Tok. Tok.
"Masuk."
Alvin membuka pintu kamarku, melihatku yang sedang mengerjakan PR. Aku menoleh ke arahnya sekilas, lalu tersenyum untuk sekedar menyapa, lalu fokus kembali mencoret-coret di atas selembar kertas.
"Apa aku mengganggumu?" tanya Alvin di sampingku. Tangannya bersandar pada meja.
"Nggak."
"Apa saat aku bertanya kamu terganggu?"
"Nggak."
"Apa menjawab pertanyaanku membuatmu emosi?"
Aku berhenti menulis dan menatapnya geram, senyum terpaksa ku buat di bibirku, "nggak, kok."
"Kamu lagi ngapain?"
Baru saja aku hendak melanjutkan lagi tugasku, Alvin memancing emosiku. Aku menatapnya tajam.
"Oh, oke. Aku cuma mau bercanda sama kamu."
Aku melanjutkan tugasku kembali. Tapi, kali ini aku merasa gugup. Alvin tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mengerjakan PR sembari di lihat oleh orang lain itu mengurangi tingkat percaya diriku. Dan, kenapa dia menjengukku di saat aku mengerjakan PR matematika?
"Kenapa kamu tidak menulis? Ini sangat gampang!" ucapnya mengambil buku paket matematika milikku.
Aku mendongahkan kepala, "Oh, Ya?"
"Ya."—"Alvin menatapku—" bahkan saat SMP aku sudah menguasainya."
"Aku serius!" tegasnya mengerti arti ekspresiku. Ia mengambil kertas kosong di dekatku dan merebut pulpen yang ku pegang. Soal nomor satu ia kerjakan karena aku belum mengerjakkan satu soal pun. Tak ada lima menit jawaban sudah terukir di kertas kosong itu. Aku terkejut di buatnya.
"Aku tidak bohong, kan?!" Alvin mengangkat kedua alisnya yang tebal.
Aku bungkam, dalam hati tersenyum miring. Kenapa tidak ku manfaatkan kesempatan ini? Sadar dari lamunanku, aku menatapnya remeh sambil berkata, "gak percaya kalo cuma satu soal doang."
"Apa?"
Alvin mengambil kertas kosong kembali dan mengerjakannya. Responku sama seperti yang ku lakukan di awal ia mengerjakan soal itu. Akhirnya, Alvin menarikku berdiri dari kursi belajarku dan duduk di sana mengerjakan soal-soal yang lain. Aku melihatnya dengan senyum sumringah.
"Wow! Sepuluh menit untuk sepuluh soal? Hp gue aja belum penuh ngecharge, PR gue udah selesai." aku melihat lima kertas yang berisi jawaban PR-ku, lalu meletakannya di dalam tas. "Nyalinnya besok aja, kumpulinnya hari sabtu ini."
"Hei! Kamu manfaati aku?" protesnya.
"Bukan gue loh, yang suruh lo kerjain soal itu," ucapku merentangkan tangan. Alvin mendengus kesal.
*****
"Pah, aku udah di kasih uang jajan sama Mama." aku menatap heran uang lima puluh ribu yang sudah di tanganku dari Papa.
Pagi ini aku mendapat uang jajan dua kali.
"Papa baru saja mendapatkan bonus dari keluarga Alvin. Dia berpesan, kamu harus belajar dengan rajin." papa mengelus rambutku yang terbalut jilbab dan mencium ujung kepalaku lalu pergi ke ruang kerjanya. Aku mentapnya tidak percaya, benar kah?
"Ta, Ayo. Berangkat," ajak Rio yang menggenggap sebuah apel di tangan kirinya.
"Ayo!"
Aku tidak menyangka, bonus uang jajanku akan datang secepat ini. Rencananya aku akan melaksanakan agendaku hari senin, tapi hari jum'at datangnya. Rejeky anak soleh.
"Ta, oy! Kenapa lo senyum-senyum Gitu? Kaya orang gila." -Rio menatapku sekilas-"di depan kompleks kan ada orang gila yang seumuran sama kita itu gue comblangin cocok dah."
Aku memukul kepala Rio, "enak aja!"
Sesampainya di sekola, untuk ke kelas kita melewati kelas junior. Seperti biasa, Rio melongok mencari Cinta, untung aja hari ini gue dapet rejeky jadinya gue gak terlalu patah hati.
"Ta, Cinta cantik yah kalo pake jilbab." Rio menyenggol pundakku. Menunjuk Cinta dengan dagunya.
"Ah elah, cemen lo liatin doang. Kalo suka ya samperin dong!" ledekku.
"Enggak, ah."
"Kenapa?"
"Karena aku sayang kamuu...."
"Ish, gak jelas lo!"
"Iyah, aku gak jelas gini karena aku sayang kamu...."
"Yo, obat lo abis yah?"
"Iyah, obatku abis karena aku sayang kamuuu..."
"Sekali lagi lo bilang 'karena aku sayang kamu' gue seret lo ke KUA!" tegasku yang akhirnya Rio bungkam. Aku berjalan mendahului langkahnya dan mendengar tawa Rio meledak.
*****
"Kak," aku yang sedang membenarkan jilbab di westafel kamar mandi sekolah melihat wajah cinta di pantulan cermin. Lantas aku berbalik dan mengaitkan peniti di jilbabku. Arti pandangku seolah bertanya 'ada apa?' padanya.
"Lo, suka sama Rio?" tanyanya.
Aku menatapnya tidak percaya, "apa lo pantas tanya ini pada kaka kelas?"
"Iya. gue sayang sama dia begitu juga sebaliknya. Lo bisa kan jaga jarak sama dia karena di sini hati pacarnya terombang-ambing karena lo dekat-dekat dengan pacar orang?!" ucap Cinta sedikit tegas, kemudian pergi dariku.
Aku menatap kepergiannya. Kenapa tuh anak? Aneh banget.
Rio memanggil ketika aku melewati lapangan basket. Laki-laki berkaos putih polos itu menghentikan permainannya dan segera menghampiri ku setelah mengambil kemeja putihnya yang tersampir di pagar lapangan lalu memakainya.
"Bawa minum gak?" tanyanya
"Enggak. Lo bukannya bilang, baru aja gue abis dari kamar mandi."
Rio menarik pelan jilbabku ke depan hingga pandanganku tertutup, "suee! Gue di kasih air WC."
Rioo! Jilbab gue bau keringet."
"Enggak ah, wangi." ucapnya menciumi ketek sendiri, aku yang melihatnya merasa jijik. Ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum miring. Kemejanya yang belum terkancing di kibaskan dan mengincarku untuk mengurungnya di sana.
"Rio, jorok ih! Bau keringet jijik!"
"Mending cium air keringat atau air WC?"
"Rio!" Rio menghentikan aksinya.
"Lo teriakin nama gue terus, ngefans yah sama gue?" aku memutar bola mata dan berjalan melewatinya tanpa memperdulikan apa yang terakhir di ucapkan laki-laki itu.
Sepulang sekolah, Rio mengajakku menonton dia bermain futsal setelah ia sholat jum'at. Lawan kelas sebelas IPA ternyata. Well, ada Cinta di sana. Aku duduk di kursi panjang bersama tumpukkan tas Rio, Gilang, Wahyu, Yuda, juga Acil. Aku memeluk lima botol air putih serta lima handuk yang tersampir di pundakku. Di sebrang sana, Cinta memandangku tak sedap.
Aku curiga, Rio mengajakku untuk menjadikanku pembantu.
Tiga puluh menit berlalu, tim Rio menghampiriku. Duduk meluruskan kaki di lantai, aku memutuskan untuk bergabung. Ku ulurkan botol dan minuman ke masing-masing pemain. Tapi, sewaktu ku berikan air itu ke Rio....
"Lo gak lihat gue cape? Tegukin lah?"
Aku memutar bola mata, segeramembuka tutup botol dan menuangkan air pada tutup botol itu lalu mengulurkan ke mulutnya, "nih."
"Apaan air segitu kodok juga gak kerasa." protes Rio di selingi tawa teman-temannya.
"Ya kan gak ada gelas, Coy!" seru Acil.
"Masih mending lo, di kasih air," kata Yuda.
"Lagian, lagak lo kaya anak kecil. Maunya di suapin haha," sela Gilang.
"Tuh, yang belain gue banyak." aku memiringkan kepala.
"Tai, lo semua. Sama cewek tunduk." tawaku dan teman-teman semakin keras. Rio tersiksa dengan ledekan kami. Rasain! Orang tengil di tengilin kan?!
*****