Setelah menangis dari pagi aku pun merasa lelah dan terlelap tidur, saat bangun aku merasa pusing dan tidak enak badan merasa wajahku seperti bengkak kemudian aku mengambil kaca kecil dimeja tepat di samping tempat tidurku saat aku lihat di kaca mata ini sudah sembab karena menangis dengan raut wajah kacau dan aku hanya bisa tersenyum kecut sambil meratapi nasibku. Setelah aku puas memandangi kaca untuk memastikan seberapa kacau raut wajahku saat ini aku pun segera bangun dan pergi untuk mencuci wajahku agar terlihat sedikit segar, setelah itu aku menghidupkan hp yang dari tadi memang aku matikan karena pikiran yang kacau kemudian aku lihat notifikasi pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari bang wandi dan bang deri lalu aku inisiatif untuk menghubungi bang wandi terlebih dahulu "Halo bang..maaf tadi hp aku low bat dan aku lupa charge." ujarku ke bang wandi sambil berbohong "Ya dek..abang hanya khawatir karena kamu dari pagi gak ada kabar, hampir aja abang nekad ke rumah kamu untuk mengecek." Ucapnya dengan nada khawatir "Ya bang..maafin aku ya lain kali aku pasti akan selalu beri kabar ke abang." Jawabku dengan nada sedih "Ya dek gak apa-apa abang ngerti kok, kamu jaga kesehatan ya dek kalau ada apa-apa bicara sama abang ya." Ucapnya lalu timbul perasaan bersalah padanya "ya bang." jawabku dengan singkat "Ok dek abang lanjut kuliah ya, Nanti kita lanjut lagi ngobrolnya..bye." disaat sambungan telpon berakhir bayangan akan perjodohan itu kembali muncul dan seketika air mataku jatuh lagi membayangkan betapa hancur hati bang wandi jika tahu ini semua.
Sore ini aku melihat mama sudah pulang dari kegiatannya dan masih dengan tatapan tajamnya untukku seolah tidak peduli dengan perasaanku saat ini, baik mama atau pun aku masih saling diam bahkan aku mengurung diri seharian dikamar. Malam pun tiba dan papa baru saja sampai dirumah "Assalamualaikum." Sahut papa sambil tersenyum, lalu aku keluar kamar menuju ruang tamu "Walaikumsalam pa." "Mama kemana ra??" Tanya papa padaku "Itu didapur lagi masak pa." Jawabku dan papa menatapku dengan penuh tanda tanya, kemudian mama selesai masak dan aku membantu mama untuk menyiapkan makan malam.
Setelah selesai makan malam mama membuka suara "Pa..ada yang mau mama bicarakan, ini tentang ara." Papa melihat mama dengan tatapan serius "ya ma bicara aja, memang ada apa dengan ara??" Tanya papa "Begini pa..ara kan sekarang usianya 18 tahun dan sudah cukup menikah, mama sudah menemukan pria yang tepat untuknya dan 2 minggu lagi dia mau datang untuk membawa ara ke aceh bertemu keluarganya." seketika aku membeku me dengar kata 2 minggu lagi "Ma..ara itu masih kecil dan belum cukup umur untuk hal seperti itu, kenapa kamu melakukan suatu hal tanpa minta persetujuanku." Jawab papa dengan nada tinggi "Untuk apa pa, kan papa tau dikeluargaku jika anak perempuan diusia 18 tahun itu sudah layak untuk dijodohkan ini juga demi kebaikan ara." Kata mama dengan emosi "Ya tapi aku tetap tidak setuju dengan perjodohan ini!! Ara masih kecil ma, dia masih punya cita-cita yang harus digapai!!" Jawab papa yang semakin emosi "Mama gak mau tau ya pa!! intinya papa harus setuju karena pria ini bisa bertanggung jawab, dan sawah ayahnya juga banyak!!" Ucap mama dengan nada penuh penekanan.
Aku pun semakin tidak sanggup melihat kedua orang tuaku bertengkar karena hal seperti ini karena tetap saja papa tidak bisa menentang mama yang memang sangat matrealistis, akhirnya aku membuat keputusan "Sudah cukup bertengkarnya!!! ara memutuskan untuk mengalah dan menerima perjodohan ini!! Jadi ara harap mama senang!!" Ucapku sambil berlinang air mata "Ara apa kamu tidak salah berucap!! Kamu jangan main-main ara, karena ini menyangkut masa depanmu!!" Ujar papa dengan wajah sedih "Tidak pa..ara tidak salah untuk ambil keputusan ini, ara lakukan ini biar papa dan mama gak bertengkar lagi." jawabku sambil menangis "Keputusan yang sangat bagus ara, jadi persiapkan dirimu 2 Minggu lagi." Ucap mama sambil tersenyum sinis.
Aku kembali ke kamar dengan rasa frustasi yang sangat hebat, aku kembali melihat hp untuk menghubungi bang wandi terkait dengan hal ini tetapi pada saat aku menekan nomornya tiba-tiba nomornya tidak aktif dan membuatku semakin frustasi. Aku tidak bisa tidur karena memikirkan hal ini dan bagaimana perasaan bang wandi jika tahu hal ini, kemudian muncul rasa bersalah yang sangat besar di dalam hatiku karena secara tidak langsung aku sudah mengkhianati kepercayaan bang wandi padaku dan menghancurkan janji kami berdua untuk saling setia.
Pagi pun tiba disaat aku bangun kepala terasa berat sekali dan badanku semakin tidak enak, tiba-tiba papa masuk ke kamarku "Kenapa gak latihan pagi??" Tanya papa "Ara pusing pa dan gak enak badan." jawabku dengan lemas, kemudian papa menempelkan telapak tangannya ke keningku "Ya allah ara..kamu demam, kamu sakit..ayo ke dokter." Ucap papa dengan panik "Gak perlu pa..ara baik-baik aja kok nanti juga sembuh." Jawabku sambil tersenyum "Ara..papa tau kamu sakit karena mama, tapi papa mohon maafin mama yaa." lalu aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapan papa yang memohon maaf untuk istrinya itu. Setelah papa berangkat kerja aku sama mama masih tidak saling bicara akupun kembali ke kamar seperti biasa untuk mengurung diri dan aku segera mengambil hp dan mengecek apa bang wandi mengirim pesan atau tidak, namun masih sama dia belum menghubungiku.
Semakin hari aku semakin tertekan dengan hal ini rasanya seperti duniaku hancur seketika, aku mencoba menghubungi bang wandi tapi dia tidak mengangkat telponku kemudian aku mencoba mengirimnya pesan siapa tahu saja dia segera membalas "Bang kok telpon aku gak diangkat?? Memang abang sibuk banget ya sampai lupa sama aku??" Tanyaku, cukup lama dia tidak membalas pesanku semakin membuatku kehilangan akal, aku menangis sambil berjalan ke arah kamar mandi aku melihat ada cairan pembersih lantai seketika membuat pikiranku buntu lalu aku mengambil cairan tersebut dan meminumnya hingga habis tiba-tiba badanku terasa lemas, perutku mual, dadaku sesak membuatku susah untuk bernafas, kepalaku sakit dan berputar, mataku tiba-tiba gelap seketika tubuhku ambruk tetapi aku masih bisa mendengar mama berteriak lalu mama berusaha meraih tubuhku dan memelukku dipangkuannya sambil menepuk pipiku sambil menangis saat ini aku masih bisa melihat wajah panik mama lalu meraih ponselnya untuk segera menghubungi papa dan meminta bantuan tetangga untuk membawaku ke rumah sakit, lalu kemudian aku kehilangan kesadaranku.