Hampir gila aku terkurung di sini, rasanya benar-benar payah saat kebosanan menghujaniku tanpa jeda. Lihat dia! Astaga! Entah berapa kali lagi ia akan tetap terduduk sambil menorehkan guratan di dinding sel. Si Bodoh ini mungkin akan terus menerus menggoreskan belati itu berulang kali, rasanya ia memang sanggup memenuhi dinding ini dengan goresannya, lihat! Ia bahkan sedang melamun sekarang.
"Apa kau mau kuhajar hah? Hentikan tindakan bodohmu itu," ucapku agak jengkel.
"Hah, apa?" balasnya malah bertanya, dan memang benar, ia melamun saat menggores-goreskan belatinya di dinding.
Akhirnya ia sudah menghentikan tingkah konyolnya, untunglah. Ada baiknya juga aku bertemu Yyira beberapa saat yang lalu, membuatku teringat masa lalu, ya mungkin aku bisa melupakan sejenak hal-hal bodoh selama bersama anak manusia ini. Di luar sana, deraian demi deraian air berjatuhan yang membasahi tanah ini terdengar olehku. Meski kegaduhan juga terdengar beberapa kali, tapi kuakui, di kerajaan ini suasananya agak berbeda dari yang lain. Apa ini bisa di kategorikan secuil kedamaian?.
"Bukankah disini berbeda dengan dunia di luar sana?" tanyaku mencoba memecah keheningan, ia seperti memikirkan sesuatu sejak dari rumah anak manusia bernama Ellenia.
"Beda? Ya, kau benar, ini lebih tenang dan damai, mungkin Bartham adalah wilayah paling damai saat dunia di luar sana dalam kecamuk perang," jawabnya enteng, sepertinya ia sudah kembali normal seperti biasa.
"Dan Ra-Herl adalah wilayah yang paling hancur, hahaha, lambat laun bagaimana pun juga Bartham pasti akan berakhir menyedihkan," ucapku sangat yakin, lagi pula manusia sangat menyukai peperangan.
"Umm, bisa saja tidak."
Apa-apaan itu? Ia sedang meremehkan prediksiku? Melihat kekacauan yang di timbulkan dewa konyol tadi saja sudah terlihat hasil akhirnya. Baru beberapa menit sejak Si Kepala Empat itu mengacau lagi, Bartham langsung terpecah menjadi dua kubu. Ada pihak yang masih membela dewanya dan ada pula pihak yang sudah tak memercayai dewa, berbeda pendapat lalu pecah kemudian. Apa yang ia maksud bisa saja tidak?.
"Silbi, kau ingat saat Raja Ramon turun dari tempatnya dan menghadapi kita?" tanyanya datar, perlahan ia memejamkan mata sejenak seolah mengingat kejadian waktu itu.
"Ya, lalu?" kuberi ia ruang untuk menjelaskan.
"Meski caranya terkesan tak lazim dan salah untuk mempertahankan negerinya tapi, lihatlah orang-orang saat itu! Entah itu bentuk ketundukan pada hukum atas rajanya atau memang ia telah berhasil menjadi teladan seorang raja di mata rakyatnya? Yang pasti jika ada orang dengan tingkat keberanian mengambil risiko dan tanggung jawab sebesar itu, serta mendapat banyak dukungan dan kepercayaan. Kurasa ia mampu mengatasi masalah sebesar apa pun," racaunya panjang lebar tak jelas, membuatku semakin yakin jika isi kepalanya memang pantas disebut sukar dimengerti.
"Manusia memang aneh," ucapku sinis, mungkin saat di tengah area jagal ia sedang membaca kepribadian Raja Ambisius itu.
"Haha, kau selalu berkata manusia itu aneh, begitu pun aku juga memandangmu seperti itu, tapi dengan segala keanehan dan kelebihanmu aku mungkin tak akan tahu informasi terkait persembahan berkah atau pun persekongkolan raja dengan dewanya di balik ini semua," serunya mengakuiku, sepintas senyumnya kuanggap sebagai tanda bukti ia setuju dengan kehebatanku.
"Tentu saja! Jika saat itu kau hanya terdiam sendiri di sel ini kau tak akan tahu, kabar baiknya aku punya pendengaran sensitif, coba kau bayangkan jika tak ada aku saat kau pertama kali dikurung di sel ini? Kau tak akan mendapat semua informasi itu dariku," balasku mencoba menyadarkannya betapa aku sangat mumpuni dalam hal ini.
"Hmmm, mungkin benar, sejauh apa pun aku menghindar dari fakta itu rasanya memang tak mungkin ya? Haha, terima kasih untuk semua perbuatanmu baik pada saat di area jagal atau saat aku selamat dari tembok berduri bahkan hampir diterkam ular saat itu," sahutnya menyedihkan, apa-apaan yang ia bicarakan? Apa dia tak bisa membedakan antara mengakui kehebatanku dan ucapan balas jasa itu?.
Ucapan payah dari ketidakberdayaan seseorang dalam mengatasi sesuatu, terkesan rendahan dan selalu bergantung pada sosok selain dirinya. Maksudku, untuk apa? Apa aku harus menunjukkan lagi segala kehebatan yang aku punya? Apa Montrea harus di hancurkan untuk menunjukkan daya serangku yang mematikan? Kenapa ia malah membalasku dari pada mengakuiku? Apa ia tak pernah belajar sopan santun? Ah, lupakan, aku sendiri tak suka bertata krama. Terima kasih hanya berlaku pada manusia, aku tak akan meyakini lelucon macam itu.
"Aku akan pergi sebentar," ucapku seraya memisahkan diri darinya, mungkin lebih baik begini dari pada ia semakin jauh meracau.
Saat aku lepas dari dirinya, ia semakin tampak seperti seonggok daging yang menyedihkan. Ya, sebatas anak manusia tanpa bayangan, dan pertanyaan yang menganggukku adalah kenapa ia tak segera meloloskan diri dari sel? Padahal itu perkara mudah dan tak harus duduk-duduk manis membuang waktu seperti ini. Apa ia mengkhawatirkan sesuatu? Ah, lupakan saja dia, memang pecundang muda yang takut melanggar hukum.
"Jangan lama-lama, apa kau ingin mencari ular tadi?" tanyanya saat aku menembus pintu sel.
"Tentu," ucapku singkat dan ingin segera berlalu darinya.
Saat kususuri lantai bebatuan ini, aku spontan teringat kampung halamanku. Ya, meski tak bisa di sebut kampung halaman, wilayah payah yang terisolir. Sial, aku malah teringat kenapa dia tak segera meloloskan diri dan malah seakan terima-terima saja terkurung di sini.
Sayup-sayup suara itu tak terdengar lagi, saat kupandang keluar jendela, gerimis memang sudah reda. Jika kuperhatikan lagi, sepertinya bangunan ini memang jarang dibersihkan. Gorden jendela ini juga sudah usang dengan beberapa robekan kecil, apa hidup di tempat yang damai membuat manusia menjadi malas?.
Kulanjutkan langkahku ke luar menjauhi bangunan sel, suasananya sangat sepi, mungkin karena gerimis tadi atau orang-orang masih takut akan Si Kepala Empat yang berulah kembali. Seekor kelinci meringkuk di bawah semak-semak membuatku risih, telinganya bergerak-gerak seolah menegaskan ia memang kedinginan di dalam sana. Bulir-bulir air di dedaunan itu jatuh menimpa makhluk kerdil ini, memaksanya harus berpindah tempat dari tempatnya berpijak. Segera aku menghangatkannya sedikit, lagi pula bagaimana hawa seperti ini bisa disebut dingin?.
ZRRRUUUUOOOHHHH...
Lihat itu! Setidaknya itu cukup hangat untuk menemani makhluk lemah ini ke alam baka. Bahkan sedikit percikan apiku menghanguskan dua bangunan di sampingnya, tapi apa ada orang di dalamnya? Hmmmm, sekarang aku yakin aku cukup kuat untuk menendang seisi Bartham dan segera pergi dari sini. Bara api yang melayang-layang, kepulan hitam membumbung tinggi, perpaduan sempurna dengan gerimis yang mulai turun lagi. Baru kali ini aku senang melihat hal semacam ini, mungkin tertular dari Si Bodoh itu.
"Ternyata Anda disini?"
Suara wanita yang tak asing itu terdengar di belakangku. Memang sempat kurasakan hawa keberadaannya, ya, tapi kubiarkan saja sesukanya, lagi pula aku juga mengenalnya.
"Ya, lalu apa yang kau lakukan disini, Jenderal?" tanyaku yang langsung berbalik memandangnya.
"Tentu hanya ingin menemui sosok Anda, Sang Ksatria Pertama," balasnya berlutut sembari menyebutkan gelarku di masa lalu, seorang bawahan memang harus begini dalam tata cara menunjukkan rasa hormat.
"Hahaha, ya, ya, baiklah. Berdirilah Jenderal, lalu bagaimana dengan Rieer dan Hederh, apa saja yang sudah kulewatkan?" tanyaku basa-basi, kuakui ia paham betul bagaimana mengambil sikap di hadapanku.
"Sebenarnya Hederh belum menampakkan diri, tapi Rieer pergi ke Montrea bersama saya, dan itu tiga tahun yang lalu bertepatan saat Perang Empat Kerajaan terjadi," jawabnya membuatku samar-samar teringat tempat yang setidaknya bisa kusebut rumah.
"Hmmmm, lalu kau mengikuti anak manusia bernama Ellenia, dan Rieer pasti muncul entah di mana, bukan begitu? Tapi aku punya pertanyaan terkait kemunculan Si Kepala Empat," ucapku menyadari ada yang tak beres sejak kuinjakkan kaki disini, dan banyak pertanyaan bermunculan dalam benakku.
"Maksud Anda siapa yang telah membuka gerbangnya? Tapi ular itu muncul setahun belakangan di Bartham dan memulai tipu dayanya, aku tak menggubrisnya karena kupikir mencari keberadaan Anda lebih penting, dan memastikan tujuan Anda terwujud," balasnya membuatku bangga.
"Terwujud? Ya, itu bisa nanti, lagi pula aku sedang tak sempurna sekarang. Tapi saat aku tiba disini, awalnya aku mengira yang membuka gerbang itu adalah Para Dewa, namun yang muncul malah sangat konyol, hahaha, jujur aku penasaran siapa keparat bodoh yang membuka Gerbang Kegelapan? Mungkin kita harus lebih waspada sekarang," ucapku di barengi Yyira yang berlutut sekali lagi di hadapanku.
Aku tak tahu ada siapa saja di balik ini dan apa yang akan mereka lakukan? Tapi jika mereka menghalangiku tentu akan kubantai habis semuanya. Untuk sementara aku hanya bisa menerka-nerka, di satu sisi aku pun punya sesuatu yang harus di selesaikan sembari terus berada di samping Randra. Ah, sial, baru kali ini kusebut namanya.