Aku beranjak berdiri dan meraih rancelku, "gak, makasih." langkahku menuju sang barista untuk mengambil pesananku untuk Rio. Setelah membayarnya aku melangkah keluar yang berjalan menuju rumah sakit.
Tentang Alvin? Tak apa aku tinggal, toh dia bisa pulang sendiri.
Sesampainya di kamar rawat Om Rudi, kesedihan kembali menyelimuti hatiku. Rio tengah duduk di samping ayahnya yang masih memejamkan mata. Tangan beliau di genggam erat olehnya, di tuntun menyentuh pipinya, di ciumnya berulang kali. Rio, kapan kamu ceria kembali?
Aku membuka pintu perlahan agar tidak mengganggu, lalu menghampiri Rio yang belum menyadari keberadaanku.
"Nih," ucapku menjulurkan beberapa bungkus makanan padanya.
"Bokap gue belum makan," ucap Rio tanpa melirikku.
"Tapi dia bakal marah kalo lo mogok makan."
"Dia gak tau."
"Tau!" tegasku. "Tuhan yang kasih tau."
Lantas, Rio mengabil bungkusan itu dan menaruhnya di piring yang sudah di sediakan.
Ia mengulurkan piring itu padaku. "Sekali aja gue minta lo jadi ibu gue." pintanya dengan mata yang masih lembam.
Aku tersenyum, mengambil piring itu dan menyuapinya.
"Ternyata, gue gak salah pilih ibu," ucap Rio di sela-sela makannya. "Makasih yah, Ma. Udah ngelahirin aku. Tetap mendukung aku meskipun aku selalu berbuat hal yang tolak belaka dengan apa yang Mama inginkan."
Rio memelukku. Aku tersenyum, biarlah Rio menikmati saat-saat bersama Ibu-nya, meski bukan aslinya.
Tapi, di lain sisi. Aku merasakan sesuatu yng aneh, bukan perasaan damai yang selalu muncul disaat ia memelukku. Rasa ini, membuatku akan merindukan pelukan ini. Membuatku resah dan tak ingin merenggangkan satu senti pun pelukanku padanya.
Entah apa itu?!
*****
Hari ini ku dengar Om Rudi sudah siuman. Jadi, aku memutuskan untuk menjenguknya sepulang sekolah. Tak lupa ku bawa buah-buahan untuk ku berikan pada beliau.
Aku senang, Rio pasti lega karena Papanya sudah melewati masa sulit itu. Akhirnya, aku bisa lihat Rio ceria lagi.
Ku buka pintu kamar rawat Om Rudi dengan ekspresi ceria, namun Rio sudah ada tepat di depanku. "Lo, ikut gue," ucapnya datar. Aku mengikuti arah jalan Rio hingga kami sampai ke belakang rumah sakit. Aku sempat parno karnanya, tapi aku tidak berani bertanya kalo raut wajah dia seperti itu.
Dia berhenti dan berbalik, "lo suka sama gue?"
Mataku terbelalak. Apa maksudnya menanyakan hal ini?
"Jawab!"
Mendengar bentakannya justru aku bungkam. Mataku melihat ke arah lain dan tidak ingin bersinggah di ke dua matanya yang menatapku tajam. Aku takut.
"Gue-"
"Pertanyaan waktu itu. Lo gak bohong dan lo gak sedang menyembunyikan perasaan lo 'kan?!" ucap Rio yang kali ini berteriak.
"Gue gak nyangka, lo manfaatin keadaan," kata Rio terkekeh geli. Aku mengernyit.
"Maksud lo?"
"Gak usah pura-pura, Ta! Gue tau dan gue tau semuanya!!!"—Rio mengudarakan tangannya—"orang tua kita jodohin kita dan lo setuju itu! Haha... Gue gak nyangka bakal nikah sama sahabat gue sendiri. Gue gak nyangka segitu murahnya persahabatan kita sehingga lo bisa menukarnya dengan cinta?!" Alisku mengkerut, raut wajahku pun sudah ingin menangis.
"Kenapa? Nangis? Lo nangis supaya gue bisa maafin lo dan lupain semuanya?" lanjutnya.
Rio menatapku, "maaf, kali ini gak berhasil."
"Your still my best friend, but you miss word 'Best'!" ucap Rio lalu pergi dari hadapanku.
Dan di saat itu juga aku menangis. Tangis yang ku tahan-tahan pun akhirnya pecah. Butiran ini tak kukuh untuk keluar. Perlahan tapi deras, air mataku membanjiri pipiku yang sedari tadi mengembang tak kuasa.
*****
"Kayaknya kita batalin aja rencana kita!" ucapku saat duduk di sebelah Alvin yang sedang menyetir. Aku mengusap air mataku yang tersisa.
"Kenapa?"
"Rio udah tau semua dan dia gak mau ketemu gue lagi!"
"Oh, ya?"
Aku terdiam.
"Apa itu yang membuat kamu menangis?" tanya Alvin lagi.
Aku melihat ke luar jendela, "mungkin."
"Mungkin?"
"I-iya, mungkin. Maybe yes, maybe no."
Alvin tertawa kecil, "gak usah sok tutup-tutupi, kamu gak pintar bohong di depan aku. Kamu suka kan sama Rio? Sayang lebih tepatnya."
"Enggak!" elakku.
"Gak salah lagi."—Alvin menatapku sekilas—"Ta, di saat kamu takut kehilangan, di saat itu juga kamu benar-benar sayang sama orang itu. Kamu gak salah, Ta." lanjutnya. "Cinta bisa datang kapan aja, dimana aja, kapan aj—""
"Stop!" potongku. "Gue lagi gak mau bahas itu lagi."
Besoknya, aku berangkat sekolah bersama Alvin. Rio tak datang kerumah karena Papanya baru saja di perbolehkan pulang dari rumah sakit. Mungkin, ini juga berlaku untuk hari-hari berikutnya. Kita gak berangkat sekolah bareng lagi, selamanya.
Di kelas aku terkejut melihat Acil yang duduk di kursi sebelahku.
"Cil, kok lo di sini?" tanyaku heran.
"Rio yang minta. Katanya mau duduk sama Gilang," jawab Acil.
Aku melirik kursi Gilang yang ternyata ada tas Rio di sana. Rio sekolah? Tapi, kenapa dia gak jemput gue?
"Terus orangnya mana?"
"Tadi sih, keluar."
Aku menaruh tasku lalu berjalan keluar kelas untuk mencari keberadaan Rio. Acil sempat terhentak karena aku meletakkan tasku dengan melemparnya. Biasanya, pagi-pagi gini Rio pasti main futsal di lapangan. Lantas aku pergi kesana.
Sesampainya di lapangan olahraga betapa terkejutnya aku melihat hal yang ku tak suka. Aku memang menemukan Rio dan dia ada di sana, tapi bonus Cinta! Cinta juga di sana. Bersandar di pagar lapangan dengan cerianya bercanda bersama Rio yang ada di depannya. Aku mendengus kesal, lalu berbalik untuk pergi. Namun, aku malah menabrak seorang siswi.
"Lo gak apa-apa?" tanyanya membantuku bangun.
Aku menggeleng, "gak apa-apa."
Siswi itu mengelus pundakku sebentar lalu pergi. Ada yang aneh di tatapannya, tapi aku tidak peduli.
Rio. Apa benar gue mulai suka sama lo?
Apa ini harus terjadi sekarang.
Tapi, kenapa? Semua di saat lo balik lagi ke cinta lo sebelumnya.
Kesempatan gue udah terbuka sebelumnya. Tapi, gue terus mengelak dan lo yang ngeyakinin gue untuk mengelak.
Padahal, gak akan sesakit ini kalo gue ikuti kata hati gue.
"Pffft...."
".... itu. Hati-hati nanti cowok lo di embat."
"Ya, ampun. Sekolah kita tercemar deh."
Aku menoleh ke kiri dan kanan. Orang-orang yang menatapku heran, juga berbisik sana-sini. Apa ada yang salah denganku?