Puluhan pasak tertancap sengaja di hujamkan ke bumi, dari kejauhan tentu puluhan bendera hitam yang melambai-lambai menantang itu terlihat jelas bagi siapa saja yang melewati daerah ini. Bara-bara api mengudara terbawa angin seirama tiap lambaian benderanya, menimbulkan pertanyaan di malam ini, apa yang sudah terjadi disini?.
Burung hantu yang mencengkeram pedang di kedua kakinya, cukup jelas lambang di tengah bendera itu untuk menyebutkan siapa pelakunya? Kerajaan dari barat laut, Mosteine. Ratusan prajurit berzirah perunggu itu memenuhi tiap desa di lembah tersebut, mayat-mayat berjatuhan saling tindih memenuhi jalanan tentu bukan pemandangan yang mengenakan.
Sayangnya, kenyataan inilah yang harus di hadapi para anak kecil yang selamat itu. Berjalan pelan mereka dalam ketidakpastian akan kemana kereta kayu yang di bawa Tentara Mosteine ini berhenti? Tapi itu lebih baik, setidaknya mereka masih bisa bernafas di tengah kekacauan ini, dari pada anak-anak lainnya yang bernasib kurang beruntung.
Jasad-jasad kecil sebayanya tergeletak di beberapa tempat. Terlihat Si Kecil berwajah kumuh ini menatap salah satu temannya yang terbaring tak bernyawa dalam salah satu rumah yang rusak, sekitarnya pun sama saja. Bangunan-bangunan yang di hancurkan di sepanjang jalan, beberapa malah di bakar menyisakan abu seolah tak pernah ada kehidupan di dalamnya.
"Kenapa...." ucapnya lirih memandangi kekacauan di sekelilingnya, sepertinya ia memang tak perlu bertanya untuk mengetahui penyebabnya.
Kereta kayu yang di tumpanginya mendadak berhenti, seorang pria sedang menghentikan lajunya. Nafasnya terengah-engah menahan sakit di sekujur tubuh, satu tangannya hilang dengan darah yang terus mengucur membasahi tanah dari pundaknya. Mata yang berkaca-berkaca, entah apa yang hendak di tafsirkan sepasang mata itu? Hanya seberkas kepiluan terasa dari dirinya.
Tubuh yang penuh luka sayatan itu tak menghalanginya naik berusaha menggapai salah satu anak dalam kereta. Si Kecil berwajah kumuh ini menyaksikan bagaimana Pria itu cekcok dengan kusir kereta yang merupakan Tentara Mosteine, tangannya berusaha menggapai sosok kecil yang mulai panik. Namun entah berapa tendangan yang sudah di terima tubuh bersimbah darah ini.
"Apakah dia anaknya?" tanya Si Kecil ini melihat anak gadis sebayanya itu mulai menangis dan hendak turun.
Baru saja ia mencoba menelaah apa yang terjadi di hadapannya? Deru tombak dengan cepat menusuk pelipis Si Pria yang langsung membuatnya terkapar di tanah, sesaat ia kejang tanpa sempat berkata-kata dengan matanya yang terbuka lebar. Sekali lagi ia saksikan darah segar yang berhamburan di atas tanah ini berhasil membuatnya bergidik ngeri. Ia mendengarnya, entah ratapan? Entah tangisan? Gadis kecil sebayanya sedang berteriak-teriak seolah sangat menyayangkan apa yang terjadi pada pria tersebut.
PLLAAAKKKK...
Sebuah tangan berzirah tiba-tiba menamparnya, sayangnya ia tak sempat menghindar mengakibatkan darah segar mengalir dari hidungnya. Sosoknya tak lagi berteriak, ia terduduk kesakitan menahan kerasnya tamparan yang menyadarkannya. Ya, bahkan bukan dirinya saja, mungkin juga menyadarkan semua anak yang berada di seisi kereta. Bahwa dunia yang mereka tinggali memang ajang yang cocok untuk berperang, memang tempat paling menyenangkan untuk melakukan penjarahan, dan memang dunia selalu diam di tempatnya sembari kesedihan dan kehancuran bermunculan. Tak bisakah sekali saja dia melerai keserakahan manusia-manusia yang berjalan di atas tanahnya dengan kegilaan ini? Apakah sebuah kehidupan memang sesuatu yang mengikis kedamaian di sekitarnya?.
JBUUUKKKK...
Kereta ini tiba-tiba bergoyang, bunyi sesuatu yang jatuh terdengar oleh kusirnya. Ia menoleh ke belakang, tampak langkah kecil itu berlari berusaha menjauh dari kereta. Entah kenapa Si Kusir meneruskan perjalanannya, mungkin ia merasa malas untuk mengejar satu anak yang kabur. Sementara Si Kecil Kumuh ini masih berlari, berusaha mengambil sesuatu yang ia inginkan dan sebisa mungkin pergi dari kemalangan. Kebebasan, hanya itu yang muncul dalam kepalanya, seolah naluri bertahan hidup sedang menuntunnya. Sayangnya ia melupakan satu hal, bukan dirinya saja yang mempunyai naluri bertahan hidup.
Di depan bangunan-bangunan yang terbakar itu sontak kakinya terhenti, sesuatu yang mengerikan membuatnya mematung di tempat. Agak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah makhluk berbulu merah sedang menyantap mayat-mayat penduduk desa dengan lahap. Insting buasnya terlihat jelas dari sikapnya yang mencoba menyapa Si Kecil ini dengan agresif, puluhan taring tajam bergerigi sedang menyeringai. Perlahan sosok merah ini merayap, mayat dalam genggamannya ia buang sembari mendekati anak tersebut, mata kecilnya sama sekali tak berkedip seolah menganggap Si Kecil Kumuh ini sebuah ancaman dan dengan cepat ia....
SRAAAKKKK...
Empat cakar itu berhasil mengoyak leher sampai dada, belum sempat ia menyadari apa yang membuatnya terluka? Bocah ini ambruk seketika, semburat darah memenuhi tubuhnya bahkan wajahnya pun terkena cipratan darahnya sendiri. Makhluk seukuran orang dewasa ini langsung memereteli kakinya, menunjukkan naluri bertahan hidupnya yang liar, makan atau dimakan? Mungkin itu yang menjadi pola pikir Necras dari Salfoph ini. Tatapan kosong Sang Bocah memandangi langit malam yang kemerahan, panah-panah api yang kembali melesat di udara itu menjadi sesuatu yang terakhir kali ia lihat di dunia ini. Tanpa sempat mengeluarkan sepatah kata pun dalam sekaratnya, ia sudah pergi selamanya. Sementara makhluk berbulu merah ini dengan kasar menyeret jasadnya, membawanya menyelinap di balik rimbun semak di kegelapan seolah ingin menyantapnya dengan tenang.
"Padahal baru saja kuselamatkan, bisa-bisanya ia lebih memilih kematian," ucap Si Kusir Mosteine pada rekannya, kereta kudanya berhenti di atas lembah dengan kerumunan Pasukan Kerajaan.
"Hahaha, sudahlah ia memang sudah tak layak hidup," balas salah satu prajurit ini dengan enteng.
Di depan mereka, pemandangan bakar membakar seperti di lembah ini agaknya sudah bukan hal yang mengejutkan lagi. Samar-samar dalam kobaran api yang melahap desa itu, terlihat kerumunan yang berlarian melarikan diri dari puluhan makhluk berbulu merah yang mengejarnya, di sekitar mereka juga tampak Prajurit Mosteine sedang memutilasi beberapa orang yang tak mengizinkan anaknya dibawa pergi. Teriakan demi teriakan di tengah teror dan mayat-mayat yang berserakan agaknya masih belum cukup menggambarkan kebuasan Prajurit Mosteine ini. Senandung ajal dari raungan gagak yang sedari tadi menghinggapi pepohonan, seolah memang menegaskan kematian sudah tak bisa di hindari lagi di desa ini.
Tunggu! Apa itu yang sedang menuju kesini? Sebuah titik putih di langit sepertinya mengorbit mengarah ke lembah ini. Ratusan Prajurit Mosteine mendongak ke atas menyaksikan bagaimana titik cahaya itu melesat, Necras meraung mengeluarkan suara-suara aneh saat mengamati cahaya itu, agaknya makhluk berbulu merah ini tak suka dengan kemunculannya. Semakin cepat cahaya itu melaju ke bawah menghampiri mereka, sepertinya ia menambah kecepatannya, cahaya itu bahkan tak terlihat lagi. Semua mata tetap mendongak ke atas, mencari di mana keberadaan cahaya aneh itu? Hening sejenak tanpa ada seorang pun yang membuka suara.
DUUUUUAAAAARRRRR....
Belum sempat mereka tahu apa yang terjadi? Lembah tempat mereka bermukim seketika di hancurkan dengan cepat. Sebuah cahaya putih yang amat silau keluar dari ledakan tersebut mewarnai langit malam dengan terang, keras bunyinya terdengar ke seantero negeri di barengi hebatnya getaran yang mengguncang tanah. Desa-desa kecil di lembah itu pun laksana tak pernah ada, semua lenyap tak tersisa. Hanya sebuah lubang besar menganga dengan aroma seperti terbakar itulah yang tersisa. Lubang yang tercipta itu sepertinya sangat dalam, hanya ada pekatnya kegelapan yang tampak di dalam sana.
"Hei, bocah, kau dengar itu? Bangunlah!" ucap Silbi seraya menggoyang-goyangkan tubuh Randra.
"Hah, apa? Apa itu bukan mimpi?" tanya Randra sembari mengusap-usap kedua matanya.
"Bodoh, jelas bukan! Ini berbahaya, aku merasakan kekuatan penghancur dari arah barat, sepertinya itu berasal dari Ra-Herl," balas Silbi yang menyadari sesuatu.
"Kau ini kenapa? Aneh," ucap Randra menyadari Silbi mulai gusar, padahal biasanya ia selalu percaya diri dan tak pernah panik.
"Sial! Satu masalah belum selesai sekarang masalah baru muncul, siapkan belatimu jika ia datang kesini," perintah Silbi sembari melepaskan diri dari Randra, tanpa basa-basi ia membakar pintu sel.
Terpaksa Randra menuruti perkataannya, meski tak tahu apa maksud "jika ia datang kesini", siapa yang dimaksud?. Sepertinya ini memang masalah serius melihat gerak-gerik Silbi yang mencurigakan.
"Kita berpencar, sementara ini kau temui Ellenia dan aku akan pergi memastikan apa yang terjadi," ucap Silbi di depan pintu sel.
"Baiklah, tapi nanti jelaskan padaku apa yang terjadi? Suara gelegar tadi sepertinya mengganggumu," ucap Randra yang melihat kepergian Si Bayangan Hitam tanpa membalas kata-katanya.
Segera pemuda ini mengenakan jubahnya, mengencangkan tali-talinya sejenak dan segera pergi dari dalam sel. Di depannya, Silbi tampak sudah sampai di depan pintu keluar, meski penasaran dengan apa yang terjadi? Namun rasanya tak pantas hal itu di tanyakan sekarang, mengingat Silbi pun waswas mencari akar masalah dari kejadian ini.
Jalanan malam di Kerajaan Bartham di penuhi lampu-lampu rumah yang mulai menyala, sepertinya mereka juga terbangun akibat suara gelegar tadi. Randra dengan cepat menyelinap di antara bangunan-bangunan ini sebelum Tentara Kerajaan melihatnya melarikan diri, pandangannya tertuju pada rumah bercat coklat tua di ujung jalan.
CKLAAKK..
Pintu terbuka, kedua lempengan baja di pundaknya menyiratkan setiap tanggung jawab yang ia emban, semakin mempertegas sosoknya yang hendak keluar rumah. Sejenak Randra terpukau dengan hijau gelap zirah setengah badan yang ia kenakan, corak-corak aksara bertulis kejayaan tertoreh di tiap sisi. Melekat pangkat kemiliteran itu dalam dirinya, Kapten Pasukan Penyergap .
"Ada apa?" tanya Ellenia pada Randra yang baru saja tiba di hadapannya