"Pffft...."
".... itu. Hati-hati nanti cowok lo di embat."
"Ya, ampun. Sekolah kita tercemar deh."
Aku menoleh ke kiri dan kanan. Orang-orang yang menatapku heran, juga berbisik sana-sini. Apa ada yang salah denganku?
Di sela sibuknya aku mencari tahu apa penyebab cekikikan mereka, Rio datang dari arah belakang dan menunjukkanku sebuah kertas. "Nih," ucapnya memngulurkan kertas itu padaku.
Lantas aku mengambilnya.
Gue lagi deket sama si A. Tapi, gue jadian sama si B. Kalo si B gak ada, gue bisa ke si A. Kaya cabe kan, gue?!
Sial! gumamku.
"Gak usah marah kalo lo gak ngerasa." aku menoleh
"Gue cuma mau teman gue gak ngerasa aneh di depan banyak orang. Jangan salah sangka, lo emang 'Best Friend' gue. Tapi, sekarang lo kehilangan awal dari kata itu."
Mataku melebar, mendengar ucapannya barusan membuatku berpikir. Sudah tidak ada lagi celah untukku menempati hatinya, hatinya sudah mati.
*****
"Kak, makasih yah waktu itu. Gara-gara ucapan lo, gue merasa jadi perempuan terbaik sepanjang masa." Alvin mengangguk. Aku melihat ke arah perempuan yang tempo lalu menyuruh seorang siswi berkaca mata untuk meminta nomor ponsel Alvin, gadis itu terlihat beda dari sebelumnya. "Kalo gitu, gue duluan yah." gadis itu merangkul lengan laki-laki disebelahnya dan berlalu dari hadapan kami.
"Oh, ya."—Gadis itu berbalik—"langgeng yah buat kalian. Kapan-kapan kita double date!"
Mataku tak berkedip melihat kepergian gadis itu. Mulutku menganga, aku mengetahuinya ketika tangan Alvin menari-nari di depanku.
"Ah, iya?" kataku.
"Kenapa bengong? Aku udah tanya itu tiga kali loh," tanya alvin.
Aku bertompang dagu, "hm... Vin. Kayaknya kita jalanin rencananya mulai dari dari besok aja deh."
"Kenapa?"
"Gak apa-apa."
"Gimana kalo di mulai dari sekarang?"
Aku mendelik, "a—apa?"
"Kita mulai rencana dari awal dan akan aku beritahu apa analisisku itu benar atau tidak." aku tercengang, negosiasi darinya terasa tak main-main dari tatapan matanya yang cukup serius.
"Tapi,"
"Sekarang atau enggak sama sekali?"
"Eh, itu gak ada di perjanjian!" ucapku agak keras.
"Ada, karena perjanjian kita bersifat dinamis." Alvin mengangkat sebelah alisnya.
Aku mendengus, "yaudah!"
*****
"Awas!" tangan Alvin memegang puncak kepalaku saat aku hendak keluar mobil. Suaranya yang mengagetkan membuatku terperanjat dan hampir saja jatuh, ku bilang hampir karena Alvin menahan tubuhku hingga tanganku bertumpu di dada bidangnya. Mataku dan dia pun bertemu, untuk ke dua kalinya aku melihat wajah bersihnya secara dekat.
Lima detik kami saling tatap, Alvin tersadar dan merenggangkan dekapannya.
"Maaf," ucapnya singkat. "Aku gak ada maksud untuk ngagetin kamu. Tapi, kalo puncak kepala kamu gak di lindungi bisa kepentok," lanjutnya.
Aku mengangguk, "gak apa-apa."
Alvin memasukkan tangannya ke dalam saku celana, "kalo gitu aku pulang yah." Alvin mencium keningku hingga aku terbelalak di buatnya. Ia mengacak-acak rambutku sebelum masuk kembali ke dalam mobil.
Alvin, apa lo?
Ta,"—aku berbalik— "Nanti malam baca pesan aku yah," ucapnya dari dalam mobil"
Aku mengangguk dan melambaikan tangan selang mobil itu berjalan menjauhi rumahku. Ku renggangkan otot-ototku terlebih dahulu kemudian membuang nafas berat. Lalu, masuk ke dalam rumah.
Alvin, apa yang lo lakukan tadi?
Mendapat perlakuan yang tiba-tiba, debarannya lebih hebat daripada dilakukan dengan sengaja.
Kling.
AlvinJo : kalo besok Rio gak datang ke rumah kamu, Dia marah. Dan itu tandanya dia sayang sama kamu.
Aku mengernyit. Marah? Marah, berarti Rio...
CEMBURU???
Nagita Alana : Jangan bilang kalo tadi ada Rio?!
AlvinJo : Ada.
Nagita Alana : Shit!
Nagita Alana : Jadi, lo sengaja lakuin itu biar Rio cemburu?!
Nagita Alana : Gue pikir...
Nagita Alana : Sedang menulis pesan...
Eits, tunggu.
Mampus gue! Keceplosan.
AlvinJo : Kamu pukir apa?
AlvinJo : Kamu pikir aku lakuin hal itu karena aku perhatian sama kamu?
Tuh, kan dia jadi kepedean.
AlvinJo : Kalo aku lindungi kepala kamu itu emang kebiasaan aku kalo antar Mama pergi. Saking kebiasaannya, jadi aku lakuin itu juga ke kamu.
AlvinJo : Bukan modus kok.
Nagita Alana : Iya.
*****
"Kok Rio jarang kesini yah. Udah dua hari loh, kita sarapan tanpa Rio." Mama meletakkan semangkuk sop di depanku, lalu duduk di kursi di hadapanku.
"Gatau," ucapku tanpa semangat.
Mama mengernyit, "kalian ada masalah?"
"Enggak."
"Marahan?"
"Bukan."
"Atau kalian lagi ta'aruf-an?"
"Mamaa..." rengekku.
Mama tertawa kecil, beliau pindah tempat duduk dan sekarang berada di sebelahku. Pundakku di pegang olehnya, dengan lembut beliau berkata, "Sayang, yang namanya sahabatan itu kalo gak ada berantem-berantemnya gak akan awet.
"Kamu sering kan di buat kesal sama Rio. Tapi, kalian baikan lagi" tanya Mama.
Aku mengangguk kecil.
"Sepasang makhluk yang sering bertengkar tapi tidak pernah berpisah itu adalah mereka yang gak akan membuang hal yang sudah terjalin selama apapun mereka berhubungan. Kenapa? Karena mereka saling sayang. Dan di lihat dari sikap Rio. Rasanya kamu deh yang salah," lanjut Mama.
Aku menatap Mama, "kok aku?!"
"Dan gengsi yang memisahkan mereka." Mama segera beranjak dan melangkah menuju telpon rumah yang baru saja berdering. Aku mengernyit, apa maksud Mama?
"Kamu udah siap?" tanya Alvin yang muncul dari ruang tamu. Tas hitam menggantung di pundaknya.
"Udah," jawabku seraya meminum air putih dan membawa piring pada westafle. Setelah mengambil tas di bawah kursi makan, aku menghampiri Alvin.
"Yuk."
*****
"Makasih yah," ucapku seberhentinya mobil Alvin di depan gerbang sekolah. Segera ku lepas save belt dan mencontolkan tas ungu ku di pundak, lalu membuka pintu mobil. Belum sempat pintu terbuka, Alvin menahanku.
"Kena—"
Cup!
"Pa?" ucapku terpaku pasca mendaratnya bibir Alvin di keningku. Aku menatapnya tak percaya.
"Kiss morning, babe." ucapnya. "Have a nice day, today."
"Ah, iya. Too you," balasku.