Perjumpaanku dengan sesepuh desa X sangat mengembirakan hati. Perjumpaan ini pasti sangat disetuji oleh semesta sehingga kami bisa bertemu. Aku sudah terlalu lelah bergulat dengan berbagai informasi yang berebut di pikiran. Sehingga ingin segera mencari belang merahnya. Sesepuh seperti mengeti apa yang sedang kukeluhkan, pandangannya santai namun penuh perhatian.
Ibu warung mendatangi meja kami, dia tidak seperti saat pesananku siap yang melintangkan tangan dari meja kasir, namun kali ini dia datang membawakan pesanan sesepuh. Mungkin ini merupakan sikap andap asor bagi seseorang yang dihormati, wajar saja karena di desa adat dan norma masih sangat kental dipegang, sangat berbeda dengan di kota.
"Salam kenal, Mbah." Ucapku penuh ramah menyambutnya.
"Jangan pakai mbah. Saya belum setua itu, usia saya jutuh puluh lima tahun dan masih segar bugar. Panggil saja Pak, seperti warga sini memanggil." Jawabnya santun. Aku terkejut mengetahui usianya tetati masih terlihat sangat bugar. Dan Pak Dika tetap senyum-senyum, aku tidak bisa menterjemahakan arti senyumannya.
Setelah pesana datang, sesepuh mengajak bicara Pak Dika membahas tentang lahan yang digarap. Mereka merencanakan ingin menanam buah musim karena memang dataran desa tinggi dan sejuk, hal itu sangat memadai untuk media tanam.
Padahal pemilik lahan ada didepan mereka, namun aku tahan supaya tidak mencurigakan, biarkan lah mereka mengarap lahan itu sebagai penghasilan tambahan untuk desa.
Desa X sudah banyak warganya menganggur karena pariwisata air terjun sepi pengunjung. Ditambah pejabat setempat sangat tidak membantu pengembangan perekonomian desa, mereka hanya melempar janji dalam setiap solusi yang masyarakat ajukan. Bahkan dalam perbaikan jalan sudah sejak awal terpilihnya tidak kunjung diperbaiki, semua janji saat pidato pemilihan hanya seucap sekacap tanpa hasil.
Bahkan dalam kasus hilangnya beberapa orang yang berkemah di depan rumah kosong, pejabat setempat tidak ingin menindak lanjut. Tidak ada juga aparat kepolisian menelusuri hilangnya mereka. Semua pejabat sepakat untuk menutup kasus dan berspekulasi bahwa mereka telah pulang ke rumah dan meninggalkan semua peralatannya.
Aku masih menikmati wedang uwuh yang tinggal setengah gelas. Suhunya sudah mulai mendingin tetapi rasa hangat setiap sruputannya masih terasa. Bulan tampak mulai mencapai kejayaanya di atas kepala kami, awan mulai bermunculan dibarengi udara sejuk beserta embun menyelimuti desa. Suhu lembab membuat kami tidak gentar dan terus meneruskan aktifitas malam ini.
Pak sesepuh sudah menghabiskan telo godhoknya sebagai tanda berakhirnya juga percakapan mereka tentang pengarapan lahan. Beliau memandangku sejenak, aku sedikit mulai merasa risih. Karena semua badanku terasa lemas tetapi aku masih penasaran pada lengkap cerita pencarian orang hilang di rumah kosong yang sangat tampak dari raut wajah. Aku memberanikan diri.
"Maaf. Sebelumnya. Seperti kata Pak Dika, saya dan Amel sedang mengamati rumah kosong tersebut untuk bahan berita." Mereka berdua memandangiku.
"Hari ini saya sudah mendengarnya dari Pak Dika bahwa ada orang hilang di rumah kosong, tapi ada juga yang bilang kalau mereka pulang dan meninggalkan semua barang. Tidak. Maksudku, tidak mungkin mereka pergi begitu saja meninggalkan barang seba mahal, kan?" aku sedikit menahan diri supaya tidak terlalu cerewet, ini sudah malam dan kami pasti semua sudah lelah jadi cukup bertanya poin pentingnya saja.
Pak Dika menyambar pertanyaanku dengan cepat, "Iya. Pak. Saya sudah mencoba menceritakan kronologi kejadian itu. Tapi alangkah lebih baiknya Bapak saja yang menceritakannya. Saya sangat awam mengenai hal ini, dan takut."
"Oooaalah. Kenapa harus ada ketakutan di dalam dirimu selain takut pada kuasa-Nya. Kita kan mahluk penuh karunia dan ditugaskan menjadi khalifah di dunia. Derajat kita lebih tinggi, kita lebih cerdas, lebih beretika daripada mahluk lainnya." Ucap sesepuh kemudian menyeruput kopi.
"Ketakukan di dalam diri sampean sebenarnya salah. Ketakutan itu muncul karena sudah bercampur dengan berbagai kejadian di dunia. Ketakukan yang terlahir dari setiap tindakan manusia akan nalurinya untuk hidup. Sampean takut akan kehilangan pekerjaan, takut pada hari esok tidak bisa makan, takut akan kesendirian di gelapnya malam.." sesepuh menghirup napas panjang, tampaknya orangtua ini sudah lelah sehabis mengimami hajattan tadi sore.
"Sampean jangan takut pada sesuatu yang sudah menjadi kodratnya. Seperti binatang, mereka menyandarkan hidupnya kepada sang pemilik hidup, pergi pagi sore pulang dalam keadaan kenyang. Berbeda dengan manusia, karena memiliki akal mereka lebih banyak berpikir daripada bertindak dan melupakan apa yang sudah digariskan."
"Tetapi, Pak. Saya tetap saja takut pada makhluk gaib, saya pernah sekali seumur hidup bertemu dengan mereka. Tampangnya tidak mengenakkan, baunya busuk, tutur katanya kasar." Balas Pak Dika.
Sesepuh terdiam sejenak. Beliau mencoba mengerti letak ketakutannya Pak Dika. Menurutku manusia bisa merasakan takut karena mereka sudah terlepas keyakinannya pada sang pencipta. Mereka tidak bisa menerima takdir yang sudah seharusnya dijalankan, mereka lebih memilih untuk membelot sehingga hatinya kosong.
Sebagian msyarakat desa X sudah tampak memprihatinkan, anak-anak remaja mereka memilih merantau bertahun-tahun tanpa pernah menghubungi orangtuanya. Sedangkan remaja yang memilih menetap, mereka dideru kekhawatiran akan masa depan yang belum pasti. Pejabat setempat yang acuh menambah kekacauan ini. Semua ini karena hati yang kosong.
"Sampean takut. Harusnya mereka yang lebih takut kepada kita, Pak Dika." Sesepuh menepuk pundak Pak Dika untuk menghiburnya. "Makhluk gaib memang ada, seperti kita meyakini sang pencipta. Dia gaib tak terlihat dan tak bisa kita sentuh. Tetapi Dia lebih dekat daripada urat nadi."
"Lantas bagaimana kita bisa meyakini benar adanya sang pencipta bisa menolong dan memperhatikan kita, padahal Dia gaib tidak bisa disentuh dan dilihat? Aku mau tanya, apa yang sampean rasakan ketika mengarap lahan di belakang rumah kosong itu?"
"Sebenarnya saya takut mengarap lahan disana, Pak. Tetapi karena saya memerlukan penghasilan dari lahan itu untuk memenuhi kebutuhan dapur. Saya memaksakan diri mengarapnya." Pak Dika tampak berkeringat dingin setiap kami membahas rumah itu. Padahal aku sendiri merasa nyaman berada disana, apa yang membuat warga ini ketakutan.
"Seperti itulah sang pencipta menjaga sampean. Sang pencipta mudah membolak-balikkan hati mahluknya dan mencegah keburukan menimpanya. Asal perbuatanya untuk kebaikan. Sampean mengarap lahan tujuannya kan untuk menyambung hidup keluarga dan anak. Itu sudah ibadah, Pak Dika. Dalam pengarapan lahan, seminggu ini tidak terjadi hal menakutkan seperti bayangannya sampean. Semua sudah diatur dan kita setiap detak jantung diamati oleh Dia Yang Agung.
"Tetapi, saya tetap saja takut melihat atau melewati rumah angker itu." Pak Dika memesan kembali kopinya. Pesanan kedua ini menandakan dia ingin sekali menuntaskan ketakukannya dengan bercerita kepada sesepuh.
Aku akan merelakan kesempatanku sebentar untuk membantunya konsultasi. Aku sendiri sudah banget penasaran kenapa rumah lamaku yang dipandang angker itu. Demi membalas budi karena sudah diberikan penginapan gratis, aku menemani obrolan mereka malam ini.
Tiba-tiba pikiranku teringat kepada Amel yang masih terbaring lemas di rumahnya. Tunggu aku sebentar lagi, aku masih dalam misi membantumu.