Pukul 09.32. Emily keluar kamar dengan membawa koper besar dan ransel di pundaknya. Seluruh anggota keluarga menatap heran, kecuali Aldrich yang sudah lebih dahulu tahu rencana Emily yang akan pergi hari ini.
Alice, wanita empat puluh tiga tahun yang selalu menggulung rambut di atas kepala itu, tak hentinya memandang Emily dari atas kepala hingga ujung kaki. Kedua tangannya sedang sibuk mengelap piring. Namun, ia tidak sama sekali berminat menegur putrinya yang tampak seperti orang yang ingin kabur dari rumah.
"Hey! Apakah kamu akan pergi ke perkemahan musim gugur, Sayang?" Tuan Ebert meledek putrinya dengan mulut penuh makanan pembuka.
Sementara itu, Aldrich hanya diam di depan ayah ibunya. Hati kecilnya ingin sekali mencegah, tetapi ia tidak sampai hati menyakiti perasaan Emily lagi.
Lagi pula, pemuda itu telah tahu ke mana tujuan Emily pergi. Itu sepertinya sudah cukup membuatnya yakin bahwa Emily akan baik-baik saja di sana.
Emily berdiri di antara ketiga anggota keluarga dengan memasang wajah acuh. Namun, kali ini ia harus mengesampingkan ego karena bagaimana pun, Emily butuh izin dari mereka.
"Aku akan pergi ke Bukares untuk panggilan kerja. Jika aku diterima, mungkin aku tidak akan pulang selama satu tahun." Tanpa ragu, Emily langsung menyampaikan keinginannya.
Kunyahan makaroni panggang seketika menyembur dari mulut Tuan Albert. Nyonya Alice yang sedari tadi sibuk dengan peralatan makan pun, langsung meletakkan serbet di atas meja, lalu menyilang tangan di depan dada.
"Apa kamu yakin, Sayang? Kau tidak perlu bekerja karena Ayah dan kakakmu sudah melakukan itu." Tuan Albert berdiri dan langsung menggenggam tangan Emily penuh kasih.
Emily menggeleng. Perlahan-lahan, ia menarik jemarinya hingga tautan tangan dengan sang ayah terlepas.
"Biarkan saja dia pergi. Lagi pula, tidak ada yang bisa ia kerjakan di rumah selain tidur dan menonton film di kamar. Aku rasa, akan lebih baik jika Emily mengambil pekerjaan itu untuk pengalamannya." Nyonya Alice tampak begitu tenang. Raut wajahnya tidak sama sekali memperlihatkan rasa kehilangan seorang Ibu yang akan ditinggal pergi lama oleh putri kesayangannya.
"Tapi, Sayang, kau akan kerja apa di sana?" Tuan Albert masih belum yakin. Ia terlalu khawatir membiarkan Emily jauh dari rumah meskipun usianya telah cukup bagi gadis itu hidup mandiri.
"Emily akan bekerja di Minimarket. Tenang saja, aku sudah simpan alamatnya." Aldrich tiba-tiba menyambung sambil mengangkat selembar kertas kusut. Rupanya, pemuda itu sempat mengambil selebaran lowongan pekerjaan yang sempat Emily buang sebelum keluar dari kamar.
Emily lagi-lagi menyoroti sang kakak dengan tatapan sinis. Namun setelahnya, lengkungan manis tiba-tiba tergambar dari wajah oval yang nyaris tanpa cela.
"Ya. Aku akan bekerja di sana. Kalian tidak perlu khawatir. Aku hanya akan mengambil kontrak satu tahun. Setelah itu, aku akan kembali untuk melanjutkan pendidikan seperti yang kalian harapkan kepada Aldrich," pungkas Emily disertai senyum menyindir. Ia berhasil membuat Aldrich dan Tuan Albert tertunduk malu, kecuali Nyonya Alice yang terlihat puas dengan keputusannya.
Bunyi klakson dari luar, berhasil menyudahi obrolan dingin di antara anggota keluarga itu. Taxi yang Emily pesan sudah sampai. Ia pun segera keluar dengan menarik barang-barang bawaannya.
Tuan Albert membantu membawakan ransel Emily. Sementara Ardrich, dengan sigap memasukkan koper sang adik ke dalam bagasi.
"Jaga dirimu baik-baik, Sayang! Ayah akan merindukanmu," ucap Tuan Albert dari balik kaca penumpang.
Emily yang sudah berada di dalam mobil, hanya menanggapi perkataan Tuan Albert dengan lambaian tangan. Ini adalah kali pertama ia pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang lama. Berat bagi Emily berpisah dengan sang ayah yang merupakan satu-satunya orang yang peduli terhadapnya.
Meski begitu, Emily tetap memilih melanjutkan rencana yang telah ia pikirkan matang-matang. Emily ingin membuktikan kepada semua orang, bahwa ia bisa hidup mandiri tanpa membebani siapa pun, termasuk Nyonya Alice, ibu kandung yang telah ia anggap sebagai ibu tiri.
Buliran air mata mengiringi perjalanan Emily menuju tempat barunya. Rumah-rumah di tepi jalan seolah-olah turut melambai mengantarnya pergi. Getaran ponsel di saku sweater, berhasil membuat Emily menyeka matanya. Ia lantas mengambil benda persegi panjang itu, kemudian membuka isi pesan yang tertera di depan layar.
[lekas beri kabar jika kau sudah sampai di Bukares. Aku menunggu]
Sebuah pesan singkat dari nomor bertuliskan nama Aldrich, ternyata tidak sama sekali mampu membuang amarah dalam hati Emily. Nyatanya, gadis itu tetap sungkan membalas. Ia memilih menaruh kembali ponsel ke dalam saku, lalu merebahkan kepala sejenak sebelum tiba di stasiun keberangkatan.
Tidak sampai dua puluh menit, Emily pun tiba di stasiun Constanta yang memiliki gedung pusat informasi tiga lantai. Emily hampir terlambat. Ia tiba di sana tujuh menit sebelum kereta berangkat.
Beruntung, antrean karcis tidak begitu panjang. Emily jadi punya kesempatan untuk ikut keberangkatan rute kedua dan tidak harus menunggu beberapa jam lagi untuk rute selanjutnya.
"29 Dollar," ucap pria penjaga loket.
Emily pun langsung merogoh saku kiri tas dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalamnya.
"Ba-banyak sekali?" Emily terkejut ketika melihat banyak sekali uang di dalam ransel. Seingatnya, ia hanya menyimpan tiga lembar uang sepuluh Dollar untuk membayar tiket kereta. Lalu, dari mana uang sebanyak itu?
Rupanya, sang kakak diam-diam memasukkan uang saat membantu membawa ransel ke mobil. Emily tidak sedikit pun mengetahui hal itu. Ia menyangka, bahwa ini adalah berkat Tuhan yang begitu baik memberinya tambahan uang.
Dengan wajah riang, Emily bergegas menuju gerbong dan duduk di kursi paling belakang. Seluruh barang bawaannya telah ia letakkan di bagasi atas. Pagi ini, Emily sangat siap menjalani hidup barunya di Transylvania.
"Maafkan aku, Ardrich. Aku terpaksa membohongimu dengan mengatakan akan pergi ke Bukares. Karena aku yakin, kau pasti akan melarangku pergi ke Transylvania karena kau dan komunitasmu, telah mengutuk tempat itu sebagai sarang vampir. Sayangnya, aku tidak sama sekali mempercayai itu." Batin Emily meracau.
Suara peluit lokomotif menandakan bahwa kereta akan melaju beberapa saat lagi. Emily yang sudah mengetahui perjalanannya kali ini akan ditempuh dalam waktu yang cukup lama, memilih menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata.
Roda-roda kereta pun mulai berputar perlahan. Kereta yang dinaiki Emily, melaju semakin cepat meninggalkan Stasiun Constanta menuju pemberhentian selanjutnya. Emily tampak begitu pulas sampai tidak sadar, satu persatu penumpang lain telah turun.
Selama hampir empat jam kereta melaju, hanya menyisakan Emily yang tertidur dalam satu gerbong. Gerbong-gerbong lainnya pun hanya berisi empat sampai lima orang saja.
Perjalanan menuju Kota Transylvania, memang selalu sedikit penumpang. Hal itu dikarenakan adanya rumor tentang keberadaan koloni vampir pada wilayah dataran tinggi itu.
Rumor tersebut mengakibatkan para pelancong maupun turis mancanegara, enggan mengunjungi daerah tersebut. Selain dikenal dengan tempat munculnya vampir pertama kali, Transylvania juga dikenal karena kastel-kastel kuno bersejarah yang banyak menyimpan cerita mistis di sana.