Menahan senyum pemuda itu meski lilitan rantai memenuhi tubuhnya, agaknya ia tak sadar posisinya sedang terancam sekarang. Selagi umpatan demi umpatan masih terdengar riuh dari kursi penonton, ia sama sekali tak peduli dan tetap mendongak ke atas memandang lekat-lekat sosok yang menghampirinya.
"Ini berhasil, Silbi! Lihat ia kemari sekarang," batin Randra.
"Ya, tunggu saja dan lakukan sesuai rencana, aku akan mempermalukannya," balas Silbi mengamati keadaan.
Ketika sudah berada beberapa meter di atas Si Pemuda, keduanya berhadap-hadapan layaknya saling mengamati gerak-gerik satu sama lain. Sang Dewa lantas menurunkan tangannya seolah masih memberi kesempatan pada Si Pemuda.
"Anak manusia, aku anggap perkataanmu barusan hanya pengalihan dari eksekusimu saat ini, apa kau takut dan mencoba mengulur waktu?" tanya Sang Dewa pelan.
Sekali lagi suara jernih itu terdengar sangat menentramkan, Randra diam sejenak seperti memikirkan sesuatu sebelum akhirnya ia menjawab dengan lantang.
"Takut? Bukankah kau sendiri yang takut jika kedokmu terbongkar? Ayolah, kau hanya melayang-layang di langit dan orang-orang bodoh ini menganggapmu dewa!"
"Hei, Silbi, apa ini tak berlebihan? Dan berhentilah bicara dalam hatiku, rasanya aneh," batin Randra yang sedari tadi mengikuti perkataan Silbi.
Perkataan Randra berhasil menyulut amarah seisi area jagal, seketika orang-orang tak lagi duduk sebatas menjadi penonton namun juga menjadi pelempar yang melemparkan apa pun pada Randra. Entah itu makanan, sampah, alas kaki atau pun benda apa pun di sekitar mereka, dan Randra masih berdiri dengan benda-benda yang berjatuhan menghujaninya.
Sementara itu di salah satu kursi penonton, sapu tangan merahnya ia gunakan menutupi wajah seolah tak nyaman dengan pemandangan di hadapannya. Berpaling gadis muda ini mengalihkan pandangannya ke samping.
"Dasar bodoh! Sebenarnya apa yang kau lakukan," gerutunya pada Randra.
Baru sebentar ia berpaling, tanpa ia sadari Sang Dewa mengangkat tangannya ke atas dan memberi aba-aba pada Para Algojo.
"Semoga kau belajar di kehidupanmu yang selanjutnya, selamat tinggal," ucapnya seraya menurunkan tangan.
JDAAANNNGGG....
Suara jernih itu membuat Si Gadis kembali berpaling ke tengah area jagal dengan cepat, hampir berdiri ia menyaksikan di mana kesepuluh tembok berduri itu menghantam tubuh Randra secara bersamaan, membuat sosoknya tergencet tak terlihat lagi. Sapu tangan merahnya terjatuh bersama dengan ketidakpercayaannya pada apa yang ia lihat. Dari celah-celah kecil, darah segar mulai mengalir deras membasahi tanah. Para Algojo pun bersiap menarik rantai yang masih terlilit di tubuh Randra.
Serentak riuh tepuk tangan menyambut kematian anak manusia bernama Randra dengan meriah, tak luput teriakan kegirangan tak henti meracau dari kerumunan yang tampak senang ini, tanpa mereka semua sadari. Dari dalam celah dinding yang gelap, hawa hangat perlahan terasa merambat di dalam. Entah kenapa rasanya hawa hangat ini semakin menyebar, sepersekian detik dari rantai yang melilit tubuhnya akan di tarik. Bersamaan dengan itu pula, suasana dalam tembok berduri itu seakan mulai memanas, seberkas cahaya terlihat dari sela-sela dinding yang dengan nyala merah.
DUUUUAAAARRRRR....!!!!
Ledakan besar seakan menghentikan detak jantung Rakyat Bartham, Merah menyala api itu membakar tembok berduri serta rantai yang melilit tubuh Randra. Semua hadirin diam tertegun tak mengerti apa yang sedang terjadi, sepuluh algojo di sekitar Randra seolah menghilang dalam kobaran api tersebut, atau mereka memang telah lenyap terbakar tanpa menyisakan setetes darah pun. Begitu juga area dinding bangunan ini tampak gosong dengan bau hangus yang menyengat, kepulan kecil hitam memenuhi area jagal dengan Randra yang beberapa bagian tubuhnya ikut terbakar. Api-api kecil itu seakan merambat di kulitnya beberapa saat, sebelum akhirnya lenyap tak tersisa setelah membakar seluruh luka-luka yang ia terima. Meski sembuh namun, sisa bercak dan lumuran darah itu masih bisa terlihat di sekujur tubuhnya.
"Apa yang baru saja terjadi? Memang aku sempat merasakan keberadaan aneh pada diri anak ini, tapi apa ini? Mungkinkah salah satu sihirnya?" gumam Sang Dewa dalam hati.
Sejenak ia memperhatikan Randra yang masih berlumuran darah, entah ini nyata atau bukan? Nyala api itu seperti berasal dari darahnya. Tetes demi tetes darah yang terjatuh di tanah tak luput dari perhatiannya, ia melihat ada semacam kobaran api kecil di dalam tiap tetesnya, begitu merah seperti sesuatu yang tak asing baginya.
"Uhukk..Uhukk... hal gila apa lagi yang kau lakukan padaku, Silbi? Uhukk, itu tadi bisa berakhir fatal," ucap Randra yang terbatuk menahan kepulan asap.
"Hahaha," balas Silbi dengan tawanya yang menjengkelkan.
"Segera selesaikan dan pergi dari kerajaan konyol ini," lanjut Silbi di ikuti Randra yang berpaling pada sosok dewa di atasnya.
Berjalan ia mendekati sosok wanita berambut panjang tersebut dengan satu tangan yang di arahkannya ke depan, terlihat Si Wanita seperti menyadari suatu ancaman.
SRIIIINNNNGGGGG....
Tiga rantai hitam keluar bersamaan dari telapak tangan Randra, melesat rentetan besi itu dengan cepat seolah ingin segera mengunci sosok yang melayang tersebut. Dengan cepat pula ia menghindar, namun percuma! Salah satu rantai berhasil mengunci tangannya membuatnya kehilangan keseimbangan dan berakhir terjatuh di tanah di ikuti dua rantai lagi yang segera melilitnya.
"Untuk ukuran makhluk fana, kau lumayan juga," puji Silbi melihat kelihaian Randra.
Seakan tak terima dengan penghinaan ini, ia berusaha bangkit namun percuma karena Randra menarik rantainya setiap kali Sang Dewa mencoba bangkit. Meski rasanya mustahil sesosok dewa tak bisa melepaskan diri dari rantai yang melilitnya, tapi ini benar-benar terjadi membuat seisi area jagal terdiam beberapa saat. Serasa tak kehabisan akal, sepertinya Sang Dewa berniat menggunakan kekuatannya.
Benar saja! Saat Randra berjalan semakin dekat, tiba-tiba sebuah ular hitam berukuran besar muncul dari tubuh Sang Dewa dan berniat menggigitnya. Nyawanya seakan bergantung dari seberapa cepat ular ini dapat mencaploknya, racun di taringnya meleleh berjatuhan dengan aroma yang tak sedap. Tak sempat Randra menghindar atau pun berpaling dari mulut yang terbuka lebar itu, dalam posisi terbuka tanpa pertahanan sekelebat bayangan hitam muncul di depannya.
JDAAAANNNNGGGG....
"Apa ini?!" terkaget Randra melihat benda besar di depannya telah menghantam ular yang menerjangnya.
Dari bawah, tepatnya dari dalam bayangannya keluar sebuah tangan gelap berukuran besar sedang memegang perisai hitam seukuran dirinya, Randra seakan tak terlihat di bentengi perisai tersebut. Benda persegi panjang dengan ukiran-ukiran aneh itulah yang meremukkan kepala ular tadi, kejadian ini sukses membuat heran segenap Rakyat Bartham yang tak mengerti dengan rentetan peristiwa di area jagal.
"Aku tak tahu kau punya perisai? Tapi singkirkan ini sekarang, aku tak suka uap panasnya," pinta Randra pada Silbi.
"Naif sekaligus bodoh, bilang saja kau tak mampu menghadapi ular tadi dan hampir mati," balas Silbi sembari perlahan menarik kembali perisainya.
Sang Dewa masih terperangah dengan apa yang disaksikannya, kecepatan dan ketepatan munculnya perisai tadi seperti bukan dari kehendak Randra sendiri. Ia tak bisa menyimpulkan apakah itu semacam sihir atau bukan?. Di atas cakrawala siang, terik matahari tertutup awan mendung yang secara tiba-tiba muncul memayungi Kerajaan Bartham, Silbi dengan keras berteriak lantang pada seluruh penonton yang masih diam termenung.
"Makhluk Bodoh! Kalian pikir dia ini apa? Hah? Orang-orang kalian yang hilang dan persembahan konyol untuk berkah kemenangan perang, yang benar saja! Raja kalian sudah di pengaruhi sosok konyol ini!"
Memang Silbi berhasil membuat segenap Rakyat Bartham terkaget, bukan hanya karena suara tanpa wujud yang berteriak lantang tapi juga kebenaran dari apa yang ia ucapkan. Di antara banyak mata yang memandang, mata Sang Gadis dengan sapu tangan merah itulah yang paling berbinar senang menyaksikan aksi Randra sedari tadi, seperti ia berhasil menemukan sesuatu yang ia cari.