"Jangan sedih jadi jomblo. Matahari aja sendiri, tapi tetap bersinar." aku memegang pundak Rio. Ku pastikan ia mendapat motivasi pagi ini.
Rio mengambil satu langkah dan berhenti di depanku. Kedua alisnya terangkat. "Gue gak mau jadi matahari."
Aku mengernyit. Apa maksudnya?
"Matahari itu kasian. Dia korban PHP! memancarkan cahaya untuk bulan, tapi bulan malah bersinar bersama bintang.
"Gue mau jadi diri gue sendiri. Jadi Rio, Rio Aditya sahabat Nagita si pendek." Rio memegang puncak kepalaku saat melontarkan kata 'pendek'. Aku mendelik, belum sempat ku balas dengan toyoran orang itu sudah berlari sambil memeletkan lidahnya.
"Riooo!!!"
Hari yang indah bersama Rio hari ini. Pasca putusnya dengan Cinta, ia lebih perhatian padaku. Pelukannya, genggamannya, tatapannya, semua milikku. Tanpa ada perempuan lain yang ia beri selain aku. Aku!
Yup! Ku akui Dia jail, tapi ini terlalu jail bagiku. Bayangkan saja, bakso terakhirku di embat olehnya.
"Rio," rengekku.
Rio tersenyum jail, ia mengarahkan sendoknya padaku, "Aaa, ayo mulutnya di buka, helikopternya mau lewat. Aaa."
Alisku mengkerut. Apa-apaan Rio ini, emang aku balita usia lima tahun?
Aku membuka mulut, mengikuti permainannya selayak ayah yang menyuapi si anak. Sedok itu meluncur lurus ke arahku, namun berbalik dan hap! Di lahap olehnya.
"Riooo!" geramku.
Entah hanya perasaan atau halusinasi semata. Aku merasa Rio berbeda dari biasanya. Setiap apa yang kita lakukan selalu diselingi dengan tawa. Aku lega ia terlihat senang, tapi ini terlalu di paksakan.
"Ta, pegangannya lebih erat lagi." aku menguatkan peganganku pada sweaternya. Dia mempercepat laju motornya.
Rio Aditya.
Aku tahu gak ada yang abadi di dunia ini, termasuk persahabatan. Yang muda akan menjadi tua, yang kecil akan menjadi besar, semua yang bernyawa akan tumbuh menjadi suatu makhluk yang lebih berbeda dari sebelumnya.
Kau tau, Yo?
Hubungan kita ini bernyawa, berkembang dari hari ke hari, tumbuh di setiap detik. Tanpa terasa, kita sudah berada di inti cerita. Berada pada klimaksnya. Siklus cinta membuat kita kembali pada awal kau dan aku bertemu. Dari yang tidak kenal, kita saling mengenal, melewati hari-hari bersama, saling suka dan setelah itu aku enggan menyebutkannya kembali karena akan berakhir dengan kita yang kembali tak saling kenal.
Mungkin, aku memang lancang memiliki perasaan ini. Tapi, ...
"Nagita! Ada teman kamu, Nih." aku menutup rapat diary-ku ketika pintu kamar terbuka tanpa izin.
"I-iya, Mah."
Pintu kamar tertutup kembali. Aku beranjak dari meja belajar menuju ruang tamu.
Sebelum benar-benar keluar dari kamar, dari jendela ku lirik balkon kamar Rio yang tak ada orangnya disana. Rio, apa lo baik-baik saja?
Dari tangga, mataku menyipit memastikan siapa yang datang ke rumahku. Disana tidak ada Rio, yang tiap hari tak pernah absen melewati pintu rumahku--Rio pasti dia sudah nyelonong masuk- ataupun Marry yang kemari hanya untuk memberiku hasil foto anak-anak photografi.
Yang ada hanya pria setinggi Rio—Tapi, lebih rendah. Memakai seragam SMA yang berbeda denganku, berdiri membelakangiku melihat-lihat beberapa koleksi poto yang terpajang disana.
Aku mempercepat langkah.
"Hai," sapaku dan ia berbalik. Aku spechles melihat siapa yang ada didepanku.
"Hai," balasnya seraya tersenyum.
"Kevin? Eh, si-siapa yah, gue agak sedikit lupa." aku memegang keningku, mencoba mengingat kejadian tempo lalu.
"Alvin."
Alvin! Cowok yang mengira aku ingin bunuh diri di jembatan layang tempo hari. Darimana dia tahu rumahku?
"Eh, iya! Alvin. Aduh maaf yah, gue emang oon kalo ingat nama."
"No, problem."
"Aku memainkan jariku, hal yang selalu ku lakukan ketika merasa canggung. "Lo kesini mau ngapain?"
Alisku mengkerut menanti reaksinya. Jujur saja, aku tidak tahu apa tujuannya kemari. Alvin tertawa kecil, "kamu tidak ingat namaku, lalu kamu juga melupakan apa yang kita bicarakan di telpon kemarin?"
Aku mengernyit.
*****
"Nih," aku menoleh ke kiri dan mendapati satu cup es krim terulur untukku. Aku mendongakkan kepala menatap Alvin dan senyumnya. Dengan senang hati ku ambil es krim itu dan langsung ku nikmati.
"Gimana sih, kan niatnya makan, kenapa jadi duduk disini?" cibir Alvin duduk di sebelahku.
Aku tertawa geli, "Jadi, lo laper?"
"Nggak juga sih, kan kemarin aku janjiin kamu untuk makan. Tapi, kamu maunya ke sini."
"Kita kan lagi makan."
Alis Alvin bertaut.
"Makan es krim, ahaha...."
Aku berhenti tertawa, ternyata leluconku garing untuknya. Biasanya, kalo lagi sama Rio pasti dia akan terbahak oleh lelucon aneh ku, karena memang kita sama-sama aneh. Bahkan orang-orang heran kita berasal dari planet mars atau pluto.
"Hai, Kak." kami menoleh ke sumber suara.
Dua cewek cantik menghampiri kami, masih memakai seragam sekolah menengah yang entah dari sekolah mana. Kelihatannya masih kelas sepuluh terlihat dari kemeja putihnya yang masih kaku. Aku memperhatikan keduanya, yang satu berambut pirang panjang, dan satu lagi pendek sepundak. Mereka cekikikan ketika ditatap oleh Kev-Eh, Alvin.
"Kak, boleh minta foto gak?" genit yang berambut panjang. Alvin melirik ke arahku, dengan cepat membuang pandangan. Aku tahu, Alvin meminta pendapatku.
Akhirnya Alvin mengangguk pelan. Cewek berambut pirang itu langsung duduk di sebelah Alvin dan menggeserku menjauh darinya. Et dah, mentang-mentang gue kecil di kira gak ada orang kali!
"De, potoin kita dong." si rambut pendek angkat bicara.
Mataku mendelik. Anjir, udah manggil gue adik suruh potoin pula.
Dengan malas aku menuruti apa mau si duo kencur ini. Ish, apaan coba cara foto mereka yang terlalu dekat dengan Alvin. Aku saja yang sudah bestfriend dengan Rio kalau foto tak begitu, ini yang baru kenal beberapa menit lalu udah nempel kayak cakue!
Klik.
"Makasih yah, De. Dadah kaka kece." aku mencicik tangan gadis itu yang mencolek daguku.
Sambil menikmati kembali es krim yang sempat terabaikan aku kembali duduk disebelah Alvin. Ku lirik Alvin yang menikmati satu cup es krim rasa vanila, aku memiringkan kepalaku. Biasanya cowok kalau banyak yang naksir pasti bertingkah sok ganteng. Tapi, Alvin ....
"... Mu kenapa?" Mataku tersigap menatap ke arah lain. Tak sadar aku melamunkan orang yang ada di depanku. Apa Alvin menyimpulkan diriku suka padanya?
"Kak." suara lembut itu menarik perhatianku.
Ternyata, dia memanggil Alvin.
"Bo—boleh, gak... A—aku, aku minta nomor kaka?" ucap seorang gadis berkacamata dengan terbata.
Aku melirik Alvin yang menatapnya hingga pipi gadis itu merah padam. Seketika tangan Alvin mengait jemariku. Di tariknya aku entah kemana.
"Maaf, Ya. Aku udah punya pacar dan jangan ganggu kami," ucapnya ketika kami tengah berada di depan sekelompok siswi yang ternyata dalang dari gadis berkacamata itu. Mataku terbelalak, mendengar klarifikasinya tanpa persetujuanku.
"Kamu cantik, tapi lebih cantik lagi ketika kamu terlihat anggun dan mahal di depan para pria."
Sesampainya di di rumah.
"Makasih yah, Alv-Eh, Kevin."
"Alvin." Alvin tersenyum sabar.
Aku menutup mulutku, "eh, benar yah? Ahaha." untuk berapa kali aku merasa tak enak hati, sok-sokan ngelucu tapi garing di matanya.
"Alvin?"
*****