Empat jam telah berlalu. Kereta yang Emily naiki kini tiba di stasiun Bukares. Banyak penumpang berbondong-bondong keluar dari gerbong. Kota Bukares memang selalu menjadi tujuan utama para penumpang yang memang berprofesi sebagai pekerja atau mahasiswa di kota tersebut.
Di sudut bangku gerbong terakhir, Emily tampak begitu pulas sampai tak terasa kereta yang ditumpanginya berhenti. Riuh suara langkah penumpang yang berjalan di koridor, tidak sama sekali membuatnya terganggu atau mengubah posisi tidur walau sedikit pun.
Saat kereta kembali melaju, wajah Emily tiba-tiba menampakkan ketakutan. Mata gadis itu masih tertutup rapat. Namun, bibir merah mudanya bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tercekat di tenggorokan.
Laju kereta semakin cepat. Emily yang hanya duduk seorang diri, semakin terlihat mengkhawatirkan. Wajah ovalnya tampak memucat. Lelehan keringat pun, tak berhenti mengalir dari atas dahi hingga ke dagunya yang runcing.
Sayangnya, beberapa penumpang yang masih duduk di gerbong terakhir, sama-sama tertidur dan tidak ada yang menyadari gelagat aneh Emily. Sampai kereta mulai meninggalkan kota dan menuju wilayah pegunungan yang berkabut, Emily pun berteriak kencang menyebutkan nama seseorang.
"Ardrich, tolong aku!"
Mendengar teriakan itu, seluruh penumpang pun kaget dan kompak menengok ke arah barisan kursi paling belakang. Melihat Emily yang tampak tertidur pulas, mereka menganggap gadis itu hanya sedang mengigau.
Merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Emily, para penumpang pun kembali melanjutkan tidur yang sempat terganggu.
***
Emily berlari di lorong sempit yang gelap dan pengap. Pakaian bangsawan merah tua yang gadis itu kenakan, tampak koyak sehingga memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya yang terluka.
Emily berlari dan terus berlari tanpa henti. Ia tidak tahu lorong panjang itu akan bermuara ke mana. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah, bisa bebas dari kejaran koloni vampir yang ingin menjadikannya tumbal persembahan.
"Aldrich, tolong aku!" ucap Emily di tengah upayanya berlari sekuat tenaga. Gadis bermata biru itu sesekali meringis kala kakinya yang tanpa alas, menginjak pecahan kaca yang entah dari mana asalnya.
Bunyi lonceng di atas kastel, seolah-olah memberikan pertanda bahwa ada seseorang yang ingin melarikan diri dari sana. Emily tidak sedikit pun peduli dengan suara bising itu. Ia justru tertarik dengan sebuah pintu di ujung lorong yang entah akan membawanya ke mana.
Emily perlahan-lahan menghentikan lari saat dirinya telah dekat dengan pintu. Matanya sempat menelisik ke kiri dan kanan. Ternyata lorong itu buntu dan pintu di hadapannya adalah satu-satunya jalan untuk melarikan diri.
Dua tangan Emily yang terbungkus sarung berbahan brokat transparan, meremas dada begitu kuat. Ia sedang mencoba menetralkan jantungnya yang berdetak tak beraturan. Berlari dengan mengenakan gaun panjang khas pengantin, membuatnya begitu kelelahan lantaran seperti sedang membawa beban yang cukup berat.
Sementara jauh di belakang Emily, beberapa vampir anak-anak terbang sambil menunjukkan taring-taring tajamnya. Emily yang mendengar kepakan sayap itu, langsung bergegas meraih gagang pintu dan memasuki ruangan tersebut.
Pintu bergaya kuno khas Eropa tengah itu, segera Emily kunci dengan merentangkan balok besar di tengah-tengah lubang pijakan berbentuk vertikal. Ia berharap, para vampir tidak mengejarnya sampai sini. Karena jika mereka sampai menemukan Emily, tidak akan ada kesempatan bagi gadis itu untuk hidup lagi.
Setelah yakin mengunci pintu dengan benar, Emily pun melangkah lebih dalam memasuki ruangan tersebut. Di dalam ruangan itu, banyak sekali lilin-lilin yang menyala, sehingga semua benda dan ornamen-ornamen yang ada di dalamnya, tampak begitu jelas terlihat.
Bola mata Emily tampak berbinar-binar melihat kemewahan yang ada di dalam ruangan itu. Ruangan yang didominasi oleh warna merah dan emas, tampak begitu elegan sampai mata Emily dibuat tak mau berkedip.
Dari deretan furnitur yang ada di dalam ruangan itu, Emily bisa dengan mudah menebak kalau ia sedang berada di dalam sebuah kamar. Entah itu kamar siapa. Namun, Emily berharap bukan lagi seorang vampir yang menjadi penghuni kamar tersebut.
Dari dekat, Emily melihat tempat tidur mewah yang dikelilingi tiang-tiang penyangga berhias gorden tipis berwarna putih di sekelilingnya. Gadis itu ingin sekali berkeliling mengeksplorasi ornamen unik dalam ruangan tersebut. Namun sayangnya, ini bukanlah waktu yang tepat karena Emily harus segera keluar dari sana.
"Aku harus ke mana?" ucap Emily kebingungan.
Di ujung ruangan, terdapat cermin besar berukir emas yang langsung berhasil menarik perhatian Emily. Gadis itu gegas mendekat dan ia pun terkejut melihat penampakan bayangan tubuhnya dari pantulan cermin.
"Wajahku?" Emily terperangah melihat keadaan dirinya yang memperhatikan. Ia sempat terkagum-kagum melihat wajahnya yang cantik seperti seorang ratu. Namun, ia langsung terkejut ketika melihat pakaian yang dikenakan, berantakan.
Gaun yang Emily pakai, tampak koyak di mana-mana dan terdapat goresan luka seperti bekas cakaran di areal bahu, perut, punggung, dan kedua paha gadis itu.
Emily sontak menutup mulutnya tak percaya. Ia benar-benar tidak ingat apa-apa selain hanya berlari dan berusaha bersembunyi dari kejaran vampir.
"kenapa aku bisa ada di sini?" Emily menutup mulut tak percaya. Matanya kemudian terpejam, sambil berusaha mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya kini.
Sial, Emily tetap tidak mengingat apa-apa. Sampai ketika gadis itu membuka mata, ia pun terkejut melihat seorang pria sudah berdiri di belakangnya.
"Kau sangat cantik malam ini, Sayang. Aku tidak sabar untuk menikmatimu," ucap pria yang memakai blazer merah dengan paduan dasi kupu-kupu berwarna emas, sambil memeluk tubuh Emily erat-erat.
Seperti terhipnotis, tubuh Emily mendadak lemah tak berdaya setelah disentuh oleh pria pemilik rahang keras dan berkulit pucat itu. Emily hanya pasrah ketika tubuhnya digendong dan dibaringkan di atas tempat tidur. Pria yang mengikat rambutnya yang sebahu itu, mulai membuka blazer dan melepaskan satu persatu kancing baju yang dikenakan.
Mata Emily terbelalak. Terlebih saat ia melihat tubuh atletik di balik pakaian bangsawan itu. Ia ingin sekali berteriak agar pria tersebut berhenti melepaskan pakaiannya. Namun, bibir Emily tak bisa terbuka, seperti ada lem yang menempel di sela-sela bibir tipisnya.
"Jangan takut, Sayang! Aku akan melakukannya dengan penuh cinta agar kau juga ikut merasakan kenikmatannya." Seperti sadar dengan ketakutan gadis di depannya, pria bercambang itu langsung mengeluarkan kata-kata penenang, sambil tangannya mengusap anak rambut Emily yang menjuntai.
Sebagai seorang remaja yang belum pernah sama sekali melakukan hubungan badan dengan teman kencannya, perkataan dari pria itu sungguh membuat Emily semakin ketakutan.
"Siapa dia? Apa yang dia mau dariku?" Batin Emily terus meracau di tengah ingatannya yang masih belum kembali.
Emily benar-benar kebingungan. Namun, ketampanan pria itu seolah-olah menyihirnya dan membuat Emily semakin menikmati sentuhan lembut sang pria, saat melepaskan satu persatu pakaian yang dikenakannya.