Aleena mulai melebarkan pandangannya disaat dia telah membuka matanya dengan perlahan. Sosok lelaki bertubuh besar, kini berada di dekatnya. Aleena mencoba mengingat sesuatu yang terjadi kepadanya. Benar, Aleena mengingat jelas apa yang telah terjadi padanya beberapa menit yang lalu. Disaat lampu sorot menjatuhi tubuh Aleena, disaat itu juga terasa sangat menyakitkan, dan akhirnya Aleena tergeletak di lantai tak sadarkan diri.
"Kau sudah bangun rupanya," ujar Aslan.
"Saya dimana, Tuan?"
"Di kamar hotel. Tadi kamu terkena lampu sorot. Jadi, saya langsung membawa kamu ke kamar ini untuk diperiksa oleh Dokter sekaligus untuk istirahat," jelas Aslan dengan ramah.
Aleena kembali mengingat semuanya, disaat Evano menyuruhnya untuk berdiri tak jauh dari Aslan kemudian lampu sorot jatuh. Apa ini bagian dari rencana Tuan Evano? Begitulah yang ada dipikiran Aleena saat ini. Geram. Tentu saja. Ini sama saja Evano mengorbankan nyawa Aleena dalam kasus pembalasan dendam. Ini tak adil harusnya. Tapi, apa Aleena cukup kuat untuk marah kepada Evano?
Aleena menghela nafasnya dengan perlahan disaat menyadari diri jika Aleena tidak punya kuasa apapun dibandingkan Evano. 'Sial! Bisa-bisanya Tuan Evano bertindak seperti ini. Untungnya saya bisa selamat,' batin Aleena.
"Maafkan saya." Suara Aslan kini terdengar oleh Aleena. Nada lembut yang selama ini tidak pernah didengar oleh Aleena. Ya, selama pertemuan Aslan dengan Aleena, suaranya tidak pernah nyaman didengar oleh telinga.
"Untuk?"
"Karena acara saya, kau jadi terluka seperti ini. Padahal, saya sudah memastikan jika semua sudah berjalan dengan baik. Tapi, saya tidak menyangka jika lampu sorot itu akan jatuh dan mengenai kamu. Saya benar-benar meminta maaf kepada kamu."
'Tidak, Tuan. Semua ini bukan salah anda. Saya tahu betul jika semua adalah ulah Tuan Evano. Jadi, seharusnya anda tidak boleh meminta maaf seperti itu,' batin Aleena.
Namun, ucapan itu hanya ada di dalam pikiran Aleena. Tentu saja, Aleena tidak punya kekuatan untuk mengatakan semuanya kepada Aslan. Aleena juga menyadari jika apa yang terjadi kepadanya adalah bagian dari rencana pendekatan kepada Aslan. Buktinya, Aslan tiba-tiba berkata lembut kepada Aleena.
"Tidak apa-apa, Tuan. Mungkin memang saya lagi kena sialnya. Anda tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Saya juga tahu jika anda pastinya sudah melakukan persiapan sedemikian rupa untuk acara penting seperti ini."
Aslan melukis sedikit senyuman kepada Aleena. Lagi dan lagi, baru kali ini Aleena melihat senyum Aslan yang begitu tampan menurut Aleena. "Tampan sekali," gumam Aleena.
"Apa?"
"Hah. Tidak. Saya hanya ingin nampan yang saya bawa tadi. Kemana yah?"
"Untuk apa kau mencari nampan?"
"Ya, itu kan punya restoran. Jika hilang, sudah bisa dipastikan jika saya akan kena marah Pak Ardan."
"Haha. Itu hanya nampan murah. Bagaimana bisa kau memikirkan hal yang tidak penting seperti itu."
"Tidak penting? Saya bisa dipecat jika menghilangkan barang restoran. Lagi pula itu nampan sangat mahal, Tuan. Mungkin harganya bisa setengah dari gaji saya."
"Kau sangat berlebihan. Yang lebih penting itu kondisi kamu. Nampan itu sama sekali tidak ada harganya dibandingkan nyawa manusia. Kau ini payah!"
Aleena sedikit lebih memahami karakter Aslan. Ternyata, tidak begitu sulit untuk menaklukkan Aslan. Buktinya, Aslan sudah bisa bercanda dengan Aleena.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu kini terdengar oleh Aleena dan Aslan. Aslan pun berteriak tanda mengizinkan seseorang yang mengetuk pintu agar masuk ke dalam.
"Tuan, semuanya sudah saya bereskan," ucap Sekretaris Leo.
"Baguslah. Lalu, bagaimana acaranya?"
"Acaranya sudah selesai dan semua tamu sudah beranjak meninggalkan tempat," jawab Sekretaris Leo.
"Anda tidak kembali ke acara?" tanya Aleena.
"Tidak."
"Kenapa?"
"Saya tidak mungkin meninggalkan kamu disini."
"Saya tidak apa-apa, Tuan. Hanya sedikit pusing saja. Setelah istirahat, saya rasa sudah akan membaik."
"Jangan mengatur-ngatur saya. Saya tahu apa yang pantas saya lakukan. Baik itu untuk saya ataupun untuk kamu."
Aleena seketika terdiam mendengar ucapan Aslan. Tak berani menjawab lebih dari perkataan Aslan.
"Sekretaris Leo, kau urus semuanya. Saya akan mengantarkan dia pulang."
"Baiklah, Tuan Aslan. Saya permisi." Sekretaris Leo langsung meninggalkan Aslan dan Aleena.
"Saya bisa pulang sendiri, Tuan Aslan."
"Tidak. Saya harus bertanggung jawab sampai tuntas."
Aleena terdiam. Tak ingin lagi mendebat Aslan. Sepertinya, Aslan bukan orang yang suka di depan. Untuk sementara waktu, biarkan Aleena mengikuti permainan dengan begitu lembut agar kesan pertama, Aleena sudah bisa diterima oleh Aslan.
"Baiklah."
Aleena dan Aslan kini berjalan keluar kamar. Tentu saja, Aslan memegang erat tangan Aleena agar Aleena bisa berjalan dengan baik. "Aleena, kau tidak apa-apa?" Hanum dan Faraya kini mendekati Aleena. Wajah panik dan khawatir tentu saja terekam jelas di wajah kedua sahabatnya itu.
"Dia tidak apa-apa. Hanya sedikit memar di bahu dan luka karena pecahan kaca. Akan membaik seiring berjalannya waktu," jelas Aslan.
Aleena menatap ke arah Aslan, padahal yang ditanya adalah Aleena, namun Aslan yang menjawabnya.
"Baguslah kalau tidak ada apa-apa."
"Kalian lanjutkan bebersih bekas makanan, biarkan dia pulang bersama saya," ucap Aslan.
Hanum dan Faraya langsung saling bertatapan penuh arti. Aslan yang terkenal dingin, kini terasa sangat perhatian kepada Aleena yang bukan siapa-siapa.
"B-baiklah, Tuan Aslan."
Aslan dan Aleena kembali berjalan menuju ke arah parkiran mobil. Beberapa pengusaha tentu saja melihat aksi Aslan yang sangat perhatian kepada Aleena. Dan tentu saja, Evano salah satu orang yang melihat kebersamaan Aslan dan Aleena.
Senyum sinis langsung bisa terlihat dari wajah Evano. 'Kau lihat, Aleena, apa yang saya rencanakan itu semuanya berjalan dengan lancar. Saya tahu, Aslan adalah orang yang bertanggung jawab. Acara ini adalah acara yang dilaksanakan oleh Aslan, adanya insiden ini tentu saja membuat Aslan sepenuhnya merasa bersalah,' batin Evano dari kejauhan.
Aleena dan Aslan kini sudah masuk ke dalam mobil. Dengan gerakan yang cepat, Aslan mulai menjalankan mobilnya menjauhi acara pameran. Sepanjang perjalanan, baik Aleena maupun Aslan tidak ada yang memulai percakapan. Harusnya ini adalah momen dimana Aleena mendekatkan diri kepada Aslan, namun entah kenapa mulut Aleena seolah tidak bisa mengeluarkan kata-kata dan cenderung kaku.
Aleena hanya melihat ke kiri dan ke kanan, menatap desain mobil yang sangat mewah. Ucapan kagum sering kali terlintas dipikiran Aleena.
"Rumah kamu masih jauh?" tanya Aslan.
"Tidak, Tuan. Ada didepan sana." Aleena menunjuk ke arah depan.
Dengan jalan pelan, Aleena sudah menghentikan mobil yang dikendari oleh Aslan tepat di depan gang.
"Rumah kamu yang mana?" tanya Aslan sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
"Di dalam gang itu, Tuan. Mobil ini tidak akan bisa masuk ke dalam."
"Masih jauh ke dalam?"
"Tidak. Hanya beberapa meter saja, kok."
"Apa mobil bisa parkir lama disini?"
"Tidak bisa, Tuan. Anda tidak perlu parkir lama juga. Anda langsung bisa pulang."
"Tapi—"