"Langsung pulang?" tanya Hanum yang tiba-tiba mengejutkan Aleena.
Jam memang sudah menunjukkan sore hari, itu artinya shift kerja mereka telah habis. Aleena, Hanum dan Faraya sedang berada di ruang ganti untuk mengganti pakaian mereka.
"Sepertinya iya, kalian bagaimana?" tanya Aleena.
"Bagaimana kalau kita makan di warung soto Bu Ima? Saya sudah lama sekali tidak makan disana. Rasanya rindu sekali dengan masakan Bu Ima," ajak Faraya.
"Ayo. Bagaimana denganmu Ale?"
"Ayo. Lagipula kita sudah lama tidak jalan-jalan bersama, bukan?" jawab Aleena.
"Kau benar, rasanya rindu juga disaat kita bisa tertawa bersama," ucap Faraya pula.
Kini ketiga sahabat beranjak meninggalkan restoran dan menuju ke warung soto Bu Ima yang tak jauh dari kontrakan mereka.
"Ini, Nak. Makanlah. Kalau ada yang kurang, bisa kasih tau ibu," ucap Bu Ima.
"Terima kasih, Bu," jawab serentak ketiga orang yang tengah memegang mangkuk berisi soto.
"Tadi, kamu bicara apa dengan Pak Ardan?" tanya Hanum langsung.
Belum juga Aleena mengatakannya, tapi, Hanum sudah bertanya terlebih dahulu kepada Aleena soal percakapan dirinya dan Ardan.
"Kau mendengar percakapan kami?" tanya Aleena.
"Tidak, Alee, saya tidak mendengarnya. Saya hanya melihat kamu dan Pak Ardan seperti bicara hal yang penting. Mungkin saja memang penting soal restoran, atau ...." Hanum langsung menghentikan ucapannya.
"Atau apa?" tanya Aleena yang menatap ke arah Hanum yang ada di hadapannya.
"Mungkin saja, soal perasaan," jawab Faraya tanpa beban.
Lagi dan lagi Hanum menyenggol tangan Faraya yang ada di sampingnya. Ucapan Faraya sering kali keluar seolah tanpa ada penyaringan terlebih dahulu. Tapi, Aleena mengerti, Faraya memang orang yang seperti itu jadi, apapun yang keluar dari mulut Faraya, memang tidak pernah dianggap serius oleh Aleena.
"Saya tidak memiliki hubungan apapun dengan Pak Ardan. Dia kan bos kita, mana mungkin saya memiliki hubungan dengannya. Kalian jangan asal bicara dong," jawab Aleena.
"Tapi, saya pernah baca di novel-novel hits saat ini, banyak seorang pengusaha kaya raya menikah dengan gadis kekurangan kayak kita, jadi, jangan pernah berhenti berharap mendapatkan pengusaha sukses, Alee," ujar Faraya tanpa beban.
"Hei, kita ini bukan gadis kekurangan. Kita hanya gadis yang keberuntungannya itu masih ditunda oleh Allah. Nanti juga Allah akan kasih keberuntungan kita kepada diri kita sendiri," cerca Hanum yang tidak ingin disebut dengan gadis kekurangan.
"Ah itu sama saja, Hanum. Itu hanya versi bahasa halusnya. Kalau versi bahasa kasarnya itu gadis kekurangan," dalih Faraya.
"Terserah kau saja. Capek lama-lama mengobrol dengan kamu," ucap Hanum yang melanjutkan makan sotonya.
Sedangkan Aleena sedari tadi hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya yang menurutnya sangat menggemaskan.
"Faraya, Hanum, saya rasa otak kalian itu perlu disajikan kerasnya kehidupan biar gak kebanyakan menghayal hal yang tidak-tidak. Semua itu tentu saja akan berdampak pada mental kalian," tegur Aleena kepada kedua sahabatnya itu.
"Saya tidak menghayal, tapi Faraya yang menghayal," elak Hanum.
"Tidak, mana ada saya menghayal," elak Faraya juga.
"Sudahlah, jangan berdebat terus. Ada yang ingin saya sampaikan kepada kalian berdua."
"Apa?"
"Apa kalian sudah tahu jika ada pameran minggu depan?"
"Pameran?"
"Iya, jadi, restoran kita terpilih menjadi restoran untuk menyajikan makanan untuk acara tersebut."
"Benarkah?"
"Hm. Itu pameran yang melibatkan beberapa pengusaha terkenal dan kaya di negara kita. Dan kita bertiga diamanahkan untuk menyajikan pada saat acara," jelas Aleena.
"Uhuk."
"Uhuk."
Kuah panas yang tengah dihirup oleh Hanum dan Faraya sontak langsung keluar tanpa aba-aba, Aleena langsung mengambilkan dua buah tisu untuk dua sahabatnya yang tengah terbatuk.
"Hati-hati makannya, Hanum, Faraya," ucap Aleena sambil memberikan air pada kedua sahabatnya itu.
Kini, satu gelas air putih langsung habis. Hanum dan Faraya mengontrol nafasnya dengan tenang sebelum merespon ucapan Aleena.
"Bagaimana bisa hati-hati, ucapan kamu benar-benar membuat kami syok," ucap Hanum.
"Saya hanya mengatakan kebenaran kok. Kenapa kalian jadi seperti itu?"
"Kita? Aleena, kita hanya pelayan biasa. Ada yang lebih senior. Untuk berhadapan dengan tamu istimewa apalagi pengusaha, tentu saja Pak Ardan tidak boleh mengutus pelayan yang asal-asalan kaya kita ini," ujar Hanum.
"Apa jangan-jangan kau yang memaksa untuk ikut yah?" tebak Faraya.
"Tidak. Mana ada saya melakukan seperti itu," elak Aleena.
"Apa benar Pak Ardan menyuruh kita bertiga? Aleena, kau tentu masih ingat apa yang kau lakukan pada beberapa hari yang lalu kepada Tuan Aslan. Lalu, bagaimana bisa Pak Ardan meminta kamu untuk melayani acara pameran? Kau sedang tidak merayu Pak Ardan, kan?" tanya selidik Hanum.
Hanum tahu betul watak Ardan seperti apa. Bos yang memiliki sifat tegas, dan ingin perfect, tapi hari ini Hanum melihat jika adanya ketidak profesionalan Ardan.
"Maaf, bukan maksud saya meremehkan kamu, Aleena. Hanya saja, saya sedikit tidak percaya dengan ucapan kamu seperti itu. Ya, kita juga tahu bagaimana Pak Ardan itu. Memecahkan 10 piring saja dia langsung memecatnya, padahal piring bisa dibeli kembali. Tapi, denganmu, keprofesionalan itu seperti tidak ada pada Pak Ardan."
"Soal itu, saya tidak tahu, Hanum, saya juga tidak peduli dengan apapun itu tentang diri Pak Ardan. Dia meminta saya untuk melayani pada saat pameran, dan saya harus menerimanya dengan baik. Saya tidak mungkin menolak tawaran Pak Ardan, bukan?"
Hanum dan Faraya saling bertatapan, seolah sedang mencari letak keprofesionalan Ardan yang selalu hilang jika berhubungan dengan Aleena.
"Aleena, saya tanya sekali lagi kepada kamu, apa benar ini murni suruhan Pak Ardan? Atau kamu yang memaksakan kehendak agar bisa ikut melayani di pameran itu?" tanya Hanum lagi seolah ingin memperjelas.
"Hanum, apa saya tidak profesional itu jadi kamu meremehkan saya?" tanya Aleena.
"Jangan tersinggung, Aleena. Saya tidak bermaksud seperti itu. Semuanya murni karena saya ingin tahu apa yang terjadi. Kita semua mengenal Pak Ardan dengan baik, Pak Ardan tidak pernah main-main soal bekerja. Kita semua juga tahu, apa yang terjadi kepada kamu beberapa waktu yang lalu saat kamu menumpahkan air ke jas Tuan Aslan. Apa ini agak aneh jika tiba-tiba Pak Ardan meminta kamu untuk melayani di pameran disaat dia tahu jika kamu pernah melakukan kesalahan yang sedikit lagi membuat reputasi restoran ini hancur," ujar Hanum panjang.
'Ucapan Hanum memang ada benarnya. Jika tidak terdesak pada keadaan yang meminta saya melakukan ini, saya pun juga tidak ingin melayani di pameran itu. Karena pasti bertemu dengan orang kaya raya dan membuat hati ini terasa iri. Tapi, semua acara ini sudah dirancang oleh Tuan Evano, jadi, mana mungkin saya tidak menuruti apa yang sudah dirancang olehnya,' batin Aleena.
"Hanum, Faraya, semua itu tidak usah dipikirkan oleh kalian. Saya tahu apa yang terbaik untuk kita. Dan, tugas kita adalah bersiap untuk menuju ke pameran!"