Hari ini hari kedua bulan Ramadhan. Kemarin Ruri sudah dapat menunaikan puasa sehari penuh. Hari ini Ruri akan melakukan buka puasa di restoran terkenal di kotanya. Ayahnya sudah berjanji jika Ruri dapat melakukannya sehari penuh maka akan diajak berbuka di restoran langganan keluarganya. Sampai kelas lima Ruri hanya berpuasa setengah hari. Jika sudah adzan Lohor dia berbuka. Ada-ada saja alasannya untuk membatalkan puasanya. Kini dia sudah kelas enam dan berjanji akan berpuasa dengan benar.
"Aduh hausnya," kata Ruri ketika jam menunjukkan pukul dua siang. "Papa, bolehkah aku nanti pesan dua gelas es cendol?" Papanya mengangguk sambil tertawa. Ruri membayangkan akan menyeruput cendol itu pelan-pelan. Air cendol yang dingin akan membasahi bibirnya. Setelah itu ujung lidahnya akan mencecap rasa manis gula jawa. Cendol yang dingin akan memenuhi mulutnya. Setelah itu cendol akan menerobos tenggorokannya yang seharian menahan haus. Ruri beberapa kali menelan ludah. Enak sekali.
"Aduh aku sangat lapar," kata Ruri. "Mama, bolehkh aku nanti memesan tiga burger? Aku akan memakannya sekaligus."
"Boleh," jawab mamanya sambil tertawa. Ruri memejamkan matanya. Dibayangkannya tiga burger sudah ada di hadapannya. Mula-mula dia akan mengambil satu. Mencomot irisan tomat berlumuran mayones. Dia akan mendongak dan membuka mulutnya lebar-lebar. Tangannya akan menggantung tomat itu di atas mulutnya. Mayones yang menetes ke mulut pasti sangat menggiurkan. Setelah itu dia akan menelan irisan tomat itu. Dia akan melakukan hal yang sama pada daun seladanya. Daging sapi panggang dan rotinya akan dimakan belakangan. Ruri sampai berkali-kali menelan ludah.
"Waktu, ayo cepat berlalu. Aku sudah tidak sabar menunggu beduk berbuka puasa," kata Ruri dalam hati.
Untuk menunggu waktu berbuka puasa Ruri membaca buku cerita karya Hans Christian Andersen. Sebetulnya itu bukan buku baru. Dia sudah berkali-kali membacanya. Dia sangat terkesan dengan cerita gadis penjaja korek api yang mati karena kedinginan dan kelaparan di samping restoran. Ruri tertidur di sofa mewah. Dia anak tunggal pengusaha sukses. Semua permintaannya selalu dapat dipenuhi. Kebetulan tahun ini ulang tahunnya jatuh pada bulan puasa. Dia sudah merengek agar ulang tahunnya dirayakan di hotel bintang lima dengan mengundang teman-teman sekolahnya yang juga anak-anak orang kaya. Ketika terbangun jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Ruri terburu-buru mandi. Setelah rapi diajaklah orangtuanya ke restoran langganan. Papanya sudah memesan tempat di bagian pinggir sehingga mereka dapat melihat keluar dari kaca riben restoran.
"Es cendol tiga gelas dan burger tiga, Pa," kata Ruri. Dia sudah tidak bisa menahan haus di kerongkongannya. Lidahnya terasa sangat kering. Ia baru menyadari betapa sangat berharganya air walau hanya setetes. Jari-jari Ruri mengetuk-ngetuk meja. Hm, perutnya sudah sangat lapar. Berkali-kali perutnya berbunyi, keroncongan. Ia malu ketika ibunya tersenyum ketika suara perutnya cukup terdengar cukup kencang.
Papanya berkata, "Satu-satu dulu nanti kamu dapat menambah semaumu." Beduk belum berbunyi. Hanya tinggal hitungan menit. Meskipun begitu Ruri sangat gelisah. Sebentar-sebentar dia melongok ke arloji ayahnya atau melihat televisi restoran. Dia berharap adzan Maghrib segera berkumandang. Duk! Duk! Duk! Suara beduk pun terdengar. Waktu berbuka puasa telah tiba. Ruri langsung melaksanakan rencananya. Cendol kesukaannya disruput pelan-pelan dan merasakan sensasinya. "Lega, rasa hausku telah hilang," kata Ruri.
"Mau tambah cendol?" tanya mamanya. Ruri menggeleng dan tersenyum malu. Dia makan burgernya. Itu dilakukan sesuai dengan angan-angannya tadi siang.
Papanya bertanya, "Mau tambah burger?" Ruri menggeleng dan tersenyum malu. "Pada saat seusiamu dan puasa pertama kali Papa juga sepertimu. Saat kehausan rasanya ingin meminum air satu sumur. Saat lapar ingin memakan sebakul nasi dengan ayam panggang utuh. Tapi ketika berbuka puasa tiba Papa tidak dapat melakukannya. Perut kita sudah mempunyai jatahnya tersendiri. Tidak dapat dipaksa-paksa untuk diisi lebih banyak."
Ruri melihat seorang anak laki-laki kucel menenteng karung menyentuhkan mukanya di kaca restoran dan mengintip ke dalam. Tampaknya satpam restoran sedang sibuk sehingga tidak melihat anak itu mendekati restoran. Mata anak itu bertatapan dengan mata Ruri. Anak itu tersenyum dengan keluguannya. Ruri membalas senyumnya. Anak itu masih melihat ke dalam restoran dan melihat orang yang sedang asyik makan dengan bersendau gurau. Baginya untuk dapat masuk dan makan di restoran itu hanya angan-angan. Banyak pengunjung restoran yang membuang muka ketika melihat anak itu. Malahan ada yang memanggil pelayan dan menyuruh anak itu diusir. Tidak lama kemudian ada satpam yang mendorong anak laki-laki itu untuk pergi.
Hati Ruri sangat sedih melihatnya. "Ruri ke toilet dulu, Ma." Ruri pergi ke toilet dan menghapus air matanya yang tumpah. Lalu dia mencuci muka untuk menutupi matanya yang merah. "Bolehkah Ruri memesan untuk dibungkus?" tanya Ruri. Papa dan mamanya mengizinkan. Dia memesan burger dan cendol untuk dibawa pulang sehingga di bungkus. Setelah pesanan itu datang Ruri keluar restoran dan mencari anak laki-laki itu. Anak itu sedang mengais tempat sampah mencari botol bekas atau kertas. Burger dan cendol itu diberikan kepadanya. Anak itu terkejut. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih. Apakah pemberian itu langsung dimakannya. Tidak, dia mencari teman-temannya sesama pemulung cilik. Setelah itu, di pinggir jalan, mereka makan bersama dengan gembira.
Setelah selesai anak laki-laki itu kembali mendekati Ruri yang masih berdiri di tempat. "Aku dan teman-teman mengucapkan terima kasih. Baru kali ini kami berbuka puasa dengan makanan enak," kata anak itu. "Kami tidak tahu kapan lagi mendapat rejeki besar seperti malam ini."
"Tapi mengapa kamu makan bersama-sama? Bukankah dengan begitu bagianmu hanya sedikit?" tanya Ruri.
Anak itu tersenyum dan menjawab kalau selama ini sudah terbiasa berbagi dengan teman-temannya. "Mereka juga belum pernah makan seperti itu. Biar kami sama-sama dapat merasakannya." Ruri tercekat mendengar jawaban itu. Dia sampai tidak tahu kalau anak laki-laki itu sudah berlalu meninggalkannya. Ternyata dalam kemiskinannya mereka masih dapat berbagi. Itu pelajaran besar baginya. Sambil mengusap air matanya Ruri berbalik dan berlari-lari kecil masuk restoran. Papa dan mamanya pura-pura tidak mengetahui apa yang telah dilakukannya.
Dia kesulitan menahan air matanya agar tidak jatuh. Tapi air bening itu jatuh juga di pipinya. "Dengan berpuasa kita jadi tahu bagaimana rasanya kelaparan. Kita jadi tahu penderitaan orang-orang yang kurang beruntung. Untuk makan sehari-hari saja mereka kesulitan." ujar mamanya.
"Belum tentu besok mereka dapat makan," sambung papanya. Ruri lalu meminta agar pesta ulang tahun di hotel dibatalkan. Dia meminta agar ulang tahunnya dirayakan bersama anak-anak yatim piatu dan anak jalanan. Sejak saat itu juga papa dan mamanya menjadi orangtua asuh untuk anak-anak yang kurang beruntung. Puasa membuat Ruri sangat bahagia. (*)