku yang memiliki akses masuk." Tangan Amel bergetar, berkeringat dingin.
Aku memeriksa foto tersebut. Ternyata di foto kedua terdapat bayangan hitam, dia mengintip dari koridor dekat daput. Sosoknya tinggi, berpupil merah melotot, seluruh badanya diselimuti warna hitam keabu-abuan, tangannya seperti mencengkram sesuatu yang disembunyikan dibalik badan. Aku terus melototinya seksama dan menyerah karena tidak bisa mengenali sosok itu.
Amel mulai berkringat dingin kembali seperti waktu dia mengalami kerasukan. Aku segera membawanya masuk kedalam rumah, mendudukannya santai. Waktu bersamaan Pak Dika datang menghapiri kami, dia seperti usai pulang dari rumah tetangganya yang hajatan, sarung dan peci masih terpakai rapi.
Beliau melihat kondisi Amel yang terlihat lemas dan menayakannya kepadaku, "Ada apa dengan dia, apakah sakit?" beliau memeriksa suhu tubuh Amel di kening dan merasakan panas. "Kita bawa dia ke kamar, biar Ibu yang merawatnya. Malam ini kalian beristirahat saja di rumah kami, nanti saya antar juga Nona ke rumah pak RT untuk laporan, ya!"
Amel kami bawa kekamar dan dirawat Ibu. Kelihatannya tubuh Amel belum sepenuhnya pulih oleh jiwanya, dan kehabisan tenaga. Aku memakluminya, hal ini karena sudah diberitahu Mr. Ben, "K, maafkan aku yang sudah memakai tubuh temanmu ini. Aku tidak akan menyakitinya, tapi izinkanlah aku sedikit lebih lama disini." Waktu itu aku memperbolehkannya, tetapi memang sedikit beresiko ke Amel karena tubuhnya sekarang terbebani untuk dua jiwa.
"Pak Dika, dimana rumah Kepala RT desa ini?" aku dan Pak Dika berjalan menuju pinggir desa.
"Tidak jauh. Sebentar lagi kita sampai." Jawabnya singkat. Kami berjalan sekitar delapan menit baru sampai ke rumah Kepala RT. Pak Dika menceritakan kronologi pertemuan kami secara detail beserta kondisi Amel. Oh Amel kasihan sekali kamu harus aku tinggal sendirian, tapi tenang Ibu menjagamu dengan baik, gumamku dalam hati.
Kepala RT menyetuji kami sementara untuk menginap di desa ini. Beliau juga memberikan kami surat kunjungan, hal ini sudah biasa saat masa jayanya desa dengan air terjunnya, banyak pelancong yang menginap hanya sekadar untuk berfoto atau menenangkan diri di alam.
"Nona, bisa tinggal di desa ini untuk mengembalikan energi. Sudah banyak orang luar yang datang hanya untuk menhibur diri bersama alam," kata Kepala RT, "Kami sangat senang di kunjungi, hal demikian bisa membantu perekonimian desa. Namun sekarang sudah sedikit orang kemari."
"Kenapa?" sambarku. Mulut ini seperti baru diberi pelumas saja.
"Kami juga tidak tahu, tetapi semenjak kejadian orang menghilang itu, sudah sedikit pengunjung yang datang."
"Iya betul sekali. Nona, dulu saya adalah penjaga sekaligus pemandu jalan para wisatawan ke lokasi air terjun. Namun semakin berkurangnya pengunjung pendapatan kami menurun dan akhirnya saya beralih untuk mengarap lahan belakang rumah kosong. Saya sendiri juga tidak tahu rumah siapa itu, hanya sesepuh desa yang memiliki cerita di baliknya." Kata Pak Dika.
Aku sudah menduganya pasti beliau asal garap lahan milik orang tanpa izin. Seingatku lahan belakang rumah memang luas dan subur, sangat cocok untuk pertanian. Dulu Ayah mau mengarapnya sebagai sumahku kelak dewasa. Seperti itu hanya mimpi, dan untuk Pak Dika, aku akan memberitahukannya belakangan, sementara ini biar beliau garap, asal tanahnya tidak menjadi hak miliknya.
"Mengenai orang hilang, saya juga terheran-heran. Pak Dika dan beberapa warga sudah mencari mereka. Kami malah mengadakan slametan dua hari di latar depan rumah, namun mereka tidak kunjung terlihat," Kepala RT menghela napas, "Tetapi dua hari itu, kami sering mendengar teriakan dari dalam rumah. Bahkan pihak property sudah memeriksa ke dalam dan tidak menemukan siapa pun di sana."
"Saya kira mereka telah masuk ke dimensi lain, Pak." Sahut Pak Dika.
"Kamu yang benar saja, meskipun itu bisa terjadi karena rumah itu pernah.." ceritanya terhenti karena ada tamu yang datang melapor.
Aku sedikit kecewa karena tidak menerima cerita lengkap akan kejadian itu. Apa yang terjadi dengan mereka sampai-sampai warga tidak bisa menemukannya. Tapi mungkin saja mereka telah melarikan diri karena ketakutan dan meninggalkan semua perlengkapannya. Namun bayang itu dan Mr. Ben bersikap aneh. Gumamku dalam hati.