Megah hamparan hijau yang membentang ini seakan memanjakan mata, anginnya berhembus pelan seolah sengaja menyapa tiap kehidupan di dalamnya. Mungkin tenteram adalah kalimat yang cocok untuk daratan luas ini. Ya, bisa di bilang cukup luas dengan tebing-tebing batu yang menjulang tinggi berada di tengahnya, namun ada kejanggalan di tepi daratannya. Semacam aliran sungai sedang melingkar mengelilinginya, membuatnya tampak seperti sebuah pulau apung.
Tunggu dulu! Ada banyak daratan semacam ini di sekelilingnya, Ya, bahkan tiap daratan itu memiliki sungainya masing-masing yang mengitari setiap tepi pulaunya. Awan-awan tipis pun berlalu lalang, bahkan beberapa awan sempat menabrak pulau-pulau ini. Apa ini memang tempat yang di penuhi pulau apung? Tidak, apa ini masih Alam Manusia?.
GRAAAKKKKK...GRAAAKKKKK...GRAAAKKKK...
Dari kejauhan, sosok berkulit coklat ini memanjat tebing batu dengan cepat. Bunyi dari cengkeramannya terdengar setiap kali ia memanjat ke atas. Dilihat dari kelihaiannya memanjat, mungkin ia sudah terbiasa melakukan ini. Semakin tinggi sosok bertelanjang dada ini memanjat, semakin kecil tempatnya berpijak jika di lihat dari atas. Beberapa temannya seperti sedang menunggu dirinya jauh di bawah sana, gumpalan awan tipis yang menabraknya tak ia hiraukan, padahal kepulan tipis itu beberapa kali menutupi pandangannya. Akan sangat berbahaya jika ia tiba-tiba terjatuh dari ketinggian semacam ini.
CLLAAAAPPPPP...
Hentakan kakinya spontan mendorong dirinya terjun, apa ia sengaja melakukan hal gila tersebut dengan salto bebas di udara?. Tampak kedua temannya tertawa riang seolah tak menggubris keselamatan sosok berkulit coklat ini. Senyumnya melebar, matanya pun melotot dengan rambut lebatnya melambai-lambai tak kuasa menahan tekanan angin dari terjun bebas melalui tempat setinggi itu. Semakin cepat ia melesat ke bawah atau ia memang berniat menghantam batu berukuran raksasa di bawahnya. Kedua tangannya pun lantas di rekatkan mengepal menjadi satu, ia keraskan otot-otot kekarnya, posisinya siap memukul seperti sebuah palu dari atas.
DUUAAARRRR...
Batu yang berukuran lebih besar dari dirinya itu hancur seketika, puing-puing kecilnya terlempar berserakan disusul gelak tawa kedua temannya yang kegirangan layaknya menonton sebuah hiburan.
"Hahaha, boleh juga, tapi aku juga bisa melakukan yang lebih hebat lagi" ucap temannya.
"Kau? Haha, kau baru menghancurkan dua batu sementara Gerdhell sudah menghancurkan lima batu dari tadi," sahut rekan satunya sambil menepuk pundak seseorang yang di panggil Gerdhell.
"Ayolah, kita bisa lakukan ini lagi berapa kali pun yang kalian mau, hahaha, tapi aku ingin menemui Tetua untuk sekarang ini," balas Gerdhell sembari membersihkan debu di kedua tangannya.
"Oh, kau mau pergi? Sepertinya seru sekali menjadi Verdallior sepertimu," ujar temannya seolah sedang membandingkan dirinya.
"Hahaha, apa maksudmu? Isinya hanya kumpulan orang tua, aku sangat kesepian tak ada yang seumuranku di dalamnya," seru Gerdhell yang kembali disusul gelak tawa kedua temannya.
Beberapa saat setelah basa-basi, pemuda bertubuh kekar berpamitan seolah tak sabar ingin bertemu seseorang yang dipanggilnya "Tetua". Dengan cepat ia berlari menyusuri tanah bebatuan hingga semakin menuju ke pinggir, lincah kakinya menerjang rerumputan dan semakin mendekati sungai di tepi daratan yang mengambang itu. Kakinya masih sempat menyentuh permukaan air saat melalukan lompatan jarak jauh yang luar biasa, dan ternyata berhasil! Caranya melompat menyeberangi pulau demi pulau agaknya membuktikan ketangkasan serta kegesitan tubuhnya.
Masih berlarian dengan atraksi lompat melompat yang spektakuler di udara, lincah akrobatik kaki pemuda ini menyeberangi pulai demi pulau. Tanah bebatuan tak menyulitkan kedua kakinya, perhatiannya tertuju pada sebuah pulau dengan tebing batu paling besar di antara tebing batu lainnya. Dua loncatan lagi di perlukan untuk sampai ke sana.
SRRRRAAAAKKKK...
Gesekan di tanah itu dibarengi dengan larinya yang terhenti, Gerdhell berhasil mendarat dengan sempurna. Secepat mungkin ia langsung menaiki tebing batu itu, cengkeraman kuatnya mengikis permukaan kasar batuan tinggi tersebut. Hingga akhirnya ia sampai ke puncak dengan beberapa loncatan ke atas yang ia lakukan. Ternyata di atas sana, seseorang sudah duduk menunggunya. Tak seperti dirinya atau teman-temannya yang berkulit coklat, pria besar berambut putih ini berkulit agak kemerahan, selendang coklat panjang ia lilitkan di leher sampai menutupi tubuhnya yang bertelanjang dada. Sebuah buku bersampul kulit domba ia letakkan di atas pangkuannya, matanya bergerak-gerak seirama tiap halaman yang ia balikkan.
"Apa kau menikmati waktu bermainmu, Gerdhell?" tanya pria ini langsung menyadari kehadiran Gerdhell tanpa menoleh.
"Tentu, tapi kenapa Anda memanggilku lewat telepati? Apa ini sesuatu yang penting, Tetua?" tanya Gerdhell.
"Ya," jawab pria ini singkat, ia alihkan pandangan mengamati Gerdhell lekat-lekat.
Perlahan jemari itu menutup buku di pangkuannya, guratan keriput di wajahnya mengisyaratkan ia sudah melalui banyak peristiwa dalam hidup. Mata sayunya seperti sedang menguraikan rasa cemas kala ia menatap wajah Gerdhell. Pelan helaan nafas itu berhasil membuat pemuda ini bertanya.
"Ada apa, Tetua? Apa yang menjadi keresahan Anda?"
"Suatu ancaman yang akan kembali, persis seperti isi buku ini," jawab Sang Tetua sambil menunjukkan buku di pangkuannya.
"Buku itu? Bukankah Anda sendiri yang menulisnya? Aku sering melihat Anda membacanya di waktu luang," balas Gerdhell.
"Ya, aku hanya khawatir sejarah terulang lagi, aku merasakan kehadiran Ras Terkutuk di Montrea beberapa saat yang lalu," ujar Sang Tetua diiringi berat helaan nafasnya.
"Alam manusia? Tapi Ras Terkutuk itu apa? Bukannya hanya ada empat ras di dunia ini, Tetua?" selidik Gerdhell yang tak bisa menebak arah pembicaraan Sang Tetua.
"Ya, tepatnya hawa keberadaannya muncul dari Kerajaan Bartham, wilayah Para Petapa yang bisa terhubung dengan Niantra, alam kita," jelas Sang Tetua.
Mengernyit dahinya mendapati jawaban yang belum jelas dari inti masalah yang sedang terjadi. Hanya saja ia yakin jika ada suatu ancaman yang sedang berusaha menampakkan kehadirannya, tapi kegelisahan Sang Tetua seakan menuntunnya pada jalan buntu di situasi ini, ada apa? Kenapa? Dan harus apa? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam kepalanya.
Sang Tetua sepertinya mengerti apa yang sedang di pikirkan Gerdhell, gerak-gerik pemuda ini agaknya terlalu mudah terbaca olehnya. Ia bangkit dari duduknya sedari tadi sambil berkata.
"Kau yang paling muda dalam Verdallior, aku tak ingin generasi muda kita terlena dengan kedamaian Niantra, setidaknya bacalah buku ini dan pelajarilah sejarah kelam yang melibatkan semua ras."
"Oh, baiklah kalau begitu! Apa di dalamnya ada kisah masa mudamu juga, Tetua Verdall?" tanya Gerdhell sembari menerima buku yang di sodorkan, ia tampak senang menerima buku itu.
"Masa muda? Ya bisa di bilang begitu, tapi lebih dari itu aku ingin kau memahami mengapa Leluhur Ras Raksasa angkat kaki dari Montrea dan memilih hidup di Niantra," sahut Tetua Verdall sembari menata selendang coklatnya.
Sorot matanya kembali melamun mengamati awan-awan tipis yang mengenai tebing tempatnya berpijak. Sementara Gerdhell mulai membuka halaman awal buku tersebut, matanya menyipit kala membaca tiap kalimat yang tertuang di dalamnya.