Chereads / DUNIA ANGEL / Chapter 20 - Cerita

Chapter 20 - Cerita

Sesepuh sudah bergabung berama kami duduk tepat disamping Pak Dika. Beliau kembali meracik rokoknya. Suara terbakarnya cengkeh beserta tembakau memang sangat menyegarkan telinga. Pak Dika memohon izin supaya sesepuh saja yang menceritakan kejadian itu.

"Pak, monggo panjenengan mawon, saya tidak bisa menceritakannya." Ucap Pak Dika.

"Seperti yang Nona ketahui, rumah itu sudah sangat lama ditingalkan oleh pemiliknya, sebelum saya memutuskan untuk tingal di desa ini rumah tersebut sudah berdiri."

Aku melinting kembali rokok dan menyalakannya.

"Saya ini bukanlah orang hebat yang sering orang-orang bicarakan, hanya saja waktu remaja di pondok pesantren kota Z, sering melakukan tirakat. Sehingga dapat dengan mudah mempelajari ilmu agama dan mengajarkannya kepada warga desa." Beliau menyeruput kopinya. "Tetapi saya juga adalah keturunan abdi dalem kerajaan majapahit, sehingga ilmu yang saya dakwahkan memadukan dari ajaran kejawen, brdoa secara kejawen. Semua itu sama saja, kiblaknya sama, Tuhan Yang Maha Esa." Lanjut sesepuh dengan menghembuskan asap rokok tebal.

Pak Dika juga ikut serta melinting rokok untuk menemani perbincangan kami. Sebenarnya hampir semua warga di warung merokok tetapi tidak ada yang melinting seperi kami lakukan. Kebanyakan mereka lebih suka rokok bungkus siap saji itu.

"Saya memahami hal tersebut, Pak. Saya sangat toleransi akan adanya keberagaman ajaran agama. Toh kita makhluk sosial yang sepantasnya berdampingan, bisa saling menerima perbedaan. Negara ini bisa besar karena keberagamannya, bukan karena satu warna." Kataku sambil menyalakan rokok.

"Kita semua tahu, bagi yang menyadarinya saja! Bangsa ini besar justru karena manusianya berbeda. Kita tumbuh dengan membawa kepribadian diri kita masing-masing. Kita membangun bangsa ini dengan beragam-ragam adat, budaya, agama, dan hal-hal yang semuanya tidak perlu diseragamkan.

Aku sungguh kesal dengan peran oknum pemerintah yang memaksa kita untuk sewarna. Dalih mereka, adalah kekhawatiran akan kesatuan. Itu semua hanya dibuat-buat!" Kebiasaan crewetku kambuh. Aku sangat malu dihadapan mereka.

"Nona seperti sudah terbiasa dengan pembahasan babakan ini, ya?" tanya sesepuh.

"Saya sudah terbiasa dan sudah menjadi bagian didalamnya, Pak. Keluarga saya masih kental memegang teguh adat istiadat leluhur. Di tambah kehidupan di Jawa Tengah sangat mendukung hal demikian. Sudah sewajarnya saya memahami babakan ini." Wajahku tersenyum hangat.

"Luar biasa," teriaknya sesepuh membuat warga sekitar menoleh kearah meja kami, "Sebelum kejadian orang hilang di rumah itu, mereka sempat memdatangi saya untuk diwawancarai perihal rumah dan segala macam yang menempatinya. Mereka tampak sangat menyukai benda atau kejadian mistis.

Mereka berniat untuk melakukan eksperimen di dalam rumah itu. Saya sudah melarang mereka untuk tidak terlalu membuat kegaduhan atau merusak lingkungan. Pasalanya kita hidup di dunia tidak tinggal sendiri, kita terlahir saja sudah ada saudara yang menemani, yaitu sedulur papat lima panter.

Mereka kan mahluk astral dan kita tidak bisa melihat maupun menyentuhnya. Mereka juga sama seperti kita, dan menampakkan diri atas karunia sang pencipta. Namun, para pengunjung itu sepertinya tidak mengindahkan wejangan yang saya berikan. Mereka tampak terburu-buru untuk segera melakukan tugas lainnya.

Kemudia mereka segera mendirikan tenda pada hari mulai redup mendekati jam delapan belas. Seperti Nona ketahui, waktu surup merupakan waktu magis bagi sebagaian makhluk. Waktu itu sering digunakan oleh para dedemit nakal untuk membuka tirai pembatas, supaya bisa memasuki dunia manusia. Oleh karena itu, orang dulu sering memberi wejangan kepada anak mereka supaya tidak keluar rumah di waktu surup supaya tidak diculik dedemit jahanam."

"Dulu waktu saya masih kecil, Ibu juga sering melarang untuk beraktifitas di waktu surup. Ucap beliau waku surup adalah waktu terbangunnya makhluk halus dari alamnya untuk beraktifitas layaknya manusia." Kataku untuk mengkonfirmasi pernyataan sesepuh.

"Namun naas, mereka itu tidak mengindahkan peringatan saya—"

"Sudahlah, Pak. Toh itu juga kesalahan mereka sendiri yang urakan, serba terburu-buru. Mereka sedang dikuasai oleh ego dan nafsu. Seperti yang Bapak bilang tadi." Pak Dika menyodorkan kue rebus kehadapan sesepuh, yang tampak raut wajahnya merasa bersalah akan kejadian itu.

"Lanjutnya, Pak." Aku segera menyerbu supaya tidak terlalu lama rasa penasaran menyiksa pikiranku.

"Para pengunjung berkemah di depan rumah itu, tepat dibawah pohon asem besar. Mereka asyik mempersiapkan makan malam, beberapa orang lainnya mencari persediaan kayu bakar untuk kebutuhan memasak dan api unggun. Sebagiannya masih menyiapkan peralatan syuting mereka.

Salah satu teman perempuan sedang menyiapkan makan malam. Dia seperti koki handal membolak-balik telur goreng dengan lihainya. Seusai memasak dia membersihkan piring nampan di dekat anak tangga teras depan rumah. Teman-teman lain masih sibuk menyanyi riang setelah makan, hanya dia seorang sibuk mencuci piring.

Perempuan ini lebih tepatnya bukan bagian tim produksi. Keberadaannya disana sekadar sebagai pelengkap sekaligus tenaga pembantu. Sangat tampak terlihat dia sangat kualahan mempersiapkan segalanya seorang diri, orang lain hanya bisa menyuruh dan tanpa membantu sedikit pun.

Nina adalah nama perempuan yang membantu tim kreatif itu. Dia sengaja memilih pekerjaan ini dikarenakan ekonomi keluarganya sedang diujung tanduk dan hanya dia seorang yang menjadi tulang punggung. Suaminya telah pergi tanpa kembali semenjak kegugurannya dua tahun lalu.

Sekarang dia bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri sebatang kara di kota penuh kebohongan dan sandiwara ini, seperti kata Nona. Lalu selagi Nina masih mencuci piring ditambah pikiran lelah yang membebani pikiran membuatnya tidak nyaman menjalankan setiap pekerjaan.

Sampai tiba-tiba punggungnya merasakan adanya tangan yang merangkul. Nina terkejut dan berbalik badan. Ternyata itu adalah salah satu anggota tim kreatif, pria bertubuh besar dan tangannya panjang mendekap Nina dalam sekali pelukan.

Nina tidak bisa berteriak karena mulutnya telah disumpali telapak tangan pria itu. Meskipun tubuhnya kecil, Nina tetap memberontak dalam dekapannya, terus memberontak. Semua tenaga dia kerahkan untuk bisa terlepas dari pria itu. Namun setiap upayanya tidak membuahkan hasil.

Anggota tim lain tidak menyadari tragedi itu, mereka sedang berpesta menyetel musik dengan kencangnya membuat kelelawar di dalam rumah berterbanggan keluar. Nina telah lemas tidak berdaya. Kemudian Pria itu membawanya ke ruang tamu di dalam rumah, tidak ada yang tahu bagaimana dia mendapatkan kunci rumah sehingga bisa memasukinya.

Tubuh Nina digletakkan di lantai tepat ruang tamu. Dia sudah tidak ada tenaga lagi karena seharian sudah banyak bekerja keras, berbagai pekerjaan telah menguras seluruh tenaganya, ditambah wilayah desa ini adalah dataran tinggi. Semakin malam hawanya akan sangat dingin dan udara terasa menipis. Baju Nina dilucuti oleh pria mesum itu dan terjadilah."

Sesepuh kembali menghela napas panjangnya. Beliau juga menyalakan cerutu yang telah mendingin. Aku dan Pak Dika hanya bisa terdiam mendengarkan.

"Darimana cerita itu sampai Bapak mengetahui detailnya?" tanya Pak Dika yang tampak penasaran.

"Sebenarnya, saya tidak mengetahuinya secara langsung."

"Terus bagaimana Bapak tahu kejadian itu?" aku ikut bertanya.

"Kejadian itu saya ketahui setelah mendapatkan bisikan. Entah siapa yang membisikannya. Suaranya seperti wanita tetapi juga pria. Saya tidak bisa membedakan. Suara itu mengema dipikiran saya, menampilkan seperti gambaran kejadian yang sedang terjadi di rumah kosong itu.

Saya seperti mati rasa tidak bisa berbuat apa pun, hanya bisa melihat perempuan yang dalam keadaan tragis diperkosa oleh pria jahanam. Gambaran itu tampak begitu nyata. Saya melihat semua kejadian, orang-orang di luar rumah sedang berpesta minum minuman haram. Mereka juga membuat onar dengan membuang sampah sembarangan, menebang kayu masih muda untuk penyangga terpal.

Setelah pria durjana itu memuaskan nafsunya kepada Nina. Dia hendak membunuhnya juga. Namun, Nina masih memiliki sedikit tenaga meski dia bangkit dengan lemas. Nina mendorong peria itu ke tembok ruang tamu dengan keras []