Chereads / PELANGI untuk ANAKKU / Chapter 4 - Sepiring Nasi Untuk Nek Mo

Chapter 4 - Sepiring Nasi Untuk Nek Mo

Minggu pagi Loni diajak mamanya ke pasar. Biasanya dia tidak mau diajak. Katanya malas pergi ke pasar tradisional. Ketika tinggal di ibukota dia beberapa kali pergi ke pasar tradisional dan kapok karena kumuh dan becek. Apalagi kalau sedang musim hujan. Ketika mendekati pasar ada seorang nenek berjalan ngesot ke arah yang sama. Perempuan tua itu memakai kain dan kebaya yang sangat lusuh. Rambutnya yang putih digelung. Melihat keadaannya yang seperti itu Loni sempat berpikir mengapa nenek itu dibiarkan belanja sendiri? Perkiraannya salah. Perempuan tua itu peminta-minta. Ada yang memberinya uang, kue, kerupuk, dan lainnya. Beberapa kali mata Loni bersitatap dengan mata tua itu. Orang tua itu tersenyum kepadanya. Loni mencoba membalas senyuman itu tetapi terasa berat. Dia hanya dapat mengangguk. Perempuan tua itu ngesot lagi dan menghilang di balik kerumunan.

"Hampir setiap hari nenek itu ada di pasar," kata mamanya ketika tahu Loni terus memperhatikan perempuan tua itu.

Keesokan harinya, di sekolah, Loni menanyakan perihal perempuan tua itu kepada Sri. "Itu Nek Tmo. Kasihan dia. Dia hidup sebatang kara. Suaminya sudah lama meninggal dunia. Tiga tahun lalu anak perempuan satu-satunya juga meninggal dunia," kata Sri. "Nek Mo jatuh dan kakinya menjadi lumpuh. Hidupnya dari meminta-minta. Jika sakit dia tidak dapat mengemis dan makannya dari belas kasihan tetangga. Dulu, sebelum lumpuh, Nek Mo berjualan daun pisang di pasar."

"Di mana rumahnya?" tanya Loni.

Sri menjawab, "Tidak jauh dari pasar. Perempatan pasar ke arah selatan. Kemudian berbelok ke arah barat. Rumahnya berdinding anyaman bambu."

Sepulang sekolah Loni mencari rumahnya. Dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah bolong-bolong besar. Tetangga Nek Mo juga bukan orang-orang berada. Itu dapat dilihat dari rumah-rumahnya yang sederhana. Memberinya makan sehari tiga kali tentu juga dirasa berat. Jarak rumah dan pasar kira-kira 100 meter tapi bagi Nek Mo itu sebuah pekerjaan yang sangat berat. Dia perlu waktu cukup lama untuk sampai ke pasar.

Loni tidak dapat melupakan Nek Mo. Orang seusianya, apalagi lumpuh, seharusnya tidak perlu bersusah payah mencari makan. Tapi bagaimana cara menolongnya? Loni mendapat ide. Paginya, di sekolah, ide itu diutarakan kepada Sri. "Sri, bagaimana kalau kita menyisihkan uang saku untuk Nek Mo?" kata Loni. "Dengan uang itu kita dapat membeli makanan untuknya." Sri setuju dengan idenya. Tetapi kalau hanya berdua maka uangnya tidak akan cukup. Mereka mengajak teman-teman yang lain untuk terlibat. Ada yang setuju dan ada yang tidak. "Mulai besok kita menyisihkan uang jajan," kata Loni. Keesokan harinya Loni dan Sri menyisihkan uang sakunya, demikian juga teman-temannya. Uang itu dikumpulkan dan dihitung bersama-sama. Uang itu kemudian untuk membeli nasi dan lauk di warung dan diantar ke rumah Nek Mo. Mereka melakukannya setiap hari dan yang mengantarkan makanan bergantian.

"Bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih kepada kalian?" kata Nek Mo sambil terisak-isak menangis. Dia terharu dengan ketulusan mereka. Kadang-kadang dari uang itu mereka dapat memberi dua bungkus makanan sehingga Nek Mo dapat makan siang dan sore. Tetapi tidak jarang uang yang terkumpul hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi. Hanya saja kalau hari Minggu atau tanggal merah mereka juga libur membantu Nek Mo. Tapi, bukankah pada hari libur orang tetap butuh makan? Ini menjadi pikiran Loni dan Sri.

"Kurasa setiap hari Nek Mo menunggu-nunggu kita," kata Loni kepada Sri dan Kinj. "Ternyata dengan menyisihkan uang saku tidak cukup untuk membantunya."

Kinj berkata, "Malahan beberapa kali uangnya tidak cukup walau untuk membeli nasi dan tempe."

"Kurasa Nek Mo selalu menunggu-nunggu kita," kata Loni. "Bagaimana kalau kita libur panjang? Apakah kita membiarkan Nek Mo ngesot dan meminta-minta lagi di pasar?"

Sri punya usul, "Bagaimana kalau setiap hari kita menyisihkan sarapan kita dan dibawa ke sekolah? Setiap anak tiga sendok nasi. Tiga sendok kalau dikumpulkan menjadi banyak. Uang yang terkumpul dapat dibelikan lauknya." Ide yang bagus. Loni dan Kinj setuju. Mereka mengutarakan ide itu kepada teman-teman yang lain. Mereka setuju. Setiap hari mereka menyisihkan minimal tiga sendok nasi dan membawanya ke sekolah. Nasi itu dikumpulkan. Nasi itu dibungkus, dibelikan lauk, dan diantar ke rumah Nek Mo. Jika uang yang terkumpul cukup mereka juga membeli nasi untuk Nek Mo.

Sebulan kemudian mereka sepakat membawa bekal nasi dari rumah. Paginya, ketika sampai di sekolah, masing-masing anak menyisihkan sebagian nasi dan lauknya untuk Nek Mo. Wow, Nek Mo pasti senang karena lauknya bermacam-macam walau hanya sepotong-potong! Nasi, lauk, dan sayur ditempatkan terpisah agar tidak tercampur sehingga lebih awet dan dapat di makan sampai sore.

Pada suatu hari Mama Loni curiga. "Mama heran mengapa kamu membawa bekal lebih banyak daripada porsi makanmu. Apakah kamu habis memakannya?"

"Apakah Mama tidak akan marah jika Loni menceritakan sesuatu?"

Mamanya berkata, "Ceritakan apa yang terjadi." Loni kemudian menceritakan apa yang telah dilakukan bersama teman-temannya. Mendengar pejelasan Loni mata mamanya menjadi berkaca-kaca. "Kalian anak-anak yang mulia. Mama tidak pernah berpikir sampai ke situ." Loni dipeluknya.

"Syukurlah Mama tidak marah," kata Loni. "Loni boleh membawa bekal agak lebih ya, Ma?"

Mamanya mengangguk. Mama Loni akan mengajak para ibu di desanya untuk menolong Nek Mo. Ketika ada acara arisan di balai desa Mama Loni mengusulkan untuk menolong Nek Mo. "Jika ditanggung bersama insya Allah semuanya akan menjadi ringan," kata Mama Loni. Usul itu disambut baik. Mereka kemudian berunding. Hasilnya, mereka sepakat setiap keluarga digilir memberi makan Nek Mo. Jika mendapat giliran mereka menyisihkan sepiring nasi, sayur, dan lauk. "Sepiring Nasi Untuk Nek Mo", begitu mereka menyebutnya.

Dalam sehari ada tiga keluarga yang mendapat giliran. Misalnya, keluarga Bu Suar memberi makan pagi, keluarga Bu Nim memberi makan siang, dan keluarga Bu Torr memberi makan sore. Karena jumlah keluarga di desanya lebih dari seratus maka mereka hanya mendapat giliran sebulan sekali. Sebulan satu piring. Bukankah itu tidak memberatkan? Jika semua sudah mendapat giliran maka dimulai lagi dari awal.

Nek Mo tidak pernah lagi ngesot untuk meminta-minta di pasar. Dia merasa mempunyai banyak orang yang menyayanginya. Dia merasa tidak hidup sebatang kara lagi. Bagaimana dengan warga desa? Dengan menolong Nek Mo mereka menjadi lebih bahagia. Sebetulnya, selama ini menaruh iba, tetapi tidak tahu harus berbuat bagaimana. Gerakan "Sepiring Nasi Untuk Nek Mo" membuat hati mereka menjadi ringan. Ternyata gerakan itu menginspirasi banyak orang. Gerakan itu diadopsi di mana-mana. Disesuaikan dengan keadaan yang terjadi di wilayah masing-masing. Oh, indahnya berbagi. (*)