"Hei, Bodoh! Apa kau mau tidur seharian ini?"
Agak keras suara itu memekakkan telingaku, tapi suara itu pula yang akhirnya menyadarkanku, sebenarnya beberapa kali aku juga sempat mendengarnya menyuruhku lekas bangun. Ya, suara yang tak asing lagi bagiku, sejak kecil dia selalu bersamaku dan agak aneh jika mengingatnya. Rasanya seperti hidup dengan seorang teman yang selalu lekat denganmu atau seorang teman yang hidup dalam dirimu, itu benar-benar aneh karena dia seolah tak nyata.
"Tenanglah Silbi, aku sudah bangun, memangnya ini sudah pagi?" balasku agak malas berusaha membuka mata.
Agak buram rasanya pandanganku, sayup-sayup masih kudengar celotehnya seperti biasa. Memang ia sama sekali tak bisa kalem menurutku, kembali kulempar pandangan ke sekeliling sembari mencoba mengumpulkan kesadaran. Hangatnya mentari pagi ini terasa nyaman, kuambil jubahku yang kupakai sebagai alas tidur dan beranjak bangkit.
"Ah, pagi yang cerah ya, Silbi," ucapku mencoba menyapanya.
"Maaf saja tapi pemalas sepertimu tak pantas menikmati udara pagi, kukira kau sudah tak mampu bangun di dunia yang sakit ini," balasnya aneh dengan kata-kata pedas seperti biasa.
"Apa-apaan kau ini? Sudahlah, aku akan mencari sungai sebentar dan kita lanjutkan ke perjalanan ke Bartham," sahutku sambil berjalan pelan.
Sang surya pagi tak sungkan mengenai diriku, seolah sengaja menyapaku dengan ramah. Kulihat bayanganku yang juga ikut berjalan di belakang, tersenyum kecil aku melihat Silbi yang diam saja. Saat ia diam seperti ini, rasanya dia seperti bayangan biasa yang sedang berjalan di atas rerumputan dan bukan sesuatu yang hidup.
"Kenapa kau tersenyum? Kau mulai gila atau mulai lapar?"
Tanyanya membuatku terkekeh, jika ada orang yang melihatku bicara dengan bayanganku sendiri mungkin aku sudah dianggap gila dari dulu. Untungnya dalam pelarianku selama ini, Silbi tak pernah menunjukkan dirinya saat aku berinteraksi dengan orang lain. Mungkin itu nilai plus baginya selain keberadaannya yang selalu menemaniku ke mana pun aku pergi.
Tunggu sebentar, rasanya aku mendengar sesuatu yang mengalir dari balik rimbun semak di hadapanku. Ah, ternyata benar! Ada anak sungai di balik semak tersebut, tanpa basa-basi ingin segera kucuci muka untuk menghilangkan sisa rasa kantuk. Kuturuni tanah yang miring ke bawah itu dengan cepat, untungnya tak begitu terjal. Terasa dingin air sungai ini saat mengenai tangan dan lantas kubasuh wajahku beberapa kali. Sejenak kulihat cerminan diriku yang tampak di atas sungai, entah kenapa aku tak suka dengan kumis tipis dan rambutku yang mulai memanjang. Tapi sepertinya usia dua pilih tiga tahun memang harus seperti ini.
"Apa kau sudah selesai? Kapan kita ke Bartham?" tanya Silbi yang sedari tadi diam.
"Ya, ya, baiklah, kita pergi sekarang," balasku sambil merapikan posisi belatiku di pinggang.
Kembali kulangkahkan kaki menyusuri hutan, sebenarnya aku juga mendengar desas-desus jika Bartham adalah wilayah asal mula para pertapa. Mereka adalah yang di tuakan di segala penjuru bumi Montrea, orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang kehidupan empat alam. Orang-orang suci yang dapat terhubung dengan empat alam lain, itu menarik bagiku. Aku akan bertanya sesuatu jika berhasil bertemu dengan mereka, Silbi tentunya tak tahu jika pelarianku di Bartham tak hanya menghindar dari perang. Tentu, aku punya maksud tersendiri untuk memasuki wilayah musuh Ra-Herl tersebut.
Tiga tahun dalam keadaan tak tentu, terkadang aku menertawakan diriku yang tak bisa berbuat banyak untuk kampung halamanku. Bayangan peristiwa demi peristiwa yang memanas di Ra-Herl masih terbersit dalam ingatanku. Tajam dan nyaring suaranya saat pedang beradu pedang, setiap tombak yang di hunuskan dengan kemarahan, bara api dan racun yang di jatuhkan dari langit lewat serbuan panah, aku ingat beberapa anak kecil berlarian dengan tangis dan darah yang mengalir dari pelipisnya, aku tak tahu apa yang kurasakan saat itu, apa semua ini sebuah hukuman?. Sudahlah, ini bukan waktunya memikirkan itu, yang terpenting sekarang adalah menghindar untuk sementara waktu. Lagi pula aku menjauh juga karena terpaksa, di satu sisi dunia benar-benar gelap bagiku. Atau memang sengaja menggelapkan dirinya, membuat manusia saling memusuhi satu sama lain.
"Kau tahu jalannya? Kenapa belum ada tembok perbatasan dari tadi?"
Ah, benar juga! Pertanyaan Silbi ada benarnya. Kurasa langkahku memang semakin ke timur, tapi belum ada tanda-tanda perbatasan kerajaan.
"Mungkin masih jauh," balasku yang memang aku tak tahu.
"Orang bodoh yang berjalan dengan ketidaktahuan, payah sekali," sahutnya seperti biasa.
Untung aku sudah biasa dengan celotehnya yang pedas, mungkin itu efek samping dari dia yang selalu bersamaku. Tapi tetap saja, perkenalan kami juga butuh proses, awalnya aku penasaran, dia ini apa? Tapi dugaanku dia ini salah satu ras mistik yang hidup di Alam Salfoph, dunia lain yang berseberangan dengan dunia manusia.
"Silbi, kau itu sebenarnya apa?" iseng kutanya dia, meski aku tahu ia tak suka pertanyaan macam ini.
"Kau bodoh ya? Tentu aku bayanganmu!" jawabnya ketus.
"Lalu kau berasal dari mana?" kutanya sekali lagi.
"Kau ini kenapa? Bukankah sudah jelas, bayangan berasal dari pemiliknya? Kau semakin aneh akhir-akhir ini," balasnya yang tak masuk akal menurutku.
Benar saja, ia selalu menghindar menjawab pertanyaan semacam itu, mungkin ia tak nyaman jika harus mengungkapkan kebenarannya. Begini saja juga tak masalah bagiku, dari pada aku berjalan sendiri tak tentu arah.
"Lupakan saja, kau tahu Silbi? Mungkin aneh jika aku berbicara dengan bayanganku sendiri, dan mungkin aku satu-satunya orang yang melakukan itu, tapi ini lebih baik dari pada melakukan perjalanan tak jelas tanpa seorang teman di sampingmu," kataku mencoba menyairkan suasana.
"Apa maksudnya itu? Apa kau berpikir hanya kau saja yang seperti ini?"
"Hei! Lihat itu!" seruku terkaget melihat sesuatu.
Memang agak jauh dari tempatku berdiri, tapi bangunan besar dari batu yang berdiri kokoh itu berhasil kutemukan. Beberapa tentara kerajaan sedang berjaga di atas bangunan yang memanjang tersebut. Barthalaraya Hamipuracha yang tertulis di dinding batuannya, zirah hijau gelap yang di kenakan prajuritnya, tak salah lagi! Itu memang gerbang perbatasan Bartham, Tanah Para Petapa Barthalaraya.
"Akhirnya, tapi orang-orang itu kelihatannya tak ramah, bagaimana menurutmu, Silbi?" tanyaku
"Bunuh saja," usul singkatnya yang tak masuk akal.
Sejenak kupikirkan cara yang paling mungkin kulakukan, dari lima pintu yang ada hanya dua yang terbuka. Beberapa orang tua sedang memasukinya, tapi tak mungkin mereka pengungsi dari Ra-Herl melihat keadaan mereka tampak baik-baik saja.
SLLLAAAAPPPPP
"Apa ini!" seruku terkaget.
Tiba-tiba saja sebuah akar melilit kedua kakiku, agak keras ia menjatuhkanku di tanah. Sial, kulihat beberapa akar lagi sedang merambat mendekatiku.
"Sudah kubilang bunuh saja, bodoh," celoteh Silbi yang tak paham dengan situasi sekarang.
Lima akar pohon itu dengan cepat melilit kaki, tangan, dan tubuhku, belenggunya semakin keras kurasakan. Sial, aku mulai kesulitan bernafas, akar ini benar-benar melumpuhkanku.
"Kau tertangkap penyusup," ucap suara berat seorang pria di belakangku yang mengacungkan tombaknya.
Terasa ujung tajamnya mengenai belakang kepalaku, aku sama sekali tak bisa melihat siapa dia ini?. Pandanganku memudar untuk sementara, kurasakan ia menarik jubahku, apa terjadi denganku? Akar ini mempunyai bau yang aneh, apa karena aku telah menghirupnya?.
Berat sekali, kucoba beberapa kali membuka mata dan tetap saja gagal. Kurasa tubuhku sedang diseret di atas tanah. Sepertinya orang ini membawaku dengan paksa ke depan kerumunan tentara yang sedang berjaga. Kudengar beberapa orang sedang tertawa, lainnya lagi langsung mengumpatku tanpa sungkan. Dalam kondisi seperti ini, pendengaranku lah yang kuandalkan, rasanya kesadaranku mulai lenyap perlahan. Mataku sama sekali tak bisa kubuka tak peduli seberapa keras aku mencobanya. Menghanyutkan, rasanya menghanyutkan... semuanya....