Ini seperti hari-hari pada umumnya, lari dari satu tempat ke tempat lainnya dengan terus bersembunyi seolah hidup memang sebuah pelarian. Entah berapa kota di Ra-Herl yang sudah aku singgahi, dan entah berapa kota atau tempat yang sudah hancur di Tanah Ra-Herl karena perang ini. Sebenarnya aku tak begitu peduli dengan perang empat kerajaan ini, menurutku mereka hanya makhluk bodoh yang sedang meributkan sesuatu. Ya, aku lebih memilih diam dan ikut bepergian menjadi bayangannya.
Setidaknya masih ada hiburan yang bisa aku saksikan selama perjalanan ini. Aku tak pernah menghitungnya dan kurasa semua ini baru sebentar, atau mungkin aku tak pernah peduli sejak kapan aku mulai mengikuti anak manusia ini. Entahlah? Yang pasti sekarang dunia sudah berubah, seingatku dulu alam manusia yang di kenal sebagai "Montrea" ini hanya dikuasai Kerajaan Montrea dan orang-orang yang berdarah Montrea.
Seribu? Dua ribu? Atau berapa ribu tahun yang lalu? Malas sekali mengingatnya. Tapi sekarang Kerajaan Montrea sudah musnah dan tinggal cerita turun temurun, di masa sekarang mereka di gantikan empat kerajaan konyol yang sedang bertikai. Anak manusia yang kuikuti ini agak sial, ia terlahir di wilayah Kerajaan Ra-Herl, di wilayah ini mereka dulunya sangat miskin dan entah berapa jiwa yang mati kelaparan. Tapi kini mereka sudah menjadi bagian dari salah satu empat kerajaan besar di Montrea, bagian uniknya adalah mereka lebih suka harta benda ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan kekayaan, terkadang mereka juga tak memedulikan sekitarnya. Mungkin itu yang membuat mereka lemah dan bodoh, sangat mudah di hancurkan maupun di pecah belah. Benar saja! Dalam tiga tahun terakhir ini Tanah Ra-Herl adalah wilayah yang paling mudah di serang dan di hancurkan oleh tiga kerajaan lainnya.
"Silbi, kau bisa keluar?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku, kulihat dia masih bersembunyi di balik pepohonan di tengah hutan sambil menyantap daging rusa yang kubakar tadi.
"Apa kau memerintahku? Ada apa?" tanyaku tak mengerti dengan gelagatnya.
Memang beberapa saat yang lalu, dari kejauhan aku mendengar ringkikan kuda dari arah belakang kami. Aku yakin jumlahnya delapan kuda dari suara yang kudengar.
"Tidak, hanya saja aku khawatir jika Tentara Mosteine menemukan kita," balasnya membuatku heran.
Apa dia ini sedang takut? Atau hanya kesepian ingin mengobrol? Yang kulihat ia hanya terduduk di balik pohon dan masih mengintai sekelilingnya. Kali ini memang ia agak rakus saat menyantap daging rusa itu dengan lahap. Ah, aku juga tak pernah makan selama ini, mungkin ucapannya itu hanya pengalihan rasa lapar, lagi pula jika kuingat-ingat sudah dua hari ia tak makan.
"Maksudmu jika kita tertangkap? Di satu sisi mereka musuh Ra-Herl tapi di satu sisi Ra-Herl tak akan memedulikanmu, setelah kau menghabiskan makananmu lebih baik habisi saja kedua pihak itu," sahutku sembari menunggu responsnya.
Ia diam sejenak menikmati gigitan terakhirnya, beberapa kali juga ia tampak menoleh bergantian ke kanan dan ke kiri. Kuharap ia menghunus belati dan segera menghadapi musuh-musuhnya, terkadang aku heran dengan kesabarannya dalam hal menahan diri dan diam bersembunyi. Kenapa tak segera menerjang saja selagi musuh belum jauh, atau ia tak punya rasa percaya diri?.
"Hei Silbi, Sepertinya kita sudah aman, rasanya keberadaan mereka sudah jauh, ini waktunya mencari tempat tidur bukan, hehe," balasnya seakan tak memedulikan ucapanku barusan, kuakui berani juga dia terhadapku.
"Terserah, lagi pula kita bisa tidur di sembarang tempat," balasku yang tak mengerti isi kepala anak manusia ini.
Penutup kepalanya ia naikkan, jalannya seolah mengendap-ngendap di balik kegelapan. Tak luput belati itu kembali ia genggam dengan tetap waspada mengawasi sekitarnya, mungkin ia sedang waspada pada jebakan yang dipasang di hutan atau hewan buas yang kapan saja bisa menerkamnya, mengingat dia ini makhluk lemah.
"Kau kenapa?" tanyaku yang tak suka sikap celingak-celinguknya.
"Hanya berhati-hati bisa saja mereka hanya diam di suatu tempat lalu tiba-tiba menyergap kita," balasnya membuatku heran.
Entah kenapa aku tak suka sifat pengecutnya yang satu ini, dan ini sering terjadi pada pelarian kami ketika dia berhadapan dengan musuh. Meski begitu, ada saat-saat tertentu ia akan menghajar musuhnya, haha lagi pula itu karena aku yang terus-terusan mengganggunya.
"Baiklah, sekarang kau lebih memilih mengendap-ngendap seperti tikus dari pada melawan mereka?" ejekku menyadari jika anak ini tak punya nyali tanpa provokasiku.
"Kau sendiri tahu jika kita tertangkap akan panjang urusannya tanpa ada yang memihak kita, lagi pula Raja Ra-Herl memilih melindungi keluarga dan petinggi kerajaan dari pada rakyatnya, juga tak ada jaminan jika pihak Mosteine akan membebaskan kita, Silbi," balasnya dengan suara pelan.
"Maka dari itu bunuh saja semuanya, dari pada mereka menangkapmu lalu menjadikanmu tontonan di altar," balasku yang ingin ia segera melakukan perintahku.
Kudengar ia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya dengan pelan, layaknya seorang pecundang yang tak tahu harus berbuat apa?.
"Dengar Silbi, aku hanya tak mau terlibat dalam perang ini dan... aku juga tak mau semakin memperkeruh keadaan, belum lagi Ra-Herl pasti akan segera hancur jika keluarga kerajaan hanya mementingkan dirinya sendiri, entahlah? Mungkin aku hanya ingin hidup tenang dan menjauh dari semua ini," jawabnya membuatku semakin tak mengerti.
Untuk beberapa saat kudiamkan dia, entah kenapa dia juga ikut diam? Hanya celingak-celinguknya itu yang membuatku risih. Tanpa dia sadari, tentara musuh sebenarnya sudah kembali ke pos mereka sejak tadi. Aku bisa mendengarnya dengan jelas tadi, kuda-kuda yang meringkik itu semakin menjauh dan keluar dari area hutan.
Entah dia lupa atau memang tak tahu tentang kehebatan indera pendengaran rasku. Dari pendengaran yang tajam lalu merasuk ke indera-indera lainnya membuat rasku lebih unggul dari ras manusia. Lupakan saja, mungkin dia memang tak tahu, mengingat anak ini berasal dari ras lemah yang sedang melakukan perang konyol di Montrea. Kemampuan berpikirnya mungkin juga lemah, melihat mereka-mereka berperang tanpa mampu menemukan solusi ataupun tak ada satu pihak yang segera mengakhiri semua dengan lantang.
"Silbi, aku akan tidur sekarang, besok pagi kita pergi ke wilayah Bartham," ucapnya yang memutuskan seenaknya.
"Ya, bocah," jawabku agak malas dengan perintahnya.
Bartham ya? Jadi kita sudah dekat area perbatasan kerajaan. Ra-Herl di selatan dan Bartham di timur, jika di ingat-ingat lagi kita memang semakin berjalan ke timur sejak bersembunyi tadi. Aku dengar di sana adalah wilayah asal usul para petapa, baiklah, mungkin besok bisa jadi akhir dari pelarianku. Semoga si bodoh ini tetap hidup saat memasuki Bartham yang ikut memanas karena perang ini.
Kulihat ia telentang dengan jubahnya yang di jadikan alas, di atas hamparan rumput itu di pandanginya langit malam, entah apa yang di pikirkannya? Dia selalu begini sebelum tidur. Apa ia melamun karena Ra-Herl yang busuk dengan ketidakpeduliannya pada perang ini atau mulai lelah hidup dalam pelarian, yang pasti dalam perjalanannya ini aku juga punya tujuan tersendiri. Tapi melihat kesengajaannya menjauh dari medan perang, kurasa ia sama sepertiku yang tak peduli pada situasi bodoh empat kerajaan ini.