"Nagita, ternyata pemandangan di sini bagus yah?!" ucap Alvin seraya menggenggam tanganku.
Tiba-tiba Rio menyeruak di antara kami, hingga genggaman Alvin padaku terlepas. Laki-laki itu melangkulku, "oh, iya dong. Kita kan sering kesini. Iya kan Ta?!" Aku hanya menatap Rio sebentar, lalu ku alihkan pandanganku kembali. Sungguh tak enak berada di posisi ini.
"Ta, kamu suka es krim, kan? Kita ke cafe sana yuk!"
"Eits, Nagita gak suka es krim! Dia kalo malem gini dia sukanya makan kacang rebus. Tuh, disana... Yuk, Ta." Rio menarik tanganku meninggalkan Alvin yang memasang wajah datar, aku pasrah mengikutinya hingga Alvin memutuskan untuk menyusul kami dari belakang.
"Kalian makan kacang kulit ini? Bahkan kemasannya pun tidak higienis," ucap Alvin heran.
"Mau?" Aku menyodorkan plastik hitam berisi kacang rebus padanya. "Enak tau," lanjutku.
"Udah, Ta. Percuma tawarin dia mah. Lidah orang kaya gak doyan kacang rebus, doyannya Pizza, Humburger. Lo pantesnya ke sana tuh. Cafe yang jual es krim satunya tiga ratus ribu!" sindir Rio sambil melempar kacang masuk kemulutnya.
"Rio..."
Semakin larut, semakin aku tidak nyaman dengan sikap mereka yang seolah-oleh memperebutkanku. Kalo cewek lain mah kesenengan. Lah aku? Badan kayak korek api gini apa yang bisa di kagumi?
Akhirnya kami berhenti di bangku panjang taman kompleks. Kita memang jalan-jalan di sekitar sini setelah mengambil jalan tengah antara Alvin yang mengajak ke restoran dan Rio yang mau nonton. Sebelum duduk Alvin menggelar selembar tissue di sana untuk ku duduki. Katanya biar bagian belakangku tidak kotor, begitu juga dengan tempatnya. Kecuali Rio, laki-laki itu hanya mencibir.
"Kamu kenapa sih diam aja?" Alvin membuka pembicaraan.
"Iyah, biasanya lo ngakak jalan bareng gue? Apa karena ada orang bermuka flat yang nguntit kita?" sindir Rio sekali lagi.
Aku memeluk diriku sendiri, "gue... Dingin."
"Gak ada semenit sebuah jas dan jersey terulur untukku. Aku melirik keduanya secara bergantian. Memilih antara Rio dan Alvin sama dengan memilih Hidup dan Mati. Kalo aku pilih Alvin, hidupku akan di penuhi uang jajan tambahan karena aku menyenangkan anak dari rekan bisnis papa. Tapi, kalau aku pilih Rio, Mati gue! Papa bisa marah.
Aku salah ngomong ternyata.
Sepulang dari sana Alvin pamit pulang dengan lamborgininya dan Rio memilih stay di rumahku. Kami sempat mengobrol tanpa canggung karena kita berdua emang gila ngelawak. Sesekali pertanyaan pendapat aku tentang Alvin terlontar di bibir Rio dan aku membalasnya dengan lawakan hingga ia lupa perihal apa yang ia tanyakan.
Paginya, seperti biasa Rio sarapan di rumahku. Mama melirikku dengan kode udah kasih tahu Rio belum? Dan ku balas dengan gelengan.
Selesai sarapan aku dan Rio pamit pada mama dan papa.
Di depan rumah, aku terkejut mendengar bunyi klakson. Sebuah kendaraan roda empat parkir di depan gerbang, aku dan Rio melongo hingga tak sadar Mama dan Papa berada di belakang kami. Seseorang yang tak asing keluar dari sana dan menghampiri kami.
"Pagi Om, Tante," sapa Alvin sedikit membungkuk.
"Alvin? Tumben kamu kesini pagi-pagi?" tanya Papa.
"Saya mau jemput Nagita, Om. Boleh kan?"
"Bo—boleh."
"Yuk." Alvin menarik tanganku, namun di cekal oleh Rio.
"Dia bareng gue dan kita melakukannya sudah hampir tiga tahun!" Rio menarik tanganku menuju kendaraannya, meninggalkan kedua orang tuaku dan alvin yang tetap memasang wajah datar.
*****
"Ta, team photografi mau ada tour ke puncak loh dua minggu lagi. Riska kan ngusulin supaya kita potret pemandangan out school, kata pak kepsek yang dekat aja. Jadinya, di bogor deh." aku memutar sedotan jus jerukku, tak begitu memperdulikan ucapan marry yang sedang melihat-lihat hasil potretan anak photografi lainnya.
"Hmm...."
"Kok gak semangat gitu sih?" tanya Marry.
"Gimana gak lemes coba? Nyokap gue pasti gak akan izinin gue pergi sendiri. Rio kan udah keluar," ucapku sedikit sewot. Marry menghela nafas dalam.
"Tapi, kan lo ketuanya."
"Iya, gue ta—Rio!" ucapku menebak pemilik tangan yang menutup mataku. Dan, binggo! Seiring mataku terbuka Rio sudah duduk di hadapanku.
"Gue ke kelas yah, Ta." pamit Marry yang langsung pergi gitu aja.
"Kenapa si Marry?" tanya Rio.
"Tau? Takut kali sama lo, lo kan mirip hulk!" candaku dan kami tertawa. Rio memesan jus yang sama denganku, setelah pesanan datang ia menyeruput habis tanpa jeda.
Buset! Haus apa doyan?" tanyaku.
"Cape, abis futsal. Team gue menang loh."
"Siapa?"
"Team gue."
"Yang nanya!"
"Kampret!"
*****
"Pokoknya gak boleh!" aku bergelayutan di lengan Mama meminta beliau mengabulkan permintaanku. Biasanya kalo ngerengek seperti ini bisa di kabuli, buktinya saja untuk mendapatkan merchinde Tom & Jerry aku berglayutan seperti ini. Namun, tanpa mengindahkan kata-kataku, tanpa menatap mataku Mama berkata, "kamu gak bisa nyogok Mama, Ta."
"Tapi, Ma. Nagita itu ketua. Masa ketua gak ikut? Nanti di sangka pengecut!" aku mengkrucutkan bibirku.
"Mama khawatir kamu kenapa-kenapa di sana, Sayang! Rio udah keluar kan dari eskul itu? Gak ada lagi yang bisa jaga kamu," kata mama.
"Aah, Mama mah gak seru!"
Karena keki, aku lebih memilih untuk keluar rumah daripada masuk kamar. Aku tidak tahu aku egois atau apalah, yang pasti aku mau ikut tour.
Aku mematikan ponselku setelah mendapat lebih dari sepuluh BBM dari Rio dan telpon dari Alvin yang entah tahu nomorku dari siapa, mungkin Mama meminta tolong kedua anak itu untuk mencariku. Sebagai reward siapa yang menemukan boleh memersuntingku.
Sudah dua jam aku di sini. Di jembatan penyebrang yang aku lalui 3 hari yang lalu. Di mana aku membandingkan arti langit di pikiranku dan Rio. Tapi, entah kenapa hal yang ku ingat adalah pertemuanku dengan Alvin. Dia menganggapku ingin bunuh diri? Aku bisa saja melakukan itu sekarang. Pasti besoknya ada berita di televisi 'Seorang anak SMA bunuh diri akibat tidak dibolehkan ikut Tour'. Konyol!
"Di sini rupanya." aku menoleh ke kanan, Alvin berada di sampingku.
"Kok, lo bisa tahu?"
Alvin bersandar pada pagar jembatan, "entah, feeling mungkin."
"Gue selalu mendapatkan apa yang gue mau. Tapi, baru kali ini tidak. Lo tau? Terbiasa di manjakan, sekalinya di larang ngambeknya sampai kabur dari rumah." tanpa aba-aba aku curhat padanya. "Gila."
"Mungkin, kamu bisa mandiri," usul Alvin.
"Maksud lo?"
"Yah, kalau kamu menginginkan sesuatu. Kenapa kamu tidak melakukannya sendiri? Maksudku, mewujudkannya. Kamu bisa mengumpulkan uang dan mendapatkan apa yang kamu mau." Aku menatap Alvin yang kini sedang menerawang langit.
"Nagita!" aku menoleh ke sumber suara.
"Ternyata lo di sini?!" ucap Rio ngos-gosan. "Pulang yuk! Nyokap lo khawatir dua jam lo pergi dari rumah."
Aku melirik Alvin, meminta pendapat padanya. Jujur saja aku tidak enak, Alvin yang menemukanku tapi aku pulang sama Rio. Tiba-tiba, Rio menarik tanganku menjauh drinya. Aku melirik Alvin dengan tatapan, makasih sarannya.