Suasana di sebuah desa sangat asri. Hamparan sawah membentang sepanjang mata memanda. Di sisi barat, tampak pemangandanan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Dua gunung itu tampak gandeng, menjadi satu, padahal kedua gunung itu dipisahkan jarak yang jauh. Di sebuah sawah, para petani berkeja giat. Ada yang sedang mencangkul, membersihkan gula di sela-sela tanaman padi, mengusiri burung pipit yang memakan bulir padi, dan lainnya. Lalu, siapa yang sedang bekerja di sebuah petak sawah itu? Oh, itu Pak Hurr yang sedang mengolah sawahnya. Sebelum memiliki sawah sendiri Pak Hurr hanya buruh tani. Dia bekerja di sawah orang lain dan mendapat upah. Dengan berhemat upahnya dapat disisihkan dan ditabung. Setelah tabungannya cukup banyak lalu dipakainya untuk menyewa beberapa petak sawah. Sebagai petani yang rajin maka tanamannya tumbuh dengan subur sehingga panennya bagus. Hasil panen itu sebagian ditabung sehingga Pak Hurr dapat membeli sawah.Istri Pak Hurr bernama Bu Rutt.
Mereka memiliki dua anak. Anak perempuannya bernama Nyes dan anak laki-lakinya bernama Ran. Nyes dan Ran masih duduk di sekolah dasar. Nyes kelas enam dan Ran kelas satu. Mereka hidup sederhana. Meskipun hidup dalam kesederhanaan tetapi mereka hidup bahagia. Nyes anak yang lincah dan periang sehingga disukai teman-temannya, demikian juga Ran. Nyes dan Oran juga anak-anak yang rajin. Bukan saja rajin belajar tetapi juga rajin membantu orangtua. Misalnya mengusir burung pipit yang memakan padi, ikut menanam kacang, jagung, atau kedelai. Jika saat panen mereka lebih sibuk lagi.
Tetapi akhir-akhir ini Nyes tampak murung. Kelincahan dan keceriaannya hilang. Pak Hurr dan Bu Rutt bingung melihat perubahan sikap anak perempuannya. Apakah Nyes sakit? Tidak, dia sehat-sehat saja. Tetapi setiap ditanya orangtuanya mengapa menjadi murung Nyes tidak pernah mau mengaku.
Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Dia ingin sekali memiliki handphone seperti teman-temannya. Di kelas hanya Nyes yang tidak punya handphone. Ria, teman sekelasnya yang anak juragan ayam, selalu berganti-ganti handphone baru. Selama ini jika teman-temannya sedang bermain game atau ber-SMS-an Nyes hanya dapat melihat saja.
Ayahnya mempunyai handphone tetapi model lama. Itu saja dulu bukan membeli baru. "Kalau handphone itu kubawa ke sekolah pasti ditertawakan teman-teman," pikir Nyes. "Aku ingin memiliki handphone baru, tapi aku tidak berani mengatakannya kepada Ayah atau Ibu," kata Nyes di dalam hati. Dia sudah tahu jawabannya seandainya dia memintanya. Selain itu, apakah dirinya tega melihat orangtuanya bersedih gara-gara permintaannya itu. Bagi orang lain, terutama yang perekonomiannya bagus, mungkin mengeluarkan beberapa ratus ribu tidak masalah. Tetapi jumlah uang seperti itu bagi orangtuanya sangat besar artinya. Uang itu lebih baik dipakai untuk membeli benih padi, benih jagung, atau untuk keperluan bercocok tanam lainnya.
Di sekolah Ria memanggilnya. Diperlihatkannya handphone terbarunya. "Kamu juga boleh kalau sewaktu-waktu meminjam handphone kepadaku," kata Ria, tidak bermaksud pamer.
"Terima kasih," kata Nyes sambil menyembunyikan perasaannya. Dia tidak ingin Ria tahu kalau dirinya sangat iri dengan keberuntungannya. "Mengapa aku tidak menjadi anak orang kaya. Enak sekali seandainya diriku itu adalah Ria," pikir Nyes. Jika dilahirkan oleh orangtua yang berada maka banyak keinginannya yang terkabul. Nyes punya rencana. Jika panen berikutnya tiba dia akan merengek kepada orangtuanya agar dibelikan handphone. Untuk itu dia lebih giat membantu orangtuanya.
Ketika panen tiba Nyes membantu menuai padi. Ketika sedang asyik menuai padi itu dilihatnya seorang perempuan tua yang sedang mencari sisa-sisa padi. Nyes tidak mengenalnya. Perempuan tua itu bukan warga desanya. Jika ada padi yang tertinggal maka diambil dan dimasukkan ke dalam bakul yang digendongnya. Tentu saja padai yang didapatnya sangat sedikit. Melihat itu Nyes menjadi iba. Dia sengaja melewatkan padi yang dituainya agar diambil oleh si nenek. Nyes diam-diam mengamati perempuan tua itu. Tetapi dia menjadi heran karena padi yang sengaja ditinggalkan tidak diambil. Perempuan tua itu mengabaikannya dan tetap mencari sisa-sisa padi yang betul-betul terlewatkan, bukan yang sengaja dilewatkan. Perempuan tua itu beristirahat dengan duduk di pematang sawah. Nyes menghampirinya. Nyes mengajaknya bercakap-cakap. Perempuan tua itu sangat ramah.
"Mengapa Nenek tidak mengambil padi-padi itu?" tanya Nyes, sambil menunjuk padi yang sengaja dilewatkan.
Perempuan tua itu tertawa dan berkata, "Kamu tidak perlu mengasihani Nenek." Nyes tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. "Nenek tahu kamu sengaja melewatkannya. Apakah kamu sudah minta izin kepada ayahmu untuk itu? Meskipun kamu sudah minta izin Nenek tidak akan mengambilnya. Bagi Nenek, tua itu bukan berarti harus dikasihani. Kalau Nenek jatuh boleh kamu tolong. Tetapi setelah itu janganlah Nenek terus dituntun-tuntun." Nyes menjadi malu.
"Apakah Nenek tidak mempunyai keluarga?" tanya Nyes. Dia berpikir mengapa setua itu si nenek masih harus mencari nafkah.
Perempuan tua itu bercerita kalau suaminya sudah lama berpulang ke rahmattullah. "Nenek mempunyai beberapa anak dan cucu. Ada di antara mereka yang tinggal bersama Nenek," jawab perempuan tua itu. "Tapi Nenek tidak ingin membebani mereka. Hidup mereka juga sulit. Sepanjang Nenek masih sehat biarlah Nenek mencari nafkah sendiri. Dengan begitu Nenek juga menjadi lebih sehat. Meskipun hidup ini sulit tetapi Nenek sangat bersyukur dan menganggapnya sebagai anugerah terindah."
Perempuan tua itu meneruskan kata-katanya, "Kita seharusnya bersyukur karena telah dilahirkan di dunia dengan sehat. Anggota tubuh kita lengkap. Dengan mata kita dapat melihat keindahan alam semesta. Melihat matahari yang bersinar. Menatap keteduhan sinar bulan. Melihat kerlip bintang. Dengan telinga kita dapat mendengar aneka ragam suara. Kicau burung, musik, dan lain-lainnya. Belum lagi dengan lidah, kita dapat mencicipi aneka macam rasa. Belum lagi kenikmatan-kenikmatan yang lain. Apakah semua itu tidak pantas disyukuri? Tapi ingatlah baik-baik, tidak semua keinginan kita dikabulkan-Nya."
Nyes mendengarkan kata-kata perempuan tua itu dengan penuh perhatian. Apa yang dikatakan oleh nenek itu masuk di dalam relung hatinya yang paling dalam. Rupanya, Tuhan telah mengirim seseorang untuk membukakan hatinya.
"Terima kasih atas petuah-petuahnya, Nek," kata Nyes. Setelah istirahatnya dirasa cukup perempuan tua itu bangkit dan melanjutkan mencari sisa-sisa padi. Nyes meneruskan menuai padi. Hati Nyes menjadi sangat lapang. Dunianya menjadi berseri-seri. Kini, Nyes menuai padi dengan bersenandung. Hatinya menjadi sangat lega.
Dia memutuskan tidak akan meminta dibelikan handphone kepada orangtuanya. Toh, baginya handphone bukan sesuatu yang sangat penting. Kalau dia memilikinya mungkin lebih banyak untuk bermain game atau untuk menelepon dan ber-SMS-an dengan teman-temannya tentang sesuatu yang sepele. Padahal semua itu memerlukan uang untuk membeli pulsa. Nyes senang bertemu dengan perempuan tua perkasa itu. Pak Hurr dan Bu Rutt bahagia ketika mengetahui Nyes sudah kembali lincah dan ceria. (*)