"Kenapa aku selalu memikirkan Rangga ya? Ya ampun, dia tuh ganteng banget. Awalnya memang nyebelin sih. Tapi tidak sangka kalau dia sangat berwibawa."
Rara si gendut menggantung kan kakinya di dinding kamar. Dengan tubuh gempal terbaring di atas kasur dan menatap plafon kamarnya.
"Syira! Buka pintunya," Panggil ibu dari luar.
"Ada apa, Bu. Ganggu saja!"
"Heh, kamu mau tidak!"
"Hah, ibu mau kasih apa ya?" Rara dengan semangat langsung menjatuhkan kakinya untuk membuka pintu.
Krak!
Tulang rangka sampai berbunyi seperti mau patah akibat terlalu kuat bergerak atau menghentak kan kakinya.
"Auuuu!" Pekik Syira kesakitan.
"Ada apa Syira?" Ibu di luar khawatir terjadi apa-apa pada Rara di dalam.
"Cepat buka pintunya. Kamu kenapa?"
"Iya, Bu. Bawel amat sih!"
Cekrek! Pintu pun di buka. Namun Syira terus memegang pinggang sembari meringis kesakitan.
"Ada apa sih, Bu. Malam-malam suruh buka pintu. Sudah tahu mau tidur!"
"Nih, kue."
"Tumben malam-malam Ibu kasih aku kue? Pasti enak nih!" Syira langsung menyerobot kue yang ibu berikan. Beberapa kue masih terlihat segar dan harum satu piring penuh di berikan pada ibu.
"Terima kasih ibuku yang bawel! Tahu saja kalau aku sudah mulai lapar."
"Iya, sengaja Ibu kasih ke kamu. Karena sayang kan kalau di buang. Mubazir!"
"Maksud ibu?" Rara bicara dengan susah payah karena kue yang penuh di mulutnya.
"Iya, itu kue sengaja ibu kasih ke kamu karena itu sisa kue ibu jualan tadi. Pas jalan, ibu tersandung batu. Lalu semua tumpah ke tanah, tapi itu masih bersih kok. Sudah ibu bersihkan dan sebagian ibu angetin."
"Huek!" Rara mendadak memuntahkan semua kue yang baru dia makan. Namun sebagian terlajur masuk perut.
"Loh, kenapa kamu muntahkan, Ra? Kan sayang!"
"Ibu jahat banget sih, aku kira baik kasih makanan bagus. Ternyata makanan sisa terjatuh di berikan sama aku."
"Haha, kamu kan suka makan. Lagi pula itu semua masih bagus kok."
"Kalau ada yang terkena kotoran ayam bagaimana?"
"Ya kamu rasain ada kotoran ayam tidak? Haha!" Ibu tertawa terbahak-bahak karena melihat kejadian yang lucu pada Syira. Ibu benar-benar tega sudah kerjain anaknya sendiri.
"Ibu jahat! Aku mau tidur!"
"Heh, Ibu itu sayang sama kamu."
"Sayang, tapi kok kasih makanan sisa. Itu bukan sayang namanya."
"Ya sudah, maafkan Ibu ya. Makanya, besok bantuin Ibu jualan. Bukannya malah tiduran dan makan saja."
"Bu, aku sekarang kan sudah ngajar. Aku sudah jadi seorang guru, Bu."
"Ah, jadi guru kok di tempat kayak begitu!"
"Setidaknya, aku ilmu aku bermanfaat untuk orang kan, Bu."
"Iya sih, kadang ada benarnya juga kamu ngomong. Biasanya salah terus! Haha!" Ibu terus meledek Rara.
"Ibu ah, aku ngambek nih nanti."
"Jangan ngambek, nanti tambah gendut. Sudah gendut, cepat tua lagi. Padahal belum menikah."
"Tuh kan. Ngejek lagi. Sudah ah, aku mau tidur!"
"Iya iya, maaf. Besok setelah pulang ngajar, kamu mau ke mana?"
"Tidak tahu, Bu. Memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa. Ibu hanya ingin pastikan saja tentang kartu nama itu. Cie, pacar baru ya!"
"Hah, Ibu tahu dari mana?" Rara menepuk jidatnya.
"Ya tahu dong, jiwa seorang Ibu pasti akan mengendus apa pun yang ada pada anaknya."
"Ah, Ibu. Kayak detektif saja."
"sepertinya, dia anak orang kaya ya?"
"Duh Ibu, semakin malam kok semakin naik yang tingkat keinginan tahunya. Sudah lah, Bu. Ini urusan anak muda, Ibu jangan ikut campur ya!"
"Yah, Ibu kan hanya ingin yang terbaik untuk anak Ibu. Lagi pula, mau sampai kapan kamu jomblo seperti ini? Apa memang tidak ada yang suka!"
"Ye jangan salah, Bu. Begini bentuknya, banyak kok yang antri."
"Iya, antri beli nasi Padang di depan itu kan!"
"Duh, kumat lagi ngejeknya. Ah, sudah deh. Ibu keluar ya!" Rara mengusir ibunya keluar dengan menuntun sampai pintu. Lalu pintu pun di kunci rapat oleh Rara.
"Hah, sudah aman dari gangguan monster kecil?" Rara menganggap ibunya sebagai monster kecil. Monster yang mengerikan karena selalu meledek Rara, dan kecil sesuai tubuhnya. Berbeda dengan Rara yang tinggi juga gendut.
"
"Tapi kok bisa ibu tahu tentang kartu nama itu ya? Wah, jangan-jangan aku ceroboh lupa simpan kartu nama itu." Rara mengambil lagi kartu nama yang sudah dia letakkan di dalam dompet. Di pandangi terus kartu nama itu sampai setiap sisi Rara hafal bentuk dan tulisannya.
"Kapan ya bisa ketemu dia lagi. Apa mungkin dia sering datang ke sekolah!"
Rara memeluk sebuah kartu nama itu. Lama kelamaan, dia tertidur lagi. Seperti biasanya, kebiasaan Rara jika selalu memikirkan sesuatu maka hal itu akan terbawa dalam mimpinya.
Di dalam mimpi Rara, dia bertemu lagi dengan Rangga. Namun cerita mimpi kali ini berbeda.
"Rara, aku sayang banget sama kamu. Biarpun kamu gendut, aku tetap cinta. Nanti makanan apa pun yang kamu mau pasti aku belikan. Kamu minta apa?"
"Aku minta kurus!"
"Kok kurus, berarti aku tidak kasih kamu makan dong?"
"Aku kesal, Ibu selalu mengejek aku gendut. Jadinya aku mau kurus saja. Biar kamu juga bisa peluk aku sepenuhnya. Tidak seperti ini!" Rara menunjuk tangan Rangga yang hanya muat separo memeluk pinggang Rara.
"Biar kamu gendut, kamu jelek, kan aku masih sayang sama kamu."
"Duh, kamu memang so sweet banget sih Rangga! Emm," Mulut Rara membentuk jadi bulat ketika ingin mencium Rangga. Muka bulat yang penuh penuh, namun bibir tipis berbetuk lingkaran. Hasrat ingin mencium Rangga terbangun ketika dia sadar, yang di cium adalah kucing peliharaannya sendiri.
"Cinta! Kenapa cinta kucing sih. Kenapa tidak cinta Rangga? Ah, Cinta. Kamu ganggu mimpi aku saja sih!" Syira terbangun dalam mimpinya. Ternyata hari sudah pagi, hampir saja dia telat untuk pergi ke sekolah. Hari itu menunjukkan sudah pukul 7 pagi. Dengan cepat-cepat pula dia untuk bersiap ke sekolah. Hingga pagi itu Rara tidak sempat untuk mandi. Dia langsung memakai pakaian.
"Selamat pagi adek-adek."
"Pagi, Kak."
"Apa kabar kalian semua? Baik kan?"
"Baik dong, Kak. Baru juga kemarin kita ketemu, kok sudah tanya kabar." Tanya salah seorang anak yang berani.
"Kan biar terlihat dekat. Hehe! Oh iya, Kakak mau tanya nih. Kakak yang kemarin datang bawa buku dan uang itu sering kemari ya?"
"Sebulan sekali dia datang kemari, Kak." Ucap Yona.
"Oh, Kakak kita sering."
"Cie, berharap Kakak Rangga datang terus ya! Haha."
"Hahaha!"
Gelak tawa anak-anak begitu riuhnya mengejek Rara saat itu.
"Ah, nggak Ibu nggak murid, semua suka ngejek aku sih!"