tidak begitu diperhatikan. Hanya dijawab sambil lalu saja. Berkali-kali dia menggaruk kepala yang tidak gatal. Begitu suntuknya sehingga seekor kucing yang sedang duduk di pinggir jalan sengaja disenggolnya dengan kaki sehingga kecemplung got. Sesampainya di rumah dia membanting tas. Wajahnya ditekuk dan cemberut. Lalu dia duduk diam seperti patung. Sebelum kelas empat dia tidak pernah berlaku seperti itu. Dia anak yang manis. Namun beberapa bulan setelah duduk di kelas empat sikapnya berubah. Itu terjadi setelah ada murid baru pindahan dari Jakarta yang bernama Salsa.
Mamanya hanya tersenyum. Sudah hafal dengan sikapnya yang akhir-akhir ini suka uring-uringan terutama jika ada ulangan. Sebelum ada Salsa dirinya selalu memperoleh nilai paling tinggi di kelas. "Apakah ada hasil ulangan yang dibagikan?" tanya mamanya dengan lembut. Ool diam dan tambah cemberut. Mamanya tahu nilai Salsa pasti lebih tinggi sehingga anaknya itu marah-marah.
"Mungkin nanti Ool tidak menjadi juara kelas lagi, Ma," katanya dengan sedih.
"Jangan putus asa," hibur mamanya.
"Salsa sangat pandai."
"Seharusnya kamu malah senang karena ada persaingan sehingga kamu tambah bersemangat."
"Mama tidak malu kalau Ool tidak jadi juara kelas?"
Mamanya tersenyum. "Ini bukan masalah malu dan tidak malu. Kalau kamu sudah berjuang dengan keras dan ternyata tidak menjadi juara tidak apa-apa. Mama tetap bangga denganmu."
"Tetap bangga walaupun Ool tidak menjadi juara?" Mamanya mengangguk. "Tidak. Aku ingin menjadi yang nomor satu. Salsa tidak boleh mengalahkanku!" teriak Ool. Mamanya terkejut. Mamanya menunggu sampai Ool menjadi tenang. Setelah emosi Ool tampak reda mamanya mengajaknya makan. Mereka makan berdua. Papanya belum pulang dan adiknya sedang tidur siang.
"Tadi ulangan apa?" tanya mamanya dengan lembut.
Ool menjawab, "Matematika. Salsa mendapat nilai sepuluh. Ool salah hitung di nomor empat sehingga mendapat nilai sembilan setengah. Sisa angka puluhan belum Ool tambahkan di angka belakangnya."
"Itu nilai yang sangat bagus," ujar mamanya. "Mama punya cerita untukmu. Cerita zaman Mama masih sekolah. Apakah kamu ingin mendengarkannya?" Ool menatap mata mamanya dan mengangguk. "Mama ketika di SMA memiliki teman yang sangat pandai. Namanya Uut. Bukan saja dalam pelajaran matematika, fisika, kimia, dan bahasa inggris, termasuk pelajaran musik dan seni rupa. Segala kepandaian itu dimiliki Uut. Semua guru dan teman mengaguminya. Otaknya betul-betul encer. Siapa yang mendapat nilai matematika terbaik? Uut. Siapa peraih nilai sembilan untuk fisika? Uut. Siapa yang mendapat nilai terbaik bahasa inggris? Jawabnya juga Uut. Uut tidak menginginkan ada siswa lain yang mendapat nilai melebihi dirinya. Jika ada yang mendapat nilai lebih tinggi walaupun selisihnya sangat kecil dia menjadi stres. Padahal di kelas Mama juga ada siswa lain yang pandai, yakni Tro dan Mimi. Uut menganggap Tro dan Mimi sebagai saingan utama. Padahal nilai Tro dan Mimi selalu di bawah Uut.
Setiap ulangan Uut selalu berusaha untuk mengetahui nilai Mimi dan Tro. "Tro, kamu mendapat nilai berapa?" "Mimi, kamu mendapat nilai berapa?" tanya Uut sangat penasaran. Raut mukanya tegang. Jika tahu nilai yang diperoeh Tro dan Mimi berada di bawahnya Uut menjadi lega. Dia menjadi ceria lagi.
Tro sudah cukup lama mengenal Uut karena mereka berasal dari SMP yang sama. Jahilnya Tro kambuh. Dia mendekati Mimi. "Kalau Uut bertanya nilaimu kamu diam saja. Biar aku yang menjawabnya. Jangan tunjukkan hasil ulanganmu," kata Tro. Sejak itu kalau hasil ulangan dibagikan dan Uut bertanya kepada Mimi maka Mimi hanya tersenyum-senyum saja.
"Mimi, kamu mendapat nilai berapa?" tanya Uut ketika hasil ulangan fisika dibagikan. Mimi diam saja. Tro mendekati Uut dan mengatakan kalau Mimi mendapat nilai sembilan. Tapi sebelumnya Tro sudah mencari tahu Uut mendapat nilai berapa. Jika Uut mendapat nilai sembilan maka Tro mengatakan kalau Mimi mendapat nilai sembilan setengah. Padahal sebenarnya Mimi hanya mendapat nilai delapan. Jika Uut mendapat nilai sepuluh Tro mengatakan Mimi juga mendapat nilai sepuluh meskipun Mimi sebenarnya hanya mendapat nilai tujuh. Tro memang sangat usil. Mengetahui nilainya kalah oleh Mimi, Uut menjadi kusut dan wajahnya menjadi merah. Dia tidak ingin ada temannya yang mendapat nilai lebih bagus. Uut lalu belajar lebih giat lagi.
Setelah naik ke kelas dua, Mama berpisah kelas dengan Uut. Mama masuk jurusan sosial sedangkan Uut masuk jurusan IPA. Meskipun demikian Mama masih memantau Uut. Tro juga memilih jurusan IPA walau berbeda kelas dengan Uut. Di kelas dua Uut juga selalu mendapat nilai terbaik. Tapi sifatnya tidak pernah berubah. Tidak pernah ingin kalah. Dia selalu menanyakan nilai saingannya dengan tegang. Jika nilainya kalah bagus dia menjadi sangat murung. Padahal di jurusan IPA persaingannya sangat ketat karena pada umumnya siswa-siswa pandai memilih jurusan itu. Toh, Uut menjadi juara kelas lagi. Kami naik ke kelas tiga. Tapi Mama mendapat berita kalau Uut mulai sakit-sakitan sehingga sering tidak masuk sekolah. Ternyata selama ini dia terlalu memaksakan diri dan tidak mempedulikan kesehatan. Akhirnya dia tidak dapat mengikuti ujian kelulusan. Sebetulnya dia diterima di ITB tanpa tes karena yang dipakai penilaian adalah nilai rapot kelas satu dan dua. Tentu saja Uut tidak dapat kuliah karena tidak punya ijazah SMA. Dia mengulang di kelas tiga lagi. Di kemudian hari, Mama mendapatkan informasi kalau sekolah Uut berhenti di tengah jalan. Kasihan sekali Uut." Mamanya mengakhiri cerita.
Ool mengambil napas dalam-dalam. "Lalu apa yang harus kulakukan, Ma?" tanya Ool. "Apakah Ool tidak boleh berjuang untuk menjadi juara?"
"Tentu saja kita harus berjuang untuk menjadi yang terbaik. Tapi kita harus lapang dada jika ada orang lain yang ternyata lebih bagus daripada kita. Setinggi-tingginya langit masih ada langit," kata mamanya.
Ool belum dapat mencerna kata-kata mamanya. "Intinya kita tidak boleh iri. Bukankah sikap marah-marahmu selama ini tidak tepat? Bukankah itu kamu lakukan karena iri?" Ool menyimak dengan serius kata-kata mamanya. Semua yang dikatakan mamanya benar. Selama ini dia heran dengan teman-temannya yang lain. Mengapa mereka tetap bergembira meskipun nilainya hanya enam atau tujuh. "Itu karena mereka dapat mengukur baju sendiri."
"Apa maksudnya, Ma?"
Mamanya menjawab, "Maksudnya, mereka sudah tahu kemampuannya sehingga tidak memaksakan diri untuk mengalahkanmu atau Salsa."
Sejak itu Ool tidak pernah marah-marah lagi jika nilainya kalah dengan Salsa. Ool dan Salsa bersaing dengan sehat dan berusaha menjadi yang terbaik. Jika Salsa mendapat nilai melebihi dirinya dia memujinya dengan tulus, "Kamu hebat, Salsa!" Demikian juga jika dirinya mendapat nilai lebih tinggi, Salsa juga memujinya. Kini hati Ool menjadi ringan. "Terima kasih, Mama!" Ya, dari kisah si Uut maka Ool bisa memetik pelajaran yang sangat berharga. (*)