Chereads / Love and Eternity / Chapter 1 - Zona Merah Rumania

Love and Eternity

AditaKP
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 3.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Zona Merah Rumania

"Aku tidak akan membiarkanmu berangkat ke sana, Emily. Di sana sangat berbahaya. Keturunan vampir dari sekte kesembilan, masih hidup sampai sekarang." Wajah Aldrich tampak pucat ketika mengatakan hal tersebut kepada Emily, adik satu-satunya yang sedang memasukkan pakaian ke dalam koper.

Emily hanya memutar bola mata ke atas sembari mencebik bibir. Permen karet yang sudah hambar di dalam mulutnya, masih terus dikunyah demi mengurangi kekesalan terhadap sang kakak yang terus saja mengomelinya sejak tadi.

"Apa aku harus mendengarkan bualan konyol dari seseorang yang menghabiskan waktunya untuk membaca dan menonton kisah tentang vampir setiap hari? Dracula, The Dark Blood, Vampire Academy. Kau terlalu banyak berkhayal dengan buku-buku itu." Emily menyungging senyum. Gadis tidak sama sekali tidak tertarik dengan peringatan dari sang kakak.

Merasa diacuhkan, Aldrich pun terpaksa menarik pergelangan tangan Emily agar gadis itu mendekat. Baju dalam genggaman Emily tak sengaja jatuh ke lantai, bersamaan dengan selembar poster bertuliskan 'Lamaran Pekerjaan'.

Emily menatap kesal ke arah Aldrich. Sementara Aldrich, dengan sigap mengambil poster itu dari lantai dan langsung membacanya.

"Lowongan kasir. Di Bukares?" Aldrich mengernyitkan dahi, lalu beralih menatap Emily dengan wajah ragu.

"Ya, kau kira apa? Aku akan melamar di perusahaan besar dan mengambil posisi sebagai kepala staf keuangan? Jangan bercanda! Aku tidak sepertimu yang selalu dielu-elukan Ibu dan Ayah sebagai lulusan camlaude yang sebentar lagi akan bekerja di perusahaan asing. Aku hanya lulusan sekolah menengah. Dan kau tahu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Kau!" Telunjuk Emily kini mengarah tepat ke dahi kakaknya.

"Seluruh saham dan aset milik Ayah sudah terjual habis untuk biaya sekolahmu. Sementara aku, tidak mendapat kesempatan itu." Wajah gadis berambut cokelat itu memerah dengan mata yang tampak berkaca-kaca menatap sang kakak.

"Kau selalu menasihatiku untuk bersabar sampai tahun depan. Setidaknya, sampai kau punya tabungan untuk memasukkanku ke Universitas. Maksudmu, aku harus sukarela mendengar ceramah Ibu karena melihat anak gadisnya hanya makan tidur seharian? Tidak, Aldrich!" Emily mengambil alih selebaran dari tangan Aldrich, meremasnya, lalu membuangnya ke lantai.

Aldrich menelan ludah. Ia merasa, Emily sudah salah menilai sikapnya. Pemuda berkulit putih dengan sorot mata tajam itu tidak sama sekali berniat menyinggung. Aldrich hanya ingin Emily mengurungkan niat untuk pergi ke wilayah pedalaman Rumania karena hal itu sangat berbahaya. Pasalnya, ia sempat mendengar bahwa Emely akan pergi ke sana.

Akan tetapi, setelah melihat poster lowongan pekerjaan yang tidak sengaja terjatuh tadi, Aldrich merasa sedikit lega. Bukares adalah kota besar yang aman. Terutama dari teror makhluk pemburu keabadian yang masih belum terlacak keberadaannya sampai sekarang. Meskipun tidak bisa menghentikan Emily yang sangat ingin meninggalkan rumah untuk bekerja, setidaknya Aldrich tahu ke mana tujuan adik kesayangannya itu pergi.

Aldrich yang merupakan lulusan S1 program pendidikan Sains dan Teknologi, sudah hampir 2 tahun bergabung dengan komunitas 'Immortal Hunter' yang anggotanya adalah para ilmuan dan pendeta dari beberapa gereja besar di Benua Eropa. Sejak saat itu, ia banyak tahu mengenai sejarah munculnya vampir dan pola kehidupan mereka yang patut diwaspadai oleh manusia.

Bukan tanpa alasan Aldrich begitu posesif terhadap sang adik. Sejak Emily menyuarakan keinginannya pergi ke Transylvania, sebuah kota terpencil di dataran Rumania untuk memenuhi panggilan kerja, Aldrick secara terang-terangan menolaknya. Bahkan, pemuda itu sampai berani mengancam akan membunuh Emily jika nekat pergi.

Aldrich yang mengetahui tentang konspirasi besar koloni vampir yang diprediksi terjadi dalam waktu dekat ini, sangat takut adiknya mengalami hal buruk jika memaksakan diri pergi ke wilayah itu. Menurut Aldrich dan beberapa teman komunitasnya, wilayah pedalaman Rumania sangatlah berbahaya. Di sana terdapat sejarah lahirnya vampir pertama yang hingga saat ini diyakini masih hidup.

Sekitar satu bulan lalu, para peneliti senior dari Komunitas Immortal Hunter, telah menurunkan surat peringatan yang sudah disebar luaskan ke seluruh biara wilayah Eropa bagian tengah. Surat edaran tersebut bertujuan agar pengurus gereja mengimbau kepada para jemaatnya, untuk tidak melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang sudah diberi tanda zona merah pada masa seminggu sebelum dan sesudah malam pergantian tahun.

Setidaknya, ada sembilan titik yang sudah ditetapkan sebagai wilayah terkutuk oleh tim peneliti komunitas pemburu vampir. Dari sembilan titik itu, Transylvania adalah salah satu satunya.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir, menunjukkan akan adanya siklus kelahiran koloni vampir baru yang biasa terjadi selama seribu tahun sekali. Siklus tersebut jatuh tepat di malam pergantian tahun. Jika peristiwa itu terjadi, bulan purnama tidak akan muncul dan kabut hitam akan menyelimuti seluruh langit di dataran Eropa.

Untuk menyambut kelahiran koloni baru, para vampir tertua akan keluar mencari mangsa lebih banyak dari biasanya. Hal itu mereka lakukan agar bayi-bayi vampir yang akan lahir mendapat asupan darah yang cukup. Oleh sebab itulah, tim dari komunitas Immortal Hunter sangat menekan kepada seluruh warga, khususnya di wilayah ber zona merah, untuk tidak keluar rumah dalam waktu yang sudah ditentukan.

Berita besar itu tentu membuat Aldrich merasa khawatir. Terlebih, ketika tahu bahwa adiknya hendak pergi meninggalkan rumah.

"Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu. Jika tidak ada hal lain yang ingin kau katakan lagi, lekas pergi dari kamarku!" seru Emily yang langsung melanjutkan pekerjaannya mengemasi barang-barang.

Tidak ada yang bisa Aldrich lakukan selain menarik diri. Ia tidak ingin melanjutkan perdebatan panjang dengan Emily yang sudah dapat dipastikan tidak akan mencapai titik terang.

"Baiklah, aku tahu aku tidak akan berhasil mencegahmu pergi. Tapi, tetaplah berjaga-jaga di mana pun kamu berada." Aldrich menepuk bahu Emily sebelum melangkah keluar kamar.

"Tentu! Aku bukan lagi anak perempuan berusia enam tahun yang selalu meneriaki namamu saat ketakutan. Aku adalah Emily, gadis sembilan belas tahun yang bisa hidup mandiri dan tidak akan menjadi beban kalian lagi," ucap Emily seraya melirik sinis ke arah Aldrich.

Aldrich lagi-lagi harus menari napas dalam-dalam. Ia sangat menyayangkan sikap keras kepala Emily yang selalu menganggapnya musuh di rumah, bukan sebagai kakak yang sangat memedulikan adiknya.

"Terserah kau mau menganggapku apa. Sekeras apa pun sikapmu, sebenci apa pun dirimu terhadapku, aku yakin, kau akan tetap mencari-cariku saat dalam kesusahan. Seperti yang selalu kau lakukan sewaktu tubuhmu masih setinggi meja makan." Hati Aldrich meracau, diiringi langkah berat meninggalkan kamar adik kesayangannya.

Setelah Aldrich keluar, Emily terduduk di tepi tempat tidur kayu yang tampak berantakan dengan berbagai macam barang. Gadis itu melayangkan tatapan sedih ke setiap sudut ruangan yang sejak sembilan belas tahun ia gunakan untuk meluapkan segala rasa.

Bukan sekadar tempat beristirahat. Bagi Emily, kamar adalah satu-satunya spot ternyaman dalam rumah. Di ruangan bernuansa merah muda itu, Emily selalu merasa tenang. Tidak ada Omelan, tidak ada siraman rohani yang membosankan dari para anggota keluarganya, terutama Ibu.

Emily sering merasa tertekan. Namun, bukan berarti ia senang meninggalkan ruangan yang penuh dengan kenangan itu. Emily benar-benar akan merindukan kamarnya. Meski begitu, ia tetap berjanji akan kembali satu tahun lagi.

"Aku hanya pergi selama 365 hari. Setelah itu, aku berjanji akan kembali ke sini," ucap gadis itu sedih.

***

Di tempat lain di sebuah kastel di pedalaman Rumania, seorang pemuda berwajah pucat tengah berbaring di dalam peti mati beralas beludru tebal berwarna merah.