"Semestamu itu kamu sendiri yang mengendalikannya, tetapi biarkan aku menjadi bagian di dalamnya."
***
Kerajaan Athena
Seribu tahun kemudian setelah kematian pangeran mahkota ....
Ratusan kelopak Rosa Centifolia yang bertaburan di dalam kolam pemandian itu begitu menyegarkan indera penciuman dan merelaksasi pikirannya. Ratu Evanya—ratu negeri Athena—yang masih keturunan Dewa Poseidon tersebut tengah menggerakkan ekor kakinya yang dipenuhi sisik hijau keemasan. Wujudnya selalu berubah menjadi duyung setiap kali tubuhnya tersentuh air.
Sang ratu masih bersandar dengan nyaman saat para dayang membantu membersihkan tubuhnya. Menggosok lembut dan perlahan dengan cairan susu yang dicampur kelopak mawar merah segar. Harum Rosa Centifolia itu menguar semerbak di kulit indahnya. Sama indah seperti wujudnya yang tidak pernah menua meskipun sudah berusia seribu lima puluh tahun.
Malam ini terasa berbeda. Ia sama sekali tidak bisa menikmati ritual mandinya. Pikirannya tengah mengembara jauh sekarang. Banyak hal yang sedang ia pikirkan, sampai tidak menyadari ada seseorang yang tengah mendekat ke kolam pemandiannya. Kemudian mengecup pucuk kepala bersurai panjang itu lembut, lanjut memerintahkan dayang-dayang itu keluar dari ruangan megah yang dikelilingi tirai kain berwarna khaki dan putih tersebut.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Ratuku?"
Sang ratu seketika terkejut mendengar suara bariton yang mengalun pelan menyapa rungunya.
"Yang Mulia Raja ..." Evanya yang tengah bersandar segera mendongak. Ia tersenyum pada akhirnya.
"Kamu tidak menyadari kedatanganku?" Sang Raja melepas jubah megah kerajaannya hingga bersisakan celana panjangnya saja sekarang. Perlahan kakinya melangkah masuk ke dalam kolam pemandian air mawar tersebut. Ikut bersandar di sebelah permaisurinya seraya memejamkan sepasang netra yang sarat akan rasa lelah.
Ratu Evanya menatap lelaki tampan di sebelahnya. Tiba-tiba saja netranya memanas. Ia tersenyum, namun hatinya menangis sekarang. Tubuhnya yang di penuhi sisik hijau keemasan hingga ujung kaki itu digerakkan perlahan lantas memeluk suaminya erat. Netra Agathias terbuka. Pelukan tiba-tiba dari sang permaisuri mengejutkannya.
"Izinkan aku mengetahuinya, apa yang sedang kamu pikirkan sekarang, Ratuku?" Agathias membalas pelukan Evanya. Hatinya tidak pernah berhenti berdesir setiap bersama permaisurinya tersebut.
"Aku memikirkanmu, Yang Mulia." Evanya mencoba tersenyum, lanjut mengeratkan pelukan pada tubuh gagah nan kekar suaminya. Seharian tidak bertemu, rasanya begitu rindu.
"Benarkah?" Agathias menatap datar.
"Tentu saja. Kamu meragukanku?!" Evanya mendelik.
"Tidak. Aku tidak pernah meragukanmu. Aku sangat mempercayaimu ... juga mencintaimu." Kini tatapan Agathias begitu dalam, ketulusannya menembus sampai ke dalam hati Vanya. Ia terenyuh.
"Agathias ..." Evanya tidak lagi memanggil suaminya dengan formal.
"Hmm ...?" Kening Agathias mengerut dalam. Berpikir ada hal aneh yang terjadi pada istrinya. Ia yang seberangnya memiliki kekuatan untuk membaca pikiran orang lain hanya dengan menyentuhnya, kini lagi-lagi tidak mampu berbuat apa-apa. Selalu merasa aneh saat sang ratu dan mendiang pangeran mahkota selalu terselimuti kekuatan dahsyat yang tidak bisa ditembusnya.
"Apa yang paling kamu takuti dalam hidupmu?" tanya Evanya.
"Kemurkaanmu," jawab Agathias cepat. Saat mengatakan itu, ingatan Agathias kembali pada seribu tahun lalu. Bagaimana murkanya Ratu Evanya sekembalinya ia dan dua putranya, Samuel dan Levin, dari pemakaman Putri Alexa.
Ketika itu Kerajaan Athena hampir dilenyapkan tsunami dari kemurkaan permasurinya tersebut. Beruntung ia dengan cergas membendung air laut yang datang setinggi 12 meter, dan berhasil menyelamatkan kerajaannya. Agathias tahu, saat itu permasurinya tengah terluka karena kepergian pangeran mahkota. Putra pertama mereka.
"Aku bertanya dengan sungguh-sungguh." Evanya mendongak sekejap lalu kembali bersandar. Sangat nyaman.
"Yang paling aku takuti dalam hidupku adalah ...."
"Hmm?" Sang ratu semakin penasaran saat sang raja menggantung ucapannya. Kini ia melepaskan pelukannya.
"Aku sangat takut kehilanganmu, kehilangan putra-putraku. Kalian adalah duniaku, kebahagiaanku." Agathias menarik lembut permaisurinya, kembali memeluk erat.
"Jika suatu hari nanti aku pergi. Bisakah kamu berjanji satu hal padaku, Agathias?!" Hati Evanya mendadak sakit saat mengatakan hal itu. Seperti teriris, hampir patah. Persis seperti kejadian seribu tahun lalu yang telah merenggut nyawa putra mahkotanya.
"Bukan itu yang ingin aku dengar darimu, Evanya." Agathias sama terlukanya. Netranya mulai berkaca-kaca. Pembicaraan ini terlalu sensitif baginya.
"Kamu harus tetap hidup untuk putra-putra kita. Untuk kerajaanmu. Kamu tidak boleh lemah karenaku, Agathias." Buliran bening sudah melesat cepat di wajah pualamnya.
"Kamu tidak akan kemana-mana. Tetap di sini mendampingiku. Jangan berbicara hal-hal aneh lagi. Besok malam, kita akan kedatangan tamu penting dari Kerajaan Thiva. Membahas tentang pernikahan Pangeran Samuel. Aku harap kamu tidak melupakannya." Jemari gagah Agathias bergerak perlahan menghapus jejak basah di kedua pipi permaisurinya. Ia semakin mengutuk dirinya yang tidak bisa membaca pikiran wanita yang sangat dicintainya itu.
"Ratusan tahun kita lewati tanpa kehadiran pangeran mahkota. Aku merasa hampa, Yang Mulia." Evanya kembali bersuara, begitu pelan.
"Aku mengerti. Aku juga merasa kehilangan, sama sepertimu. Tetapi, yang kamu lakukan salah, Ratuku. Kamu mendiamkan putramu yang lain, bahkan tidak mau menatapnya sedikitpun."
"Aku tidak mampu menatap Pangeran Levin. Setiap aku menatapnya, bayangan Pangeran William muncul begitu saja di mataku. Aku tidak mampu, Yang Mulia. Hatiku hancur mengingat tragedi seribu tahun lalu." Buliran bening kembali melesat tanpa jeda.
"Apa kamu mau kehilangan seorang putra untuk yang kedua kalinya?" Agathias menatap dalam permaisurinya. Evanya dengan cepat mendongakkan wajah.
"A-apa maksud, Yang Mulia?" Suara Evanya bergetar.
"Pangeran Levin semakin lemah. Aku bisa merasakan, perlahan waktu mengikis kekuatan immortal-nya. Dia tidak punya banyak waktu lagi Evanya." Agathias menunduk. Jemari Evanya bergerak lembut menyentuh kedua sisi wajah suaminya.
"Agathias ...?! Katakan yang sebenarnya padaku."
"Raga Levin memerlukan kekuatannya, Evanya. Dia tidak bisa bertahan lebih lama tanpa kekuatannya." Tangan Agathias ikut menggenggam kedua tangan istrinya. Kedua pasang netra kecoklatan itu saling mengunci sekarang, dengan embun bening yang menyarang di sana.
"Limpahi Pangeran Levin dengan kasih sayangmu lagi, Evanya. Sebelum kamu menyesal untuk yang kedua kalinya."
Agathias segera bangkit dan berlalu cepat meninggalkan permaisurinya yang kini terpekur di dalam kolam pemandiannya. Bergetar.
***
Integritas kekeluargaan terpendar jelas. Begitu tenang. Menguar kewibawaan dan keanggunan. Saling memuji otokrasi masing-masing. Raja Agathias dan Ratu Evanya menjamu tamunya dengan sangat baik pada malam itu. Tamu kehormatan dari Kerajaan Thiva yang akan menjadi besannya.
Kini kedua penguasa negeri Athena tersebut ditemani penasihat kepercayaannya, Tristan, tengah berbincang-bincang bersama Raja Albert dan permasurinya, Ratu Esmee, di aula singgasana. Membahas tentang hari pernikahan putra dan putri mereka. Diselingi candaan hangat penuh keakraban. Mereka sudah mendapatkan tanggal baik untuk hari pernikahan Pangeran Samuel dan Putri Jeanne.
***
Di tempat lain, Pangeran Samuel tengah menemani putri cantik dari kerajaan Thiva mengelilingi istana. Keduanya tidak banyak bicara. Derap langkah kaki dan deru napas terdengar jelas. Bahkan suara jangkrik pun menyambangi rungu keduanya.
Berdehem sejenak. Samuel menggosok tengkuknya, lanjut menatap perempuan cantik yang tengah berjalan beriringan bersamanya.
"Maaf jika pertanyaanku terkesan tidak sopan, Tuan Putri. Aku sangat penasaran, kenapa kamu mau dijodohkan denganku? Kita bahkan tidak saling mengenal sebelumnya."
"Anggap saja alasan kita sama, Pangeran." Putri Jeanne tersenyum. Ia menatap balik lelaki tampan di sebelahnya.
"Demi raja dan ratu, juga kerajaan kita. Dan ... tanpa cinta." Samuel tersenyum hangat setelahnya.
"Ya, kamu benar, Pangeran. Tanpa cinta. Sejujurnya juga, aku sudah mencintai orang lain," timpal Putri Jeanne.
Sebut saja keduanya sama. Terlalu transparan, blak-blakan. Namun dikemas dengan sikap anggun dan kewibawaan.
Seharusnya Samuel kecewa atau marah. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Putri Jeanne menatap tidak percaya. Pangeran itu hanya terkekeh. Tidak terlihat raut kecewa sedikitpun.
"Kamu tidak marah, Pangeran?"
"Kenapa harus marah? Itu adalah hakmu mencintai lelaki lain, sebelum kita menikah. Tapi ... setelah kita menikah nanti, aku harap kamu bisa menghapus perasaan itu perlahan."
"Menghapus?"
"Iya. Kamu tidak bisa?"
"Aku rasa itu terlalu berat untuk dilakukan, karena aku sudah terlalu lama memendamnya."
"Hmm ... ya, kamu benar. Aku bisa memahaminya." Samuel hanya mengangguk-angguk. Terlihat tidak terlalu memikirkan. Kembali ke prinsipnya yang memang tidak terlalu memikirkan cinta dalam hidupnya. Pemikiran yang terlalu sederhana atau mungkin karena pengalamannya yang tidak ada.
Hening beberapa saat.
"Kalau begitu kita masuk ke dalam sekarang? Di sini sangat dingin, Putri."
"Aku suka di sini, Pangeran. Ah, bolehkah aku berjalan sendirian saja? Aku ingin menikmati pemandangan malam di sini. Indah sekali."
"Tapi ... apa tidak masalah jika aku meninggalkanmu sendirian?"
"Tidak masalah. Tapi jika Pangeran tidak mengizinkan juga tidak apa-apa." Putri Jeanne mengulas senyuman manis.
"Tentu saja aku izinkan. Aku tidak akan mengekangmu, Putri. Baiklah, aku akan kembali ke dalam. Kalau ada apa-apa berteriak saja ya. Aku akan langsung datang." Samuel balas tersenyum. Namun senyuman semanis madu yang membuat candu itu, tidak berpengaruh apa-apa bagi sang putri. Hatinya sudah terkunci rapat setelah dimasuki oleh sebuah nama yang dipujanya sepanjang waktu.
***
Pangeran Levin harusnya bisa bersikap seperti biasanya, tidak memedulikan. Sudah bertahun-tahun berlalu, ada ratusan papirus bertanda cinta yang diterima, dan ia tidak pernah membalasnya. Tetapi kali ini berbeda, isi dari papirus yang dipegangnya sekarang membuatnya tegang, sangat gelisah.
Entah sudah berapa kali ia terlihat mondar mandir di dalam bilik istananya. Segelisah itu. Dibuka lagi papirus kering tersebut. Tinta kehitaman yang mengukir di atasnya membuat Levin resah. Ia mencoba membaca kembali deretan kata yang terukir jelas di sana.
'Aku menunggumu malam ini, di tempat pertama kita bertemu. Datang temui aku atau aku yang akan mendatangimu.'
-Dari pemilik hati yang mencintaimu-
Levin mengehembuskan napas gusar lanjut mengusap wajahnya kasar. Ia kebingungan sekarang. Tetapi di satu sisi, ia harus menyelesaikan ini. Dalam kegundahan, Levin melangkah terburu-buru keluar dari kamarnya.
Melewati lorong temaram istana, lalu menyeberangi jembatan kecil di taman belakang istana, Levin akhirnya tiba di kaki sebuah menara. Perlahan ia masuk lalu naik ke lantai tertingginya.
Pangeran Levin tidak terkejut saat mendapati seseorang yang tersenyum manis dengan netra berbinar, menunggunya. Ia pun berjalan mendekat, tetapi masih membuat jarak besar antara keduanya.
"Kamu sangat nekat," ucap Levin dengan wajah datarnya.
"Katakan saja aku gila."
"Ya, seharusnya itu yang aku katakan."
"Aku menunggu hari ini, Pangeran."
"Kamu masih tidak mengerti." Levin berjalan menuju pembatas pagar menara, membelakangi wanita cantik di belakangnya.
"Aku mengerti. Yang aku rasakan padamu adalah cinta."
"Cinta yang penuh kegilaan." Levin menatap hamparan langit malam. Menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.
Beberapa saat keheningan melanda keduanya. Namun, yang terjadi setelahnya membuat Levin tercekat. Wanita itu memeluknya erat dari belakang. Sangat erat.
"A-apa yang kamu lakukan? Ini tidak benar," Levin kelimpungan. Netranya mengedar ke sekeliling menara. Takut ada yang menyadari keberadaannya di sana.
"Balaslah cintaku. Bawa aku pergi dari sini, Pangeran." Suaranya mulai bergetar. Beberapa detik setelahnya Levin pun tahu, wanita itu sudah terisak, bersandar di punggungnya.
"Jeanne! Berhenti mengatakan itu! Seharusnya kamu sudah paham kenapa aku tidak pernah membalas suratmu. Seharusnya kamu bisa menyadari bagaimana perasaanku padamu."
"Tidak, Pangeran. Jangan katakan apa pun. Aku tidak siap mendengarnya."
"Lepaskan aku, Jeanne. Ini semua harus diakhiri. Kita tidak akan pernah bersama. Kamu dan aku. Perasaan kita berbeda. Sudah ada seseorang yang mengisi hatiku. Kamu harus paham itu. Kamu juga akan menikah, Jeanne. Jangan hancurkan semuanya. Dia kakakku. Aku menyayanginya."
"Tidak. Aku tidak akan melepasmu."
"Jeanne!" Levin segera memutar torsonya. Mereka berhadapan sekarang. Levin bisa melihat dengan jelas isakan pilu Putri Jeanne. Perempuan yang selama ini terus mengirimnya papirus bertanda cinta.
"Jeanne, tolong dengarkan aku. Terimalah pernikahan ini. Kakakku orang yang sangat baik. Kamu akan bahagia bersamanya."
"Dari awal, saat padreku mengatakan padaku bahwa akan menjodohkanku dengan salah satu pangeran Athena, aku memiliki harapan besar jika itu kamu, Pangeran Levin. Tapi semuanya tidak sesuai harapanku ketika Pangeran Samuel-lah yang ditunangkan denganku." Jeanne masih terisak. Buliran bening itu melesat cepat di pipi putih kemerahannya.
Levin tidak tahu harus berbuat apa. Ia seperti orang yang jahat sekarang. Tapi ia tidak punya pilihan lain. "Lupakan perasaanmu padaku. Bahagialah bersama Pangeran Samuel."
"Lalu bagaimana jika aku mengatakan padamu, lupakan perasaanmu pada wanita itu. Berbahagialah denganku, Pangeran Levin." Skakmat. Levin kembali tercekat.
"Itu mustahil. Kami saling mencintai. Bukankah posisi kita berbeda?"
"Berhenti memikirkan Putri Alexa. Kalian sudah berbeda dimensi. Bukankah cinta kalian lebih mustahil lagi? Dia juga sudah memiliki orang lain yang menjaganya di sana." Jeanne menyeka air matanya, cepat.
"A-apa? Kamu mengenalnya?" Levin bertanya hati-hati, meredakan kerisauannya. Pasalnya selama ini hanya keluarganya saja yang mengetahui tentang romansanya dengan putri dari Kerajaan Sparta yang telah meninggal seribu tahun lalu. Lalu sekarang?
"Ya. Aku mengenal Putri Alexa. Di masa lalu, juga di masa depan." Jeanne tersenyum penuh arti.
"K-kamu ...?! Siapa kamu sebenarnya??"
***
To be continued ....